KUNINGAN (MASS) – Pemandangan yang belakangan muncul di sejumlah sekolah cukup memprihatinkan. Guru yang seharusnya mengajar dan membimbing siswa malah terlihat sibuk membagikan makanan Program Makan Bergizi Gratis (MBG), bahkan mengurus tray bekas makan. Situasi ini menimbulkan tanda tanya besar: apakah tugas utama guru memang berubah menjadi petugas distribusi? Mungkinkah gelarnya jadi bertambah misalkan (xxxxx, S. Pd., Gr., MBG)?
Padahal, juknis MBG sudah jelas menegaskan bahwa tanggung jawab distribusi makanan berada di tangan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), bukan guru. Peran guru semestinya terbatas pada pendampingan, pengawasan, serta edukasi perilaku hidup sehat. Ketika guru didorong mengerjakan hal-hal teknis di luar fungsi pendidikannya, maka beban kerja semakin berat dan hakikat profesi guru justru tereduksi.
Dalam pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG), petugas Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) bertugas menyiapkan, mendistribusikan, serta mengelola makanan bergizi bagi peserta didik sesuai ketentuan.
Adapun guru di sekolah berperan sebagai pendidik dan pendamping siswa, yang turut:
– Mengawasi keteraturan dan ketertiban siswa saat menerima makanan.
– Membimbing siswa agar berperilaku hidup bersih dan sehat, misalnya mencuci tangan, membuang sampah pada tempatnya, dan mengembalikan tray bekas makan.
– Mengarahkan siswa agar mengikuti tata tertib sekolah, termasuk menjaga kebersihan kelas setelah kegiatan makan bersama.
Dengan demikian, peran guru bukan sebagai petugas SPPG, tetapi lebih pada fungsi edukatif, pembinaan karakter, dan pengawasan siswa dalam rangka mendukung keberhasilan program MBG.
Menjadikan guru sebagai “tukang bagi makanan” jelas tidak sesuai dengan semangat program MBG. Guru adalah pendidik, bukan tenaga distribusi. Apalagi jika Guru diharuskan oleh SPPG mengganti tray jika ada yang hilang, guru turut mempertanggungjawabkan keracunan, ini sangat aneh.
Guru bukan pegawai SPPG dan tidak harus mempertanggungjawabkan apapun tentang MBG. Guru bukan pelaku bisnis MBG dan tidak boleh diperintah oleh SPPG. Jika kondisi ini dibiarkan, maka yang dirugikan bukan hanya guru, melainkan juga siswa yang kehilangan perhatian penuh dari pengajarnya.
Karena itu, sudah saatnya pihak terkait meninjau ulang praktik di lapangan dan Dinas terkait harus melindungi Marwah guru. Guru harus dikembalikan pada fungsi sejatinya, sementara distribusi MBG biarlah dilaksanakan oleh SPPG dan mitra BGN yang ditunjuk sesuai juknisnya.
Mari kita kawal bersama program MBG di kabupaten Kuningan Jabar agar benar-benar berjalan tepat sasaran tanpa mengorbankan martabat guru.***
Penulis : Dadan Satyavadin
