KUNINGAN (MASS) – Surat Bupati Kuningan tanggal 7 Mei 2025 yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Barat sejatinya membuka tabir gelap cara berpikir kekuasaan hari ini. Alih-alih menegaskan hasil seleksi terbuka Sekda 2024 yang sudah sah secara hukum, Bupati justru memilih jalan berputar dengan berlindung di balik pasal yang tidak relevan.
Fakta hukum tidak bisa dibantah, seleksi Sekda Kuningan dilaksanakan Oktober–November 2024, telah mendapat persetujuan BKN, rekomendasi KASN, serta keputusan Panitia Seleksi. Tiga nama calon sudah ada, sah, dan siap ditetapkan. Namun, alih-alih mengeksekusi, Bupati malah melempar persoalan ke Mendagri dengan alasan Pasal 162 ayat (3) UU 10/2016 tentang larangan mutasi pejabat enam bulan sebelum dan sesudah akhir jabatan kepala daerah.
Logika ini cacat. OB Sekda berlangsung atas izin Mendagri dan hal demikian tertulis dalam regulasinya. Artinya, alasan hukum yang dipakai Bupati tidak memiliki korelasi. Justru di sinilah publik bisa membaca adanya penyalahgunaan tafsir hukum untuk mengulur waktu. Sebuah manuver yang bukan saja menyesatkan, tetapi juga merusak wibawa hukum dan birokrasi.
Kontradiksi surat ini begitu telanjang. Di satu sisi, Bupati mengakui hasil seleksi ada dan sah. Di sisi lain, ia tidak berani menetapkan hasil itu. Inilah wajah asli abuse of power, ketika regulasi dijadikan tameng demi melayani kepentingan politik.
Dampaknya tidak kecil. Kekosongan Sekda definitif akan melemahkan koordinasi pemerintahan, menurunkan efektivitas birokrasi, dan memberi celah bagi Bupati untuk tetap mengendalikan jalannya roda pemerintahan tanpa adanya figur Sekda yang sah. Dengan kata lain, rakyatlah yang menjadi korban dari permainan politik kotor ini.
Kita harus jujur mengatakan: surat Bupati Kuningan bukan sekadar administrasi, tapi sebuah sinyal keras bahwa kekuasaan sedang dipakai bukan untuk melayani rakyat, melainkan untuk mengamankan kepentingan pribadi dan kelompok.
Penulis : Sadam Husen, Aktivis Muda Kuningan
