KUNINGAN (MASS) – Pada dasarnya, mendidik anak itu mudah, hanya bermodal tanggungjawab, keikhlasan dan kecintaan sepenuh hati. Tidak terlalu banyak teori yang makin kesini makin rumit dan kaku.
Itulah pernyataan yang dilontarkan H Dedi Supardi MPd, mantan ketua PGRI Kuningan dua periode dan juga mantan sekdisdik Kuningan, Senin (25/8/2025).
Ia mengungkapkan, setiap orang punya naluri untuk mendidik anak.”Ibu-ibu bapak-bapak sama, memilki naluri mendidik, karena itu fitrah yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia dan seluruh makhluk hidup,” ujarnya.
Dedi juga menegaskan, guru pun sama memiliki naluri, karena guru juga manusia. Hanya saja, guru mendidik anak orang lain.
“Jadi, instingnya, tanggungjawab, ikhlasnya dan kecintaannya tidak sekuat ibu atau bapak pada anaknya sendiri. Sehingga banyak ngambang ketika berhadapan dengan siswanya,” ungkap pria yang pernah menjabat direktur Poltekes KMC itu.
Sebetulnya, imbuh Dedi, banyak faktor yang membuat insting guru tidak maksimum. Diantaranya terlalu banyak beban dalam pikirannya, termasuk beban dari pemerintah.
Guru, sambung dia, terlalu dibebani administrasi, terlalu dibebani oleh peraturan kepegawaian, terlalu dibebani oleh birokrasi dan lain-lain.
“Jadi guru susah berdiri tegak sebagai pendidik, bebas bergerak, bebas di kelas dan bebas menggunakan instingnya. Mereka serba takut, takut salah, takut melanggar aturan, takut tidak sesuai biokrasi dan lain-lain. Itu yang membuat insting guru tidak keluar sepenuhnya,” beber Dedi.
Dulu, kata Dedi, para ahli pendidikan menuduh, bahwa turunnya mutu pendidikan karena biokrasi pendidikan. Apalagi sekarang kebijakan-kebijakannya selalu berbasis politis.
“Kurikulum gonta-ganti, programnya gunta ganti, kebijakan kepegawaian gonta ganti. Birokrasi berpikir untung, untuk secara materi untung secara politis,” ucapnya.
Kalau birokrat berpikir politis, menurut Dedi, hanya tiga saja yang dipikirannya yaitu popularitas, kekuasaan dan uang. Jika birokrat pendidikan berpikir seperti itu maka akan melahirkan program-program yang juga politis. Tentu ia menilai ini bahaya bagi dunia pendidikan.
“Bagi para guru, abaikan program-program politis seperti itu. Fokus pada anak. Jadi pikirannya bagaimana anak pintar, bagaimana anak cerdas, bagaimana anak soleh, bagaimana anak punya karakter kuat dan lain-lain, basic manusia Indonesia seutuhnya,” tandas Dedi. (deden)
