KUNINGAN (MASS) – Sekolah kedinasan merupakan sekolah yang dipersiapkan secara khusus untuk mencetak tenaga kerja profesional yang kemudian secara jenjang karir dipersiapkan menjadi aparatur sipil negara (ASN). Sekolah kedinasan mencakup beberapa sektor seperti IPDN, STAN, STIS, STSN, STTD, Poltekim dan Poltekip.
Sekolah kedinasan merupakan instansi yang ada dibawah naungan tiap tiap kementerian tertentu seperti Kemenkeu, Kemendagri, Kemenkumham, Kemenhub, BIN, BPS, MKG dan BSSN. Sekolah kedinasan menerapkan sistem yang sifatnya ikatan karena setelah lulus, mereka langsung diangkat sebagai ASN. Kemudian secara oprasional, sumber anggaran yang dialokasikan untuk oprasional sekolah kedinasan merupakan anggaran yang bersumber dari APBN melalui tiap tiap kementerian.
Kemudian menjadi polemik setelah mencuatnya pemberitaan mengenai dana pendidikan kedinasan yang menyentuh angka 104 triliun yang meki hanya berisikan 13 ribu Mahasiswa dan sangat jauh berbeda dengan sekolah formal yang siswanya mencapai angka 62 juta pelajar, meskipun bukan hal baru karena setelah keluarnya Peraturan Pemerintah (pp) No. 18 Tahun 2022 lalu pasal 80 ayat 2 pp tersebut menyatakan anggaran pendidikan kedinasan tidak termasuk anggaran pendidikan sekolah formal, kemudian meskipun secara besaran dana pendidikan kedinasan yang tidak menunjukan angka statistik yang drastis akan tetapi hal ini tetap menjadi polemik dikalangan kaum pemerhati kebijakan publik, sebab dinilai bertentangan dengan tagline efisiensi anggaran, seolah sekolah kedinasan merupakan prioritas utama yang menjadi pengecualian efisiensi anggaran dikala sektor pendidika formal saja terkena dampak dari efisiensi anggaran.
Meskipun diatas kertas dana pendidikan yang secara persentase kurang lebih 20% APBN atau sekitar 724 triliun, namun ironisnya dana yang dialokasikan untuk oprasional pendidikan formal sebesar 724 triliun terdengar seperti ideal diatas kertas saja dan perlu dikaji ulang, karena pada praktiknya dana tersebut tidak serta merta mengalir untuk menyempurnakan pendidikan di Indonesia, tetapi dana tersebut setelah diefisiensikan maka sisanya akan dikembalikan sebagai kas negara untuk kemudian dialokasikan guna defisit fiskal dan membayar utang negara.
Sekolah kedinasan merupakan sekolah yang dikemudian hari menghasilkan para birokrat, meski ini adalah suatu keniscayaan yang perlu diperhatikan tapi bukan berarti menganggap dana pendidikan sebagai suatu pelengkap APBN saja, pedidikan formal adalah pendidikan yang menghasilkan SDM, dan Negara maju merupakan Negara yang SDM nya unggul, ibarat suatu bangunan maka SDM adalah pilar sedangkan para birokrat adalah atapnya, jika bangunan tersebut hanya diperhatikan dalam aspek atapnya saja maka jangan heran jika bangunan tersebut akan menjadi bangunan yang mudah roboh.
Rakyat mendesak agar pemerintah bijaksana dalam memutuskan suatu kebijakan, dalam sistem demokrasi maka hierarki tertinggi adalah rakyat, oleh karena itu kesejahteraan rakyat harus dijadikan sebagai prioritas utama, kemudian sebagai mana tercantum didalam UUD 1945 bahwa bangsa Indonesia memiliki mimpi mencerdaskan kehidupan bangsa, maka aspek pendidikan harus dijadikan sebagai prioritas utama dalam mencapai mimpi itu, banyak Negara maju yang memprioritaskan sektor pendidikan sehingga sekarang mereka menghasilkan banyak SDM unggul. Mengapa Indonesia tidak mengadopsi sistem itu?
Jika para pemimpin tidak pernah menginjak tanah yang tandus jangan berharap mereka mengerti penderitaan rakyat, jika para pemimpin tidak pernah merasakan kehausan maka jangan berharap mereka memberi kesejahteraan sandang dan pangan, dan jika para penerus birokrat terus disuguhkan dengan kemewahan maka sebuah keniscayaan bahwa rakyat hanya diwakilkan mimpi indahnya saja.
Sandy Rizkya, Presma UM Kuningan
