KUNINGAN (MASS) – Artikel ini saya tulis bukan sebagai nasihat dari seseorang yang sudah berhasil mengamalkannya, melainkan sebagai pengingat keras untuk diri saya sendiri. Di Tengah kebudayaan masa kini di mana kesenangan, kenyamanan dan istirahat dijadikan sebagai parameter kesuksesan seseorang, islam justru menanamkan nilai yang berbeda.
Bukan berarti islam melarang kita untuk rehat dan bersantai, tetapi islam memandang bahwa kehidupan dunia ini tak lain bagaikan rantai perbuatan yang terus tersambung. Selesai dari satu urusan bukanlah tanda untuk berhenti, tetapi aba-aba untuk bersiap mengerjakan tugas berikutnya. Istirahat bukan tujuan akhir, melainkan sebagai rangkaian dari perjalanan rantai itu sendiri.
Bahkan dalam kacamata yang lebih ideal, adalah sebuah aib jika rantai amalan tersebut tersela atau bahkan terputus dengan sebuah kekosongan tanpa makna. Inilah semangat yang tercermin dalam banyak ayat Al-Qur’an, terutama dalam Surat Al-Insyirah yang secara gamblang menunjukkan bahwa kehidupan seorang muslim adalah pergerakan yang tak henti—dari satu kebaikan ke kebaikan lainnya.
Surat Al-Insyirah termasuk surat pendek yang mudah dihafal. Namun, makna beberapa ayat di dalamnya sudah cukup menjadi tamparan keras bagi penulis yang kerap terlena. Dalam Surat Al-Insyirah ayat, Allah berfirman:
فَاِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْۙ ٧
Apabila engkau telah selesai (dengan suatu kebajikan), teruslah bekerja keras (untuk kebajikan yang lain)
Kita tahu bahwa dalam surat Al-Insyirah, Allah menjajikan adanya kemudahan bagi setiap kesulitan. Bahkan Al Qur’an menggunakan kata “Bersama kesulitan ada kemudahan” yang menunjukan seakan-akan kemudahan itu beriringan dengan kusulitan itu sendiri. Tetapi sadarkah kita bahwa kuci utama untuk mendapatkan kemudahan yang telah Tuhan janjikan ada di ayat ini.
Ayat ini sederhana, tetapi memuat pesan yang sangat dalam. Tidak hanya mengabarkan kepada kita tentang bagaimana kita mendapatkan kemudahan yang telah dijanjikan, tetapi juga menggambarkan bagaimana kehidupan yang ideal bagi seorang mu’min.
Para ulama menafsirkan bahwa hidup seorang mu’min tidak mengenal titik henti. Ketika satu kewajiban selesai, bukan berarti saatnya bersantai tanpa arah, melainkan isyarat bahwa kita harus segera berpindah ke medan amal berikutnya. Kata “fanshab” sendiuri berasal dari akar kata yang bermakna “lelah” atau “berdiri teguh dalam kesungguhan”, menunjukkan bahwa Allah memang mengarahkan kita untuk hidup dalam ritme perjuangan yang terus berulang. Ini bukan ajakan untuk menyiksa diri, tetapi penegasan bahwa kehidupan beriman adalah tentang kesinambungan ikhtiar, bukan pelarian menuju kemalasan.
Kita tahu dari ayat ini bahwa kehidupan ideal orang beriman selalu terisi dengan perbuatan dan amalan, baik untuk mengejar dunianya ataupun akhiratnya. Tetapi hal ini bukan berarti islam melarang kita untuk beristirahat. Rasulullah ﷺ sendiri pernah bersabda, “Sesungguhnya tubuhmu punya hak atasmu.” Islam sangat memahami keterbatasan fisik dan mental manusia. Hanya saja islam tidak menjadikan istirahat sebagai akhir dari sebuah perjuangan.
Islam menempatkan istirahat sebagai sarana untuk kita ntuk menyambung tenaga, memperbarui niat, dan yang terpenting agar kita bisa Kembali melanjutkan perjuangan. Istirahat yang islam inginkan bukan istirahat yang menjauhkan kita dari tujuan hidup, tetapi adalah istirahat yang dapat menyegarkan jasmani dan ruhani agar bisa kembali menjadi lebih kuat. Hendaknya istirahat yang kita lakukan bisa menjadi bagian dari ibadah kita, bukan merupakan pelarian.
Dalam pola ini, seorang mu’min belajar menyeimbangkan antara lelah dan ketenangan, antara bekerja dan merenung, antara bergerak dan bersujud. Hidup tidak stagnan, tapi mengalir—dan yang mengalir itulah yang memberi kehidupan.
Maka jika hari ini kita merasa lelah, jangan buru-buru menyangka itu tanda bahwa kita salah jalan. Mungkin justru itu tanda bahwa kita sedang hidup. Lelah yang bermakna lebih baik daripada tenang yang kosong. Kesibukan yang jujur lebih mulia daripada istirahat yang menghilangkan makna.
Dalam dunia yang terus mendorong kita untuk “healing” tanpa tujuan, Islam datang menawarkan arah: bahwa setelah satu kesibukan, ada kesibukan lain yang menunggu. Bukan karena Allah ingin membebani, tapi karena di situlah jiwa kita ditempa, dimuliakan, dan disucikan. Dan jika kelelahan ini terasa berat, semoga kita terhibur oleh janji-Nya yang abadi: “Dan sesungguhnya kepada Tuhanmulah hendaknya berharap.” (QS. Al-Insyirah: 8)
Oleh: Muhammad Ilyas Albifachri, mahasiswa STISHK Kuningan
