KUNINGAN (MASS) – Larangan siswa membawa HP ke sekolah terus menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Sarip, Mahasiswa STAI Kuningan sekaligus kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) turut memberikan pandangannya bahwa kebijakan tersebut perlu dikaji secara lebih menyeluruh.
“Saya memandang pernyataan ketum HMI Komisariat Unisa mengenai perlunya kajian komprehensif terhadap larangan siswa membawa HP ke sekolah adalah langkah yang tepat dan logis,” ujar Sarip, Sabtu (14/6/2025).
Menurutnya, pernyataan tersebut mencerminkan sikap kritis dan rasional dalam merespons kebijakan pendidikan di tengah arus perkembangan teknologi digital yang begitu pesat.
Ia menyampaikan, di era digital seperti sekarang, HP bukan lagi sekadar alat hiburan. Melainkan sudah berkembang menjadi perangkat multifungsi yang dapat menunjang proses pembelajaran, akses informasi, hingga pengembangan literasi digital siswa.
“Jika dulu buku menjadi satu-satunya sumber belajar, kini HP mampu membuka akses ke ribuan bahkan jutaan sumber ilmu pengetahuan yang tersedia secara online,” ucapnya.
Ia juga menyebutkan, bahwa banyak platform pendidikan digital seperti Google Classroom, Ruangguru, Zenius, ataupun e-book yang kini menjadi bagian dari proses belajar siswa. Bahkan dalam situasi tertentu, tidak jarang guru meminta siswa untuk mencari informasi atau mengerjakan tugas melalui ponsel mereka.
“Pelarangan HP secara menyeluruh justru bisa menjadi langkah yang kontra-produktif, dan berpotensi menghambat kreativitas serta inisiatif belajar siswa,” ujarnya.
Namun, ia juga tidak menutup kemungkinan adanya penyalahgunaan HP, seperti bermain game atau mengakses konten yang tidak sesuai saat jam pelajaran. Meski demikian, menurutnya solusi terbaik bukanlah pelarangan melainkan dengan pengawasan dan edukasi.
“Guru dan pihak sekolah dapat menerapkan kebijakan penggunaan HP yang terukur, misalnya hanya boleh digunakan saat pelajaran tertentu dan dibawah pengawasan langsung,” jelasnya.
Ia juga menyoroti peran HP dalam kehidupan nyata, yang menjadi media komunikasi penting antara siswa dengan orang tua dalam keadaan darurat.
“Jadi, ketika pelarangan diberlakukan tanpa kajian yang matang, ada potensi dampak sosial dan emosional yang bisa timbul, baik bagi siswa maupun keluarga mereka,” tambahnya.
Ia menyatakan sepakat bahwa kebijakan tersebut harus dikaji secara menyeluruh, dengan mempertimbangkan aspek pendidikan, teknologi, sosial, dan psikologis siswa.
“Jangan sampai niat baik untuk mendisiplinkan siswa justru menutup ruang inovasi dan akses terhadap kemajuan teknologi,” ucapnya.
“Zaman sudah berubah. Dunia digital ini bukan lagi masa depan, melainkan masa kini. Kita sebagai insan akademik harus bisa menyesuaikan langkah pendidikan dengan perkembangan zaman, bukan mundur karena rasa takut akan penyalahgunaan,” pungkasnya. (didin)
