KUNINGAN (MASS) – Mereka tidak lari dari perang, bukan juga karena bencana. Tapi karena keyakinan yang berbeda. Sudah lebih dari satu dekade mereka hidup di tempat yang bukan kampung halaman, terpisah dari tanah kelahiran, hanya karena dianggap berbeda dalam menjalankan agama yang sama. Ini bukan kisah dari negara jauh. Ini merupakan cerita nyata dari Indonesia hari ini, tentang mereka yang disebut “pengungsi di negeri sendiri”.
Konflik keagamaan yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia telah menimbulkan luka sosial yang mendalam. Salah satunya yakni dengan munculnya kelompok masyarakat yang harus mengungsi di tanah air sendiri karena intoleransi terhadap perbedaan keyakinan dalam satu agama.
Hal itu diungkapkan oleh Dedi Slamet Riyadi, Kasubdit Bina Keagamaan Islam dan Penanganan Konflik Keagamaan Kementerian Agama RI, dalam podcast Kuningan Mass yang tayang pada Selasa (10/6/2025).
“Indonesia saat ini masih memiliki dua kasus IDP (internally displaced persons) akibat konflik keagamaan. Mereka hidup sebagai pengungsi di negeri sendiri,” ujar Dedi.
Sekitar 350 warga dari Sampang, Madura, telah tinggal di Rusunawa Sidoarjo sejak tahun 2011. Mereka diusir karena dianggap mengikuti ajaran Syiah di bawah bimbingan Ustaz Tajul Muluk. Konflik berujung pada perusakan masjid dan rumah-rumah warga, hingga mereka terpaksa meninggalkan kampung halamannya.
“Beberapa dari mereka sudah dipulangkan setelah menyatakan ikrar kembali ke Ahlusunah wal Jamaah, tapi sebagian besar masih tertahan karena belum memiliki tempat tinggal,” jelasnya.
Di Mataram, NTB, sekitar 153 orang dari komunitas Ahmadiyah telah mengungsi sejak 2002. Mereka berasal dari Lombok Timur, Lombok Barat, dan Lombok Tengah, yang terpaksa meninggalkan rumah akibat pengusiran berulang.
“Bayangkan, ada yang mengalami hingga 13 kali pengusiran. Awalnya tinggal di asrama transito, lalu dipindah-pindah. Hingga kini, 19 tahun kemudian, mereka masih berstatus pengungsi,” ungkapnya.
Dedi menegaskan, konflik yang tidak dicegah sejak dini akan menimbulkan krisis kemanusiaan yang panjang. Oleh karena itu, Kementerian Agama menjalankan fungsi mitigasi konflik dengan memetakan potensi konflik keagamaan, melakukan pendekatan dialogis, hingga mediasi.
“Kalau tidak dilakukan pencegahan, dampaknya bisa sangat besar. Ini bukan sekadar perbedaan fikih atau akidah, tapi menyangkut rasa aman dan masa depan warga negara,” tegasnya. (argi)
Selengkapnya, tonton di bawah ini :
