KUNINGAN (MASS) – Perjalanan Muhammad Ibnu Fadhil sebagai seorang muallaf tidak hanya mengajarkannya tentang pentingnya keyakinan, tetapi juga tentang bagaimana menjadi Muslim yang kuat dan mandiri. Sebelumnya, telah dibahas bagaimana ia menolak mentalitas ketergantungan dan memilih untuk bekerja keras demi memenuhi kebutuhannya sendiri. Namun, perjuangannya dalam Islam tidak hanya berhenti pada kemandirian pribadi.
Baginya, menjadi Muslim bukan hanya soal menjalankan ibadah pribadi, tetapi juga tentang bagaimana memberikan manfaat bagi orang lain. Berangkat dari prinsip itu, ia aktif dalam berbagai kegiatan sosial, terutama dalam membantu anak yatim dan dhuafa. Filosofinya sederhana, yaitu memberi di saat sulit merupakan bentuk tertinggi dari ketauhidan dan keyakinan kepada Allah.
Muhammad Ibnu Fadhil memahami betul bagaimana rasanya menghadapi kesulitan, terutama setelah memutuskan untuk hijrah ke Islam. Namun, ia tidak ingin hanya fokus pada dirinya sendiri.
“Kalau saya yang sudah dewasa saja merasa berat saat menghadapi tantangan, bagaimana dengan anak-anak yatim yang sejak kecil sudah kehilangan orang tua? Mereka harus dibantu, bukan hanya secara materi, tetapi juga secara mental dan spiritual,” ujarnya dalam podcast bersama Kuningan Mass, Selasa (18/3/2025).
Berdasarkan pemikiran itu, ia mulai aktif dalam kegiatan sosial, khususnya dalam menyantuni anak yatim dan kaum dhuafa. Setiap kali diundang mengisi ceramah atau dakwah, ia selalu meminta agar panitia juga memperhatikan anak yatim yang ada di daerah tersebut.
“Saya tidak akan memulai tausiah sebelum anak yatim yang hadir diberi makan dan disantuni,” ungkapnya.
Berbeda dengan pendekatan yang hanya memberikan bantuan materi sesaat, Muhammad Ibnu Fadhil ingin memastikan bahwa anak yatim mendapatkan sesuatu yang lebih berharga yaitu ilmu dan pendidikan.
“Memberi uang sekali dua kali itu mudah. Tapi kalau hanya begitu, mereka akan terus bergantung pada bantuan. Yang lebih penting adalah bagaimana mereka bisa mandiri dan memiliki masa depan yang lebih baik,” jelasnya.
Sejak tahun 2008, ia telah menyantuni lebih dari 1000 anak yatim. Namun, belakangan ia mulai mengubah pendekatannya. Jika sebelumnya bantuan yang diberikan lebih banyak dalam bentuk uang dan kebutuhan sehari-hari, kini ia lebih fokus pada pendidikan dan pemberdayaan.
“Saya ingin mereka tumbuh dengan bekal ilmu yang cukup. Karena itu, sekarang saya lebih banyak memberikan pembekalan ilmu agama dan keterampilan kepada mereka,” lanjutnya.
Muhammad Ibnu Fadhil juga mengingatkan, yatim bukan hanya mereka yang kehilangan orang tua secara fisik, tetapi juga mereka yang tidak mendapatkan pendidikan yang layak.
“Dalam Islam, ada istilah yatim harfiah, yaitu anak yang kehilangan ayahnya. Tapi ada juga yatim ilmu, yaitu mereka yang memiliki orang tua tetapi tidak mendapatkan pendidikan yang baik. Ini yang lebih berbahaya,” ujarnya.
Karena itu, ia mulai memprioritaskan program pendidikan bagi anak-anak yatim yang ia bantu. Salah satu caranya yakni dengan menjalin kerja sama dengan pondok pesantren untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak yatim belajar agama dan menghafal Al-Qur’an tanpa harus khawatir soal biaya.
“Kalau kita ingin membangun umat yang kuat, kita harus mulai dari anak-anak. Mereka adalah generasi masa depan yang harus kita persiapkan dengan baik,” katanya.
Muhammad Ibnu Fadhil menolak anggapan seseorang harus menunggu kaya atau memiliki harta berlebih untuk bisa berbagi.
“Kita sering berpikir, ‘Nanti kalau saya sudah sukses, saya akan membantu orang lain.’ Tapi sebenarnya, berbagi di saat kita sendiri dalam keterbatasan adalah bentuk tertinggi dari keimanan,” tegasnya.
Baginya, rezeki yang diberikan Allah tidak akan berkurang dengan berbagi, justru sebaliknya.
“Saya tidak pernah takut kekurangan karena berbagi. Setiap kali saya memberi, Allah selalu mengganti dengan rezeki yang tidak disangka-sangka,” ungkapnya.
Ke depan, Muhammad Ibnu Fadhil berencana untuk lebih memperluas cakupan program pendidikan bagi anak-anak yatim dan dhuafa. Melalui dukungan dari berbagai pihak, ia berharap bisa memberikan lebih banyak kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik.
“Kalau kita ingin melihat perubahan besar dalam masyarakat, kita harus mulai dari anak-anak. Mereka adalah investasi kita untuk masa depan,” pungkasnya. (argi)
Tonton selengkapnya di sini :
