KUNINGAN (MASS) – Pada hari Kamis, 7 September 2017 saya Raden Jaka Rumantaka telah mengadukan sepuluh media on line berbasis internasional, nasional dan lokal ke dewan pers. Sepuluh media tersebut adalah Kompas.Com, Tempo.Co, BBC.Com, CNNIndonesia.Com, Dailymail.Co.Id, Media Indonesia.Com, Tirto.Id, Jabarkahiji.Id, Mediagaruda.co.Id, dan Netralnews.Com.
Berkas aduan saya serahkan langsung ke gedung dewan pers, Jl. Kebon Sirih No.32-34 Gambir, Jakarta Pusat. Saya mengadukan sepuluh media tersebut dengan alasan sbb:
1. Salah satu dan atau beberapa dari media on line tersebut telah terbukti memuat informasi yang salah, bias, tidak cover bothside (berimbang), tidak objektif, dan tidak melakukan verifikasi data dari berbagai sumber terkait proses ekseskusi lahan sengketa tanah yang sedang saya hadapi.
Di antara data yang menyesatkan publik tersebut di antaranya adalah:
- Perihal luasan lahan yang dieksekusi. Pada salah satu dan atau beberapa dari media tersebut mendedahkan bahwa luasan tanah yang akan dieksekusi adalah dua hektare. Padahal faktanya hanya 224 m. Dramatisasi luasan lahan tersebut terkesan seolah eksekusi akan mencakup pada cagar budaya gedung paseban. Padahal objek sengketa hanyalah sebuah rumah tempat tinggal pihak tergugat. Bahkan Tempo.co dengan sengaja memasang foto gedung paseban dan bukan foto rumah objek sengketa. Di bawah judul “Warga Sunda Wiwitan Pertahankan Rumah Adat yang Akan Disita”. (Tempo.Co kamis 24 agustus 2017)
- Salah satu dan atau beberapa dari media on line tersebut, menarasikan bahwa tanah 224 m tersebut merupakan tanah adat dan tanah cagar budaya. Salah satunya kompas.com edisi 13 juli 2017 dalam judulnya “Cagar Budaya akan Dieksekusi Warga Adat Sunda Wiwitan Demo) Padahal tidak ada satupun dokumen legal maupun historis yang menerangkan bahwa sepetak tanah objek sengketa tersebut merupakan tanah adat dan cagar budaya. Fakta yang sudah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Kuningan hingga Mahkamah Agung Republik Indonesia menyatakan justru tanah tersebut milik alm. Ratu Siti Djenar yang diwariskan dari sang ayahanda Pangeran Tedja Buana. Ini bisa dibuktikan oleh data historis maupun dokumen legal-formal yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Pembuatan berita salah satu dan atau beberapa media online tersebut diduga hanya berdasar pada press release yang disebarkan oleh salah satu pihak (pihak tergugat). Jika pun melakukan reportase lapangan, maka sudah dipastikan reportase itu hanya dilakukan pada salah satu pihak saja (pihak tergugat). Tidak ada dari media tersebut yang melakukan coverboth side pada pihak saya. Ada pernah datang wartawan yang mengaku dari CNN namun hanya mengambili data sedangkan klarifikasi berita dari saya tidak muncul muncul.
3. Sisi framing (pembingkaian) yang menjadi kacamata media media tersebut seolah menjadikan isu ini sebagai isu adat dan budaya. Padahal nyatanya ini hanya masalah internal keluarga dan masalah perdata biasa. Dengan berkali-kali menulis data yang salah (luasan lahan dan status lahan) perihal tanah sengketa, media-media tersebut tanpa sadar telah melakukan framing berita yang bias dan menyesatkan. Celakanya, kesesatan data ini nyaris menjadi referensi utama banyak media lain, Lembaga Swadaya Masyarakat, aktivis adat maupun budaya, intelektual, akademisi, maupun masyarakat umum yang tersebar di berbagaimedia sosial (screen shoot bukti ada pada saya).
4. Salah satudan atau beberapa dari media media online tersebut selain melakukan framing berita juga malah sudah menjurus ke fitnah yang tanpa verifikasi dan validitas data. Salah satu dan atau beberapa dari media on line tersebut ada yang mengutip pernyataan narasumber tergugat bahwa “Nah, dia (Jaka) mainlah. Kami menduga bupati terlibat. Bupati kepentingannya memang memecah belah massa. Siapa di belakangnya, Chevron, soal geothermal, jadi persis kaya belanda dulu” ujarnya. CNN Dalam berita berjudul “Jelang Eksekusi, Sunda Wiwitan Menolak Tunduk Pada Negara.” (CNN,23 Agustus 2017)
Kutipan pernyataan di atas sesat dan menyesatkan. Bahkan masuk dalam delik fitnah. Mengapa CNN menggiring opini publik bahwa bupati dan Chevron dibawa-bawa dalam persoalan saya ini? Tanpa ada usaha untukverifikasi. Apa salah saya sebagaiwarganegara berjuang hampir sepuluh tahun mempertahankan hak saya kakak dan adik saya sehingga media-media tersebut mendiskreditkan saya sedemikan rupa dan menyeret persoalan chevron yang tidak saya mengerti.
5. Salah satu dan atau beberapa media-media tersebut menuduh saya mengerahkan massa islam radikal guna menekan pengadilan. Padahal faktanya pihak tergugatlah yang setiap kali sidang selalu mengerahkan massa. (Saksinya banyak, silahkan wartawan media tersebut verifikasi ke lapangan) Saya hanya menerima bantuan massa, itu juga dalam persidangan sebanyak dua kali, itu juga dalam sidang pada tanggal 17 dan 24 mei 2016 ketika akur sunda wiwitan menggugat saya dan dimenangkan kembali oleh saya. Tapi pada persidangan 2009 dan putusan 2010 saya tidak pernah mendatangkan massa seorang pun hanya pihak keluarga saja yang datang (adik/kakak) justru dari pihak tergugat selalu mendatangkan massa banyak dari penghayat (PASKU) seperti halnya dengan saat ini pihak sunda wiwitan mengajukan perlawanan eksekusi selalu mendatangkan massa dan dari pihak luar seperti Ormas GMBI dan GEMPUR yang menurut saya itu tidak kaitannya dengan pelaksanaan eksekusi. saat sidang putusan saja (kurang lebih dua kali) itu pun hanya kurang dari lima puluh orang dan yang boleh masuk ruang sidang hanya sepuluh orang. Dulu selama bertahun-tahun sayasetiapkali sidang selalu datang seorang diri ataudiantar istri saya. Sesekali diantar adik saya.
Sebagai pribadi, jelas saya dan keluarga sangat dirugikan dari pemberitaan sesat yang massif ini. Seolah saya adalah manusia yang tidak mencintai entitas adat dan budaya. Seolah saya mau membenturkannya dengan Islam radikal. Seolah saya jadi alat Chevron dsb.
Dalam lokus yang lebih luas, pemberitaan yang menyesatkan ini telah menjadi bola salju yang meresahkan di tengah masyarakat Indonesia, khususnya di kota Kuningan. Yang lebih disayangkan dari hal di atas adalah, pemberitaan sesat ini juga berimbas pada lahirnya krisis verifikasi di kalangan Intelektual juga aktivis lembaga-lembaga Swadaya secara nasional. Banyak mereka menulis status di media sosial berapi-api membahas soal ini sebagai soal tanah adat padahal data luasan tanah yang akan dieksekusi. Luasan tanahnya saja mereka salah sebut duahektar. (screen shoot ada pada saya) Saya berharap pada para intelektual itu untuk menghapus/mengoreksi postingan mereka yang salah data tersebut karena hal tersebut tidaksesuai dengan nalar intelektualitas yang objektif.
Demikian Siaran Pers saya. Mohon dengan hormat untuk mempublikasikannya sebagai bahan penyeimbang informasi bagi masyarakat luas. Dan sebagai wujud harapan saya yang mengidamkan jurnalisme Indonesia yang lebih sehat.
Penulis: Rd. Jaka Rumantaka (Putra dari Almh. Ratu Siti Djenar)