KUNINGAN (MASS) – Rabu, 27 November 2024 pemilihan kepala daerah serentak di Indonesia. Ini adalah momentum bagi masyarakat untuk menentukan pemimpin di daerahnya masing-masing. Lima tahun ke depan, pemimpin yang terpilih dan dilantik akan “menentukan” nasib rakyat. Tahta yang didudukinya apakah dimanfaatkan untuk rakyat atau justru sebaliknya, mengatasnamakan rakyat hanya untuk kementingan dirinya sendiri dan kelompok atau golongannya.
Pada tahun 1982 terbit sebuah buku dengan judul Tahta untuk Rakyat. Buku ini ditulis dalam rangka peringatan 70 tahun Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Buku tersebut mengulas celah-celah kehidupan Sultan, masa-masa kehidupan Sultan dari kecil sampai jadi Raja dan mengembangkan Yogyakarta. Buku itu juga dilengkapi refleksi, kesan-kesan para tokoh bangsa dalam dan luar negeri yang mengenal dekat sosok Sultan.
Kesan-kesan para penulis dalam buku itu sangat luar biasa menggambarkan sosok Sultan yang, tidak hanya dekat melainkan dicintai rakyatnya. Kedekatan Sultan dengan rakyat, baik sikap dan tindakannya itu bertolakbelakang dari rahim kerajaan yang feodal. Sebaliknya, menurut Arnol C. Brackman (1982:238), Sultan justru menjadi jembatan simbolis antara feodalisme dari masa lalu dan semangat sama rata sama rasa dari revolusi Republik Indonesia. Karena keistimewaannya itu, Sultan dinilai sebagai sosok pribadi yang luar biasa dan unik yang pernah dimiliki bumi pertiwi.
Surastri Karma (SK) Trimurti (1982: 225-228) menuturkan bukti kepedulian dan kedekatan Sultan dengan rakyat. Ketika hendak diangkat menjadi raja, salah satu syaratnya adalah meminta supaya rakyat di daerah Pantai Selatan dibebaskan dari pajak pengambilan garam. Menurut Trimurti, permohonan Sultan tersebut mengidentifikasi bahwa keberpihakan Sultan terhadap rakyat sangat besar. Walapun pada tulisannya, Trimurti mengaku belum mengonfirmasi kebenaran permohonan Sultan tersebut.
Di sisi lain, Sultan juga pernah dimarahi ibu-ibu karena menolak menerima ongkos dari sang ibu yang diantarnya ke sebuah pasar. Ibu-ibu itu marah karena mengira sang sopir meminta ongkos lebih besar dari yang dikasihnya. Ia tidak tahu bahwa mobil yang ia tumpangi termasuk sopirnya adalah Sultan. Ibu-ibu tersebut pingsan di pasar saat dikasih tahu bahwa mobil yang ditumpangi dan sopir dimarahinya itu adalah Raja, Sultan penguasa Yogyakarta.
Sjafrudin Prawiranegara menerangkan bahwa pangkat feodal Sultan tidak mempengaruhi rasa kemanusiaan dan kerakyatannya (1982: 248). Sultan dinilai benar-benar memahami dan melaksanakan kewajiban seorang bangsawan untuk melindungi dan membantu, baik rakyatnya sendiri (warga Yogyakarta) maupun bukan rakyatnya (luar Yogyakarta), yang memerlukan bantuan dan perlindungan. Hal itu dirasakan sendiri oleh Sjafrudin yang bukan orang Jawa tetapi mendapat perlindungan serius di Yogyakarta, bahkan ditempatkan khusus di dalam kraton ketika keluarganya dalam ancaman Belanda.
Menariknya, walaupun tidak terhitung kebaikan-kebaikan yang dilakukannya, Sultan enggan mencari perhatian dan menonjolkan diri. Ia banyak menolak ketika ditawari berbagai kebaikannya untuk dipublikasi. Menurut Doddy Patomihardjo, dalam diri Sultan tidak tampak perasaan Istimewa terhadap dirinya sendiri (2012: 257). Sultan tidak gila pujian. Sultan tidak mau budi baiknya di awal berdirinya Republik sampai masa tuanya diketahui banyak orang. Pernah terjadi, Ketika salah satu wartawan menuliskan kebaikan Sultan, naskah tulisan tersebut dirobek dan dibuang. Sultan berpesan bahwa masalah tersebut tidak usah diingat-ingat. Jangan ditulis dan disebarkan.
Sangat banyak cerita dan kesaksian para tokoh bangsa tentang kepribadian Sultan yang istimewa. Selain buku Tahta untuk Rakyat yang diterbitkan Gramedia, pada tahun 2012 juga terbit buku yang berisi tulisan serius tentang sosok Sultan berjudul Inspiring Prophetic Leader; Memimpin dengan Kecerdasan Intelektual dan Spiritual. Buku terbitan IRSI itu lebih komprehensif memandang Sultan dari berbagai sudut pandang yang ditulis oleh banyak tokoh bangsa dari berbagai generasi.
Sri Sultan Hamengkubuwono adalah Pahlawan Nasional sesuai anugerah yang diterimanya pada tahun 1990. Selain jasa-jasanya yang luar biasa besar dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia melawan Belanda, Sultan juga sangat berjasa dalam membangun karakter bangsa. Karena itu jugalah Buya Syafii Maarif menyebut Sultan sebagai Man of Character. Bahkan menurutnya, jika orang seperti Sultan menjadi pemimpin Indonesia akan banyak masalah fundamental bangsa yang dapat didudukan secara benar dan baik. Indonesia pasti tidak akan oleng seperti saat ini, di mana kedaulatan semakin digerogoti pihak asing. (2012:12)
Karakter dan jiwa humanis Sultan sebagaimana kesaksian para tokoh di atas adalah contoh pemimpin ideal yang tahtanya digunakan untuk kepentingan rakyat. Semoga para calon pemimpin yang saat ini berkompetisi, baik gubernur wakil gubernur maupun bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakilnya memiliki jiwa yang sama dengan Sultan. Khusus untuk para pemilih, momentum 27 November ini dimanfaatkan untuk menentukan pilihannya secara rasional dan cerdas. Pilihan diarahkan kepada poto pasangan calon pemimpin yang dinilai dan teruji mementingkan rakyat di atas segalanya.
Penulis : Sopandi – Dosen Unisa Kuningan