KUNINGAN (MASS) – Rencana pembentukan kabinet zaken oleh Prabowo Subianto, yang diharapkan akan diisi oleh profesional yang ahli di bidangnya, semakin sulit untuk direalisasikan.
Kabinet zaken adalah konsep di mana menteri-menteri yang diangkat seharusnya berasal dari kalangan non-politisi, yang tidak terikat dengan kepentingan partai, dan hanya fokus pada keahlian serta pengalaman di sektor yang mereka tangani.
Namun, realitas politik Indonesia tampaknya kembali menantang idealisme ini, dan politik “dagang sapi”āistilah populer yang menggambarkan negosiasi politik yang transaksionalāmulai terlihat mendominasi komposisi kabinet.
Kabinet Zaken: Sebuah Harapan yang Mulai Pudar
Prabowo Subianto, yang akan segera dilantik sebagai Presiden Indonesia, telah beberapa kali menyuarakan niat untuk membentuk kabinet zaken.
Kabinet ini dijanjikan akan berisi para profesional dan teknokrat yang berkompeten, terlepas dari afiliasi politik mereka. Konsep ini sejalan dengan kebutuhan negara untuk menghadapi berbagai tantangan global seperti krisis energi, perubahan iklim, hingga ancaman geopolitik.
Pada dasarnya, kabinet zaken dianggap sebagai solusi untuk memastikan bahwa pemerintahan berjalan lebih efektif, transparan, dan berorientasi pada hasil, tanpa dihambat oleh kepentingan partai politik.
Namun, sejak mulai beredar nama-nama calon menteri dan wakil menteri yang dipanggil oleh Prabowo ke kediamannya, terlihat jelas bahwa rencana tersebut tidak akan berjalan sesuai harapan.
Dari 49 calon menteri yang dipanggil pada 14 Oktober 2024, sebagian besar berasal dari partai-partai politik besar, seperti Gerindra, PAN, PKB, dan Demokrat.
Hal ini menunjukkan bahwa janji kabinet zaken lebih terlihat sebagai “pura-pura zaken,” di mana unsur politikus masih dominan, dan bahkan mengesampingkan profesional yang tidak berafiliasi dengan partai.
Kondisi ini semakin mencolok ketika melihat daftar calon wakil menteri yang dipanggil pada 15 Oktober 2024.
Fenomena ini mengindikasikan bahwa kabinet Prabowo lebih diarahkan pada akomodasi politik daripada penekanan pada kompetensi teknis.
Politik Dagang Sapi: Sebuah Tradisi yang Kembali Terulang
Politik dagang sapi bukanlah hal baru di Indonesia. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan praktik pembagian kekuasaan yang melibatkan negosiasi antara berbagai pihak demi mendapatkan posisi atau pengaruh dalam pemerintahan.
Sejarah politik Indonesia, khususnya setelah era Reformasi, telah menunjukkan bagaimana koalisi besar hampir selalu berakhir dengan kompromi yang melibatkan berbagai partai politik dalam susunan kabinet.
Setiap partai politik yang berkoalisi berharap mendapatkan “jatah” kekuasaan dalam bentuk jabatan menteri atau wakil menteri. Inilah yang menyebabkan munculnya kabinet yang tidak efisien, dengan banyak posisi yang diberikan bukan karena kompetensi tetapi karena kebutuhan politik.
Kabinet zaken yang diusulkan oleh Prabowo, seharusnya dapat menghindari jebakan ini. Namun, pada kenyataannya, Prabowo perlu mengakomodasi banyak partai politik yang telah mendukungnya selama kampanye, termasuk PAN, PKB, Demokrat, dan Gerindra sebagai partai utamanya.
Ketika kepentingan politik ini mulai mendikte susunan kabinet, konsep kabinet zaken yang idealistis pun mulai luntur.
Di sinilah letak paradoks: untuk mempertahankan stabilitas politik, Prabowo harus membagi-bagi posisi kepada partai-partai pendukungnya, meskipun ini berarti mengorbankan tujuan awalnya membentuk kabinet profesional.
Praktek politik dagang sapi ini mirip dengan apa yang pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960-an, ketika ia membentuk Kabinet Seratus Menteri.
Kabinet tersebut bukan hanya besar dalam jumlah, tetapi juga dipenuhi oleh berbagai golongan politik yang tujuannya adalah untuk menjaga stabilitas politik di tengah-tengah dinamika zaman itu. Namun, hasilnya adalah pemerintahan yang gemuk dan tidak efektif, karena terlalu banyak kepentingan politik yang harus diakomodasi.
Prabowo menghadapi dilema yang sama: bagaimana menjaga stabilitas politik dengan merangkul berbagai partai besar, tanpa merusak efektivitas pemerintahan.
Dengan jumlah kementerian yang berpotensi bertambah akibat kompromi politik, anggaran negara pun diperkirakan akan membengkak.
Lebih jauh lagi, hal ini berpotensi menciptakan birokrasi yang lambat, kurang inovatif, dan lebih fokus pada mempertahankan kekuasaan daripada menyelesaikan masalah nyata di masyarakat.
Kabinet Zaken atau Kabinet Dagang Sapi?
Ketika Prabowo mulai memanggil para calon menteri, ekspektasi publik adalah kabinet yang lebih ramping, lebih efisien, dan lebih berfokus pada hasil.
Namun, susunan calon menteri dan wakil menteri yang diundang ke Kertanegara menunjukkan hal yang sebaliknya: politik dagang sapi tetap menjadi dasar pemilihan, bukan kompetensi. Hal ini memunculkan pertanyaan: apakah kabinet zaken yang dijanjikan hanyalah sebuah retorika politik belaka?
Kabinet zaken sejatinya dibentuk untuk merespon kebutuhan akan pemerintahan yang cepat dan tepat, terutama dalam situasi global yang penuh ketidakpastian. Namun, jika menteri dan wakil menteri yang diangkat hanya diukur berdasarkan kontribusi politik mereka dalam kampanye, maka harapan akan pemerintahan yang lebih baik semakin jauh dari kenyataan.
Ini bukan hanya soal teknokrasi yang gagal diwujudkan, tetapi juga soal komitmen pada reformasi birokrasi yang dijanjikan selama kampanye.
Kabinet Prabowo ini seharusnya bisa menjadi contoh bagaimana Indonesia bisa bertransformasi ke pemerintahan yang lebih modern dan efisien, dengan menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan politik.
Namun, ketika politik dagang sapi masih menjadi mekanisme utama dalam menentukan susunan kabinet, sulit untuk mengharapkan perubahan yang signifikan.
Tantangan Ke Depan: Mewujudkan Kabinet yang Efektif
Jika kabinet zaken yang ideal sulit diwujudkan, maka tantangan bagi Prabowo dan koalisi pendukungnya adalah memastikan kabinet ini tetap efektif dan efisien, meskipun berisi banyak politisi.
Kunci keberhasilan kabinet Prabowo adalah bagaimana ia dapat mengelola kepentingan-kepentingan politik ini tanpa mengorbankan pelayanan publik.
Kolaborasi antara menteri-menteri yang berasal dari kalangan politik dan profesional harus dikelola dengan baik, agar birokrasi tidak terjebak dalam kepentingan partisan.
Ini bisa dilakukan dengan memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil berdasarkan analisis data yang kuat dan kebutuhan masyarakat, bukan sekadar keinginan untuk mempertahankan kekuasaan.
Pada akhirnya, kabinet Prabowo akan diuji oleh kemampuan mereka untuk menghasilkan perubahan nyata bagi masyarakat. Jika politik dagang sapi tetap dominan, kabinet ini mungkin akan dikenang sebagai kabinet yang gemuk, lambat, dan tidak mampu membawa Indonesia keluar dari berbagai krisis yang dihadapinya.
Sebaliknya, jika Prabowo mampu mengelola kompromi politik ini dengan baik, kabinetnya masih bisa membawa perubahan positif bagi negara.
Namun, melihat susunan awal yang lebih diwarnai oleh politisi daripada profesional, sulit untuk tidak pesimis.
Kabinet pura-pura zaken ini tampaknya akan lebih mirip kabinet dagang sapi, mirip dengan apa yang pernah terjadi di era Soekarno.
Achmad Nur Hidayat, MPP (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)