KUNINGAN (MASS) – Umat Islam di seluruh dunia sedang menikmati momentum spiritual dengan tibanya tahun baru Islam 1446 Hijriyah. Dalam Siroh Nabawiyah peristiwa ini ditandai dengan perjalanan Rasulullah dari Mekah ke Madinah. Sebuah perjalanan suci untuk mempertahankan dakwah Islam meski harus meninggalkan harta kekayaan dan kehormatan nasab di Mekah. Maka semangat hijrah pula yang coba kita tanam memasuki tahun baru Islam ini.
Hijrah Rasul dari Mekah ke Madinah layak kita sebut sebagai momentum, karena prosesnya yang panjang dan dilalui dengan penuh pengorbanan hingga menghasilkan kemenangan yang gemilang. Sehingga hijrah Rasul bukan sekadar perpindahan lokasi dari satu kota ke kota lain, melainkan perjalanan penuh perjuangan dan siasat. Oleh karena itu, memaknai tahun baru Islam harus sampai pada tahapan refleksi langkah demi langkah yang diayunkan Rasul selama hijrah.
Refleksi paling mendalam dari hijrah Nabi adalah keikhlasan sosok Abu Bakar yang menyodorkan jiwa, raga dan hartanya demi keberlangsungan dakwah Islam. Ia menawarkan dengan segera untuk membersamai, meski Nabi menahannya sampai turun perintah dari Allah SWT. Ia persiapkan unta terbaiknya untuk Nabi, meski akhirnya Nabi menolak pemberian tersebut tapi secara profesional membelinya dari Abu Bakar.
Permintaan Abu Bakar kepada Rasul bukan tawaran rihlah penuh bahagia yang selanjutnya akan kembali pada keluarga, tidak sama sekali. Kesiapan Abu Bakar mendampingi Rasul adalah ikhlas paling nyata dalam kehidupan manusia. Pendampingan Rasul ke Madinah sama dengan meninggalkan selama-lamanya gelar kehormatan di hadapan Quraisy dan kekayaan yang turun temurun didapatkan sebagai pedagang berpengalaman. Keikhlasan itu pula yang ditanggung oleh para sahabat yang hijrah lebih awal sesuai perintah Rasul.Dari hijrah kita dapat merefleksikan karakter leadership yang ditunjukkan Rasulullah. Seperti saat persiapan perang Khandaq, Rasul tidak diam seraya memberikan intruksi untuk menggali parit, kecuali dirinya berkeringat bersama umatnya. Begitu juga intruksi hijrah kepada umatnya, dilaksanakan dengan penuh ketaatan sebagai perintah Allah SWT. Jiwa leadership Rasulullah yang patut kita teladani makin nampak saat kebijakannya bersiasat untuk melakukan hijrah. Dalam benaknya bukan soal selamat dari kejaran kafir Quraisy, lantas tiba di Madinah sebagai tujuan. Jika itu tujuannya, Rasul dapat melakukannya bersama Umar bin Khattab yang hijrah dengan terang-terangan tanpa seorangpun berani menyentuhnya. Prioritas Rasul adalah kesadaran dirinya sebagai pemimpin yang akan menjadi teladan bagi umatnya. Sehingga langkah yang dilakukan saat hijrah adalah realitas yang dilalui umat pada umumnya, bukan berlindung di balik kekuatan untuk menembus kemenangan.
Siasat dan kesabaran merupakan nilai yang berhasil meruntuhkan logika lawannya untuk menggagalkan pergerakan Rasul. Mulai dari waktu hijrah yang sangat diperhitungkan hingga jalur perjalanan yang jauh di luar perkiraan. Bahkan Rasul bersama Abu Bakar harus menempuh jalur yang lebih panjang, menjauh dari rute yang memudahkan. Salah satunya harus menetap di Goa Tsur beberapa hari untuk terhindar dari ancaman pembunuh bayaran. Dalam ketegangan dan penuh rasa cemas Rasul menenangkan Abu Bakar, “Janganlah engkau cemas, sesungguhnya Allah bersama kita.”
Nilai-nilai hijrah yang sering kita lupakan setiap tahunnya dalam perayaan tahun Islam adalah pengorbanan para sahabat. Sejatinya hijrah ini pilihan antara bertahan di Mekah dengan nasab keluarga yang terhormat serta kekayaannya atau pergi ke Madinah menggenggam Islam. Hijrahnya umat islam juga tidak berbicara tentang rasa takut hingga harus melarikan ke Madinah agar terhindar dari siksaan dan ancaman pembunuhan. Semuanya dilakukan untuk mempertahankan Islam meski harus mengorbankan kehidupan di Mekah.
Refleksi pantang menyerah patut kita teladani dari para sahabat dalam peristiwa hijrah ini. Mereka totalitas agar bisa sampai Madinah, berjalan perlahan dan sembunyi-sembunyi hingga tak banyak perbekalan yang bisa dibawa. Bahkan Rasul pun bersama Abu Bakar merencanakan serangkaian strategi hingga melibatkan keluarganya. Rasul ingin memberikan teladan kepada kita bahwa sebagai manusia sudah sepatutnya terus merencanakan dan berjuang walaupun hasil adalah kuasa Tuhan.
Rasul menjabarkan urgensi perjuangan bagi umat Islam dalam rangka menjemput takdir Allah SWT. Usaha-usaha Rasul dalam peristiwa hijrah menunjukkan keharusan manusia berikhtiar dan bertawakal. Bisa saja Rasul memohon untuk memudahkan perjalanan hijrahnya, tapi langkahnya sebagai utusan tidak bisa disamakan dengan umatnya. Bisa juga Rasul hijrah dalam perlindungan Umar yang secara terang-terangan dan gagah berani. Hal itu tidak mungkin dilakukan juga sebab setiap langkahnya adalah hujjah syar’iyyah bagi umat Islam.
Begitulah nilai-nilai yang dapat kita refleksikan dalam menyambut tahun baru Islam 1446 hijriyah. Sebuah perjalanan spiritual yang tidak hanya bermakna perpindahan tempat saja (hijrah makaniyah), melainkan memberikan makna lebih luas terhadap semangat juang umat Islam (hijrah maknawiyah). Semoga di tahun baru ini dapat memberikan semangat dan daya juang baru untuk menggapai takdir yang Allah SWT berikan untuk kita.
Oleh : Dr. KH. Alfan Syafi’i, Lc., M.Pd.I