KUNINGAN (MASS) – Berbicara tentag debat beberapa hari kebelakang, sangat lah penuh dengan hal yang berbau politik, bahkan tak sedikit dari warga masyarakat secara umum melihat dan berkomentar dalam berbagai akun sosial medianya dan memperbincangkan mengenai debat pilpres yang diselenggarakan oleh KPURI pada tanggal 12 Desember 2023.
Sebelum lebih dalam membahas mengenai debat kemarin, alangkah lebih baiknya kita mengetahui juga tentang debat itu sendiri, apa itu debat, dan lain sebagainya. Debat adalah sebuah forum di mana dua pihak atau lebih saling berargumentasi untuk mempertahankan atau menentang suatu pendapat atau pandangan.
Tujuan utama dari debat adalah untuk menemukan kebenaran atau mencapai pemahaman yang lebih baik mengenai suatu isu. Proses debat melibatkan penyampaian argumen, pertukaran ide, dan analisis kritis untuk meyakinkan audiens atau pihak yang bersaing. Debat kemarin diikuti oleh tiga calon presiden dan tiga calon wakil presiden hanya mendampingi.
Kita ketahui bersama sempat menjadi obrolan yang cukup hangat dari berbagai elemen, khusunya para pemerhati debat mengenai format debat yang diselenggarakan KPURI tersebut. Perubahan format debat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) menjelang Pilpres 2024 itu disebut pengamat politik dapat memunculkan dugaan masyarakat tentang adanya upaya melindungi kelemahan salah satu pasangan calon. Polemik atas format debat ini juga disebut termasuk kedalam rentetan residu dari putusan MK yang kontroversial tentang batas usia capres dan cawapres.
Debat kandidat capres dan cawapres telah diatur dalam Pasal 277 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Kemudian, agenda debat diturunkan dalam Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampaye Pemilihan Umum. Pada regulasi sebelumnya mengatur bahwa untuk debat kandidat pasangan calon itu diselenggarakan dengan format 5 kali debat, dengan 3 kali debat capres dan 2 kali debat cawapres. Kemudian untuk perbedaannya, kata Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari, pada Kamis (30/11), terletak pada agenda debat. Jika agenda debat capres, maka proporsi bicara capres akan lebih banyak dibanding cawapres, dan begitu pula sebaliknya saat debat cawapres.
Sejatinya, ketika kita mempermasalahkan dan ingin mencoba menelisik lebih dalam mengenai tekhnis debat ini, secara inhern dalam diri kita juga menginginkan bahwasanya negeri ini dipimpin oleh pemimpin yang Cakap, Cerdas dan juga Berwibawa dalam debat. Kami sadar akan perlunya ide serta gagasan mau dibawa kemana indonesia ketika capres tersebut memimpin, kebijakan seperti apa yang akan dipilih jika nantinya capres tersebut yang menang.
Berbagai polemik memang banyak mewarnai kontestasi pemilu saat ini, mulai dari kekhawatiran adanya pihak penyelengara yang tidak bisa mementingkan kepentingan rakyat, sampai ke peserta pemilu yang menggunakan kewenangan dan keleluasaan menggunakan anggaran untuk memobilisasi masa, dan lain sebagainya. Ini menjadi suatu hal yang tidak baik dan akan merusak citra Pemilu itu sendiri yang sejatinya harus ber asaskan LUBER dan JURDIL.
Kembali lagi kita fokuskan bahasan kita pada debat kandidat, disana terlihat seru, para capres mengeluarkan gagasan-gagasan nya untuk indonesia kedepan di bidang pemerintahan, hukum HAM, pemberantasan korupsi, penguatan demokrasi, serta peninngkatan layanan publik dan kerukunan warga. Ketiga capres memberikan gagasan-gagasannya mengenai tema tersebut dengan gaya nya masing-masing.
Debat tersebut menjadi ajang dimana seni beretorika, kevcerdasan, dan kemampuan untuk memberikan argumen yang offensif maupun deffensive menjadi point yang dapat dinilai oleh seluruh masyarakat di indonesia.
Capres nomor urut satu, Anies Baswedan, menurut saya yang paling dominan dan muncul sebagai The Most Valuable Player (MVP) malam itu. Penampilannya tidak hanya terkenal dengan isi argumennya, tetapi juga karena cara penyampaiannya yang apik dan runtut sehingga dapat difahami oleh berbagai kalangan masyarakat.
Anies mengambil sikap untuk mengkritik menurunnya indeks demokrasi di indonesia, kepercayaan publik terhadap parpol dan menyuarakan isu-isu yang lebih luas tentang kebebasan berekspresi. Argumennya bahwa demokrasi Indonesia telah terbukti tidak dapat dipercaya, sangat menarik perhatian banyak pemilih yang kecewa dengan status quo.
Kemudian capres nomor urut dua, Prabowo subianto, tampak berada di posisi deffensive sepanjang debat. Upayanya untuk merebut kursi kepresidenan sarat dengan beban berat dari karier militernya jama dulu dan hubungannya dengan pemerintahan saat ini. Keputusannya menjadikan Gibran, anak Presiden Jokowi sebagai calon wakil presiden disadari banyak orang sebagai langkah oportunis.
Pada debat tesebut juga membahas mengenai putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi Gibran Rakabuming untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden, isu yang sulit dijawab oleh Prabowo. Desakannya tentang kecerdasan dan kemampuan rakyat untuk memutuskan kebenaran tampak seperti upaya untuk menangkis kritik tanpa secara langsung terlibat dengan substansi tuduhan yang dilontarkan kepadanya.
Untuk capres nomor urut tiga, Ganjar Pranowo, meskipun memberikan penampilan yang mengesankan, awalnya tampil di luar tema. Namun, ia dengan cepat mendapatkan kembali ketenangannya dan secara efektif menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai tingkat pengangguran di Jawa Tengah dan programnya yaitu Kartu Tani.
Debat ini telah menjadi awal bagi siklus pemilihan umum di mana keterlibatan pemilih dan pengawasan kebijakan akan membentuk jalan Indonesia ke depan. Pemilihan umum kali ini tidak hanya akan menentukan siapa presiden. Namun, hal ini juga akan menunjukan pendewasaan dalam proses berdemokrasi di Indonesia, yang menandakan kesiapan bangsa Indonesia untuk melangkah ke masa depan yang ditentukan oleh pilihan yang tepat.
Sebagai catatan, saya sampaikan sedikit tentang perpolitikan di Kampus, yang sekarang berubah nama menjadi UIN Syber Syekh Nurjati Cirebon. Saya yang menjadi saksi bisu tentang bagaimana permainan kotor perpolitikan memang berawal dari ranah kampus, mulai dari penyelenggaranya (KPM), peserta pemilihannya baik senat maupun Ketua BEM/DEMA yang penuh dengan intrik yang tidak semestinya ada pada kalangan Mahasiswa.
Teringat salah satu perkataan Tan Malaka, yaitu “Idealisme merupakan kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda”.
Kampus yang sejatinya harus memperlihatkan idealismenya sebagai mahasiswa dan sebagai pemuda harapan bangsa. Malah harus tergerus dan idealisme nya melebur dalam ego kuasa semata.
Yang akhirnya berujung tidak baik dalam sistem keorganisasian kedepannya juga, ini sangat dirasakan, menurunnya jiwa jiwa kritis para mahasiswa, tidak ada rasa tanggung jawab, tidak disiplin, tidak tepat waktu, yang justru mengakibatkan keorganisasian dalam kampus pun tidak berjalan dengan optimal.
Besar harapan saya kedepan, kampus menjadi tempat untuk berkembang biaknya ide dan gagasan yang dapat terimplementasikan denganbaik kepada lingkungan masyarakat. Saat ini masih jauh dari hal seperti itu, ketika kita melihat Ormawa kampus masih kebingungan mencari jati dirinya, masih sibuk menyelesaikan masalah dalam organisasi tersebut sepeti yang sudah saya sampaikan. Jika seperti ini terus, bukan tidak mungkin mahasiswa akan kehilangan marwah yang menempel pada “maha” nya siswa itu sendiri.
Penulis : Muhammad Ragil Ar-Raqiib – Mahasiswa Filsafat UIN Syber Syekh Nurjati