KUNINGAN (MASS) – Partisipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Umum (pemilu) pada lingkup etnisitas atau suku tidak lepas dengan dua faktor yaitu budaya dan perilaku pemilih. Kedua faktor tersebut menunjukkan suatu pandangan suatu etnis terhadap pembuatan keputusan memilih dalam pemilu. Keputusan ini merupakan bagian dari partisipasi masyarakat yang berkaitan erat dengan kepentingan suatu etnis untuk waktu yang akan datang.
Suku sunda merupakan suku yang terdapat di Provinsi Jawa Barat (Jabar). Suku Sunda mempunyai ciri khas tersendiri dalam seluruh aspek kehidupan. Termasuk juga ciri pada aspek pemilu dalam menentukan masa depan suatu negara. Dimana provinsi Jawa Barat merupakan peringkat kedua populasi terbesar setelah suku Jawa yaitu sebanyak 49.405.000 jiwa atau 17,9% dari total penduduk Indonesia (BPS, 2022). Hal ini dapat dianggap mempunyai peran penting dalam menentukan hasil pemilihan nasional atau politik nasional. Namun representatif politik skala nasional masih rendah.
Selain itu, Jabar dilihat dari ukuran ekonomi, Jabar termasuk provinsi yang ekonominya maju. Tetapi, dilihat dari angka kemiskinan dan pengangguran terbuka sebesar 7,89% (jabar.bps.go.id, 2023) angka ini termasuk masih tinggi.
Kaitan dengan partisipasi pemilu, tulisan ini mengenai budaya dan perilaku pemilih suku Sunda dapat dikaji. Sebelum mengkaji mengenai budaya dan perilaku pemilih suku Sunda, dapat dilihat terlebih dahulu dari kedua faktor tersebut secara teoritis.
Budaya politik merupakan kumpulan nilai dan keyakinan yang dirasakan secara mendalam dan meresap pada kegiatan politik dan pemerintahan di suatu masyarakat (Foster, 1982 dalam Herdiansyah dan Al-Banjari, 2023). Dan dari makna Budaya dalam Politik yaitu upaya mengungkapkan nilai dan makna budaya dalam pelbagai praktik politik (Berezin, at all., 2020 dalam Herdiansyah dan Al-Banjari, 2023).
Perilaku memilih berdasarkan suku memiliki dua bentuk, yaitu, pertama, kelompok etnik memilih kandidat satu suku karena preferensi psikologis untuk mempertahankan status komunitas suku dalam kesatuan politik yang merupakan ekspresi keterhubungannya seseorang dengan kelompok suku dan memperkuat rasa memiliki.
Kedua, memilih berdasarkan suku dilatarbelakangi oleh kepentingan untuk menguasai atau mengendalikan sumber daya bagi kelompoknya. Perilaku ini merupakan motif instrumental, dimana kandidat, partai, atau koalisi yang merepresentasikan kepentingan kelompok suku berupaya menunjukkan keuntungan yang diperoleh oleh suku tertentu dalam janji kampanye (Horowitz, 1985 dalam Herdiansyah dan Al-Banjari, 2023).
Perilaku memilih dalam pertimbangan untuk memberikan suara, berdasarkan faktor-faktor sosiologis dan psikologis. Faktor sosiologis mengenai identitas agama, suku, dan pertimbangan keluarga. Dan faktor psikologis mengenai identifikasi partai dan ketokohan.
Budaya Politik Suku Sunda
Ciri budaya politik suku Sunda, dapat dilihat dari konsep kekuasaan atau kedudukan yang terkandung dalam nilai kehidupan suku Sunda. Konsep tersebut bahwa perilaku politik Sunda, bahwa “kedudukan adalah suatu yang harus dikejar, tetapi dalam pengejarannya diharapkan seseorang hanya mengejar suatu yang memang layak baginya” (Warnaen, 1987: 207 dalam Herdiansyah dan Al-Banjari, 2023).
Selain itu, bahwa orang Sunda “menghindari rebutan kekuasaan atau rebutan pengaruh dan lebih menghargai musyawarah dalam suasana kekeluargaan” (Warnaen, 1987: 28 dalam Herdiansyah dan Al-Banjari 2023). Disini, dapat diartikan bahwa orang Sunda sejatinya tidak menyukai politik, atau berpolitik kotor yang hanya mengejar kekuasaan dan abai terhadap kelayakan diri untuk berkuasa.
Selain itu, karakter orang Sunda yaitu menghindari persaingan dan lebih mengutamakan bekerja bersama-sama.
Dilihat dari identitas politik Sunda, kental dengan keislaman, karena kesamaan pandangan falsafah budaya dengan ajaran Islam dan memiliki etos keagamaan yang tinggi (Syukur, 2011 dalam Herdiansyah dan Al-Banjari, 2023).
Budaya politik dengan corak keislaman di sebagian besar orang Sunda juga diperkuat oleh berbagai kebijakan kepala daerah yang pro keagamaan. Adanya aspek keislaman dalam diri mayoritas suku Sunda mencirikan budaya politik mereka yang religius, dimana hal tersebut dapat memberikan corak dalam perilaku memilih mereka.
Perilaku memilih Suku Sunda
Perilaku memilih suku Sunda, dilihat dari kesukuan, secara sosiologis orang Sunda melihat dari kesamaan agama, kesukuan, ketokohan, partai politik, (pertimbangan) keluarga, dan isu-isu ekonomi dan pengangguran.
Secara psikologis, melihat dari kesesuaian selera dengan kepribadian individu pemilih yaitu pertama, kualitas kepemimpinan yang sesuai dengan budaya politik, seperti makna yang ada dalam mitos Suku Sunda yaitu Pangeran Padjadjaran, dimana kualitas pemimpin Pangeran Padjadjaran yang mengedepankan karakter pemikir, pasif, dan berwibawa.
Kedua, pendidikan yang berkaitan dengan kecerdasan, sikap ramah dan santun, serta mempunyai wibawa, seperti yang diceritakan dalam cerita rakyat yang dimiliki oleh suku Sunda yaitu cerita Ciungwanara dan cerita Si Kabayan (Herdiansyah dan Al-Banjari, 2023).
Karakter keagamaan (religius) suku Sunda, pertama, bahwa Jawa Barat merupakan daerah konservatif keagamaan (Hamayotsu, 2021; Pelletier, 2021 dalam Herdiansyah dan Al-Banjari, 2023). Kedua, orang Sunda dikenal sebagai pribadi yang religius. Nilai-nilai agama atau ke-Islam-an melekat dalam praktik kebudayaan Sunda yang tercermin dalam frasa populer bahwa “Sunda itu Islam.”
Jadi dapat diartikan bahwa suku Sunda dalam kegiatan politik terutama pemilu, hal yang sangat dianggap penting oleh Suku Sunda adalah kesamaan agama (religius). Hal penting kedua yang secara umum sama dengan suku lainnya di Indonesia, yaitu memilih calon atau kandidiat dalam pemilu berdasarkan kesamaan suku yaitu suku Sunda.
Berdasarkan kajian di atas, budaya politik dan perilaku memilih suku Sunda tidak terlepas dari harapan dan keinginan orang Sunda dalam perhelatan dalam Pemilu. Menjadi hal yang utama dalam demokratisasi Indonesia, karakter dalam memilih akan selalu mempunyai dasar yang kuat dalam pemikiran pemilih.
Oleh karena itu, pendidikan politik oleh semua pihak perlu ditingkatkan lagi dalam memberikan kesadaran dalam memilih para kandidat, baik partai atau calon kontestan (kepala daerah, legislatif dan presiden).
Karena, memilih dalam Pemilu, jika kita tidak salah memilih kontestan, maka akan mendapatkan kemajuan yang berarti bagi masyarakat Sunda, begitu juga sebaliknya, jika salah memilih, akan membawa kita kepada bertambahnya kemiskinan dan keterpurukan dalam semua bidang.
Penulis : Cecep Nana Nasuha (Sekretaris LPPM UNISA Kuningan)