KUNINGAN (MASS) – Ketua pansus raperda pembangunan pangan daerah Rana Suparman menjelaskan bahwa pansus sudah melakukan kunjungan dan menginventarisir pengayaan materi.
“Ini diperpanjang pembahasannya, karena belum maksimal membuat tentang rencana pembangunan daerah terutama kawasan pangan, kawasan pangan local, rempah-rempah dan urban farming (pertanian skala kota) serta sawah abadi yang khusus padi, yang disesuaikan dengan jumlah penduduk. Antisipasi rawan pangan,” ujarnya diamini wakil ketua pansus Yaya, Senin (29/11/2021) kemarin.
Hal itu, lanjut Rana, berkaitan dengan LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan). Dalam raperda tersebut akan dituangkan kawasan, akan dicari data lahan pengangonan di desa-desa, lahan titisara dan lahan GG. Untuk urban forming tanah eks desa kelurahan, didata dari 20 tahun ke belakang.
“Asset tersebut akan dijadikan kawasan pertanian skala kota, urban forming. Di situ adactaman pangan. Agar tidak tergerus tumbuhan baru yang akan mengalahkan kekayaan kita,” sebutnya.
Rana menegaskan, yang sudah pasti ada sekitar 17 ribu Ha sawah abadi yang harus diamankan. Harus dijamin tidak beralih fungsi. Karena menyangkut ketahanan pangan Kabupaten Kuningan.
“Kenapa harus didata, jangan sampai asset kita bergeser asset privat atau kepentingan industri lain. Karena ini yang kita miliki. Kita sudah hitung sampai 2030, pemetaannya, 17 ribu ha sawah abadi harus terjaga. Sehingga menjawab kemiskinan ekstrim,” ucapnya.
Dirinya menyebut, jika di desa ada tanah pangangonan harus didampingi kecamatan untuk pertanian. Untuk potensi apa, jenisnya apa yang harus diberdayakan. Rana mengatakan, tengah mengusahakan komunikasi dengan perhutani untuk kawasan hutan social masyarakat. Diperkirakan ada 9,7 lahan hutan yang harus dibangun, dikomunikasikan.
“Ini luar biasa. Per orang bisa 4-5 hektar. Seandainya ada 300 KK yang mengusulkan, berarti produksi pangan kita melimpah. Sehingga miskin ekstrim tertanggulangi. Tinggal keseriusan pendataan kawasan. Tidak membebani anggaran desa. DD ditarik ke sembako. Pendataan, distribusikan warga, sehingga punya sumber pendapatan,” ujarnya lugas.
Dirinya mengingatkan, tanah GG, pangangonan, titisara tidak dikuasai oleh menak-menak desa, atau tokoh kabupaten. Benar-benar harus didistribusikan ke masyarakat.
“Ini harus diperkuat dengan legalisasi desa. Masyarakat Yang mengelola tanah bengkok harus ada SK kepala nya. Satu tahun ke depan diregistrasi ulang. Sehingga punya legalitas. Demi kebaikan bersama. Sehingga ada jaminan, bahwa asset titisara pangangonan GG tidak hilang. Karena teregistrasi SK kades,” jelasnya.
Nantinya, Lanjut Rana, pola tersebut juga bisa merambah ke tanah perhutani, siapa mengelola berapa hektar. Direkomendasikan apa yang harus ditanam. Apa kebutuhan untuk mengisi pasarnya.
“Kita dampingi. Sehingga terkonsep dengan jelas, potensi pangan kita. Tata ruang, wilayahnya, peruntukkannya, kebutuhan pasarnya. Itu tujuan kunjungan kita,” imbuhnya.
Kala ditanya kenapa raperda ini belum disahkan, dirinya memastikan ini bukanlah akibat molor. Di raperda Zona inti pangan, kata Rana, belum menyertakan kawasan. Pangan, bukan hanya milik pedesaan. Di kota juga punya potensi.
“Yang direkomendasikan pemda berupa padi, sayuran, rempah-rempah, dan buah-buahan. Siapa yang mengelola? Harus petani, jangan diserahkan ke pemilik modal. Pemda dengan petani. Sentuhan langsung ke pelaku,” tegasnya.
Dirinya mencontohkan, di Kecamatan Kuningan misalnya, ada berapa lahan asset desa jadi kelurahan. Maka harus direkomendasikan jenis yang akan ditanam disana, serta harus dikerjasamakan dengan petani.
Soal sawah abadi, Rana juga mengatakan akan mengunakan eks bengkok sebagai peta LP2B. Berapa tanah sawah bengkok desa, kebun bengkok desa, hutan jadi bengkok desa nantinya direkomendasikan.
“(Misalnnya, red ) Cikondang Hantara, disuruh tanam padi, repot. Direkomendasikan tanam jeruk, manggis, mangga. Penjualannyaa bisa beli padi. Sehingga pasar kita benar-benar diisi oleh produksi dari kita. Kita tak perlu takut jeruknya tak berkualitas,” ujarnya sembari kembali mencontohkan wilayah lain seperti Ciasih Nusahereng untuk Buah Naga, baik yang ungu, merah, putih, ataupun kuning.
“Kekayaan kita melimpah. Focus ke pangan. Pangan nabati hewani. Saya yakin bisa, wilayahnya ada, potensinya ada. Kita harus hidupkan kembali rempah-rempah local,” tambahnya.
Pemanfaatan kawasan ini, bagi untuk petani bisa jadi sumber pendapatan. Langkah ini juga, dianggapnya sebagai pengentasan permanen, bukan temporer. Diberi ruang kebijakan tingkat desa smapai kabupaten. Jika bisa dilakukan, 75% di 2022 akan tuntas atasi kemiskinan ekstrim.
“Daripada tekan APBDes supaya alokasikan penanggulangan ekstrim, dengan sembako BLT, padahal kades harus membangun wilayahnya. Mereka dipilih dengan beban besar, daya dukung keuangan harus diarahkan karena situasi miskin ekstrim. Ajak bicara kades camat inventarisasi warga miskin,” pungkasnya. (eki/deden)