Connect with us

Hi, what are you looking for?

Kuningan Mass

Netizen Mass

KH Dalari Oemar – Kyai Tua yang Revolusioner

KUNINGAN MASS (MASS) - KH Dalari Oemar, Pendiri, Pemimpin, dan Penggerak Mubaligh DKI Jakarta. Korps Mubaligh Jakarta (KMJ), itulah lembaga yang dibentuk beliau. Saya, setelah selesai menjabat Ketua Umum PB.HMI (1979 – 1981), biasa ikut kegiatan KMJ.
   Secara ideologis, filosofis dan hakikat perjuangan, khususnya Masyumi, kuperoleh di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Pemahaman-pemahaman itu kuperoleh khususnya di Kelompok Nasi Bungkus yang dianggotai tokoh-tokoh Masyumi. Mereka antara lain: M. Natsir, Syafruddin Perwiranegara, Burhanuddin Harahap, Moh. Roem, Yunan Nasution, dan Anwar Harjono. Namun, semangat, militansi, dan kegigihan berdakwah, kuperoleh dari pak Dalari. “Di DDII kita berdakwah dalam bentuk menabur nilai-nilai dan ajaran Islam ke masyarakat. Di KMJ, kita mengajak orang untuk mengamalkan nilai-nilai dan ajaran Islam tersebut,” kurang lebih salah satu doktrin KH Dalari Oemar.
   Aksi KH Dalari Oemar yang paling fenomenal dalam sejarah bangsa Indonesia adalah beliau “membajak” kapal Gembala demi membawa jamaah haji ke Makah. Padahal, kapten kapal sudah menerima teleks dari Presiden Soekarno yang memerintahkan agar kapal Gembala tersebut harus kembali ke Jakarta.

“Membajak” Kapal
Tokoh-Tokoh Masyumi, termasuk KH Dalari Oemar, setelah bebas dari penjara, mau mengaktifkan kembali Masyumi. Namun, presiden Soeharto tidak setuju. Alternatifnya, dibentuk Parmusi, Partai Muslimin Indonesia. Mohammad Roem terpilih sebagai Ketua Umum. Namun, pemerintah tetap tidak menerima kepemimpinan tokoh Masyumi. Partai ini kemudian dibajak oleh jenderal Ali Murtopo, Aspri Presiden.

Tokoh-tokoh Masyumi “berpirau” dengan melakukan pembagian tugas. M. Natsir ditugaskan mendirikan lembaga dakwah. Burhanuddin Harahap menangani kegiatan pers dan penerbitan. Syafruddin Perwiranegara mendapat amanah mengurus perekonomian umat, termasuk perjalanan haji di luar jalur pemerintah. Kegiatan ibadah haji ini ditangani secara khusus oleh Husami (Himpunan Pengusaha Muslim Indonesia), salah satu onderbow Masyumi. Husami dipimpinan oleh Syafruddin Prawiranegara, mantan Presiden kedua Indonesia.

   Pemerintah orde baru, sejak tahun 1967 mulai membatasi kegiatan pelaksanaan haji oleh pihak swasta. Puncaknya, tahun 1970, pemerintah menetapkan, hanya pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama yang berwenang melaksanakan perjalanan haji. Hal ini dilakukan berdasarkan Keputusan Presidium Kabinet No:27/IN/5/1967 dan Keppres No: 22/1969. Syafruddin Perwiranegara sebagai Direktur Husami melawan kebijakan pemerintah ini, Sebab, selain tidak akomodatif terhadap keinginan besar umat Islam untuk berhaji, ia juga bertentangan dengan UUD 45, khususnya pasal 29. Aplikasinya, tahun 1970, Husami memberangkatkan 100 jamaah haji Indonesia. Mereka hanya menggunakan paspor hijau yakni paspor biasa. Bukan paspor khusus untuk haji. KH Dalari Oemar ditunjuk sebagai Amirul Haj (Pimpinan rombongan haji). KH Mawardi Noer, anggota DPRD Sumut dari Masyumi pada Pemilu 1955 menjadi Wakil Amirul Haj. Jamaah menumpang kapal Gambela yang berangkat dari Pelabuhan Tanjong Priok. 

   Anak pak Dalari Oemar, Sholahuddin mengisahkan, pada awal perjalanan, semua dalam keadaan aman dan lancar. Namun, ketika tiba di samudera Hindia, nakhoda kapal menerima teleks dari presiden Soekarno. Isi teleks, kapal harus kembali ke Jakarta. Alasannya, kegiatan jamaah haji tersebut illegal. 
   Nakoda kapal tidak menyangka, Amirul Haj ini adalah seorang pejuang, mujahid yang setiap saat menyerahkan nyawanya demi tegaknya ajaran Islam. KH Dalari mengancam,  jika nakoda tidak melanjutkan perjalanan ke Makah, maka kapal akan ditenggelamkan oleh jamaah haji. Nakoda tidak ingin kapalnya ditenggelamkan. Perjalanan dilanjutkan sampai ke Jedah. Jamaah disambut oleh pemerintah Arab Saudi penuh ukhuwah Islamiyah Mereka dapat melaksanakan ibadah haji sebagaimana mestinya sekalipun hanya memiliki paspor turis.

   Perjalanan haji yang penuh heroik tersebut memakan waktu tiga bulan, pulang pergi. Tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, jamaah dijemput 100 jaksa. Jamaah diperintahkan untuk meminta maaf ke Pemerintah. Jika tidak, mereka akan dipenjara. Jamaah tidak bersedia. Sebab, apa yang dilakukan adalah perintah agama di mana ia dijamin UUD 45 pasal 29 ayat (2). 
   KH Dalari Oemar sebagai pejuang Islam, pasang badan. Beliau tidak ingin anak buahnya dipenjarakan. Jamaah disuruh minta maaf. Beliau sendiri mengambil alih tanggung jawab dengan cara tidak minta maaf ke Pemerintah. Konsekwensinya, KH Dalari Oemar dipenjara selama sembilan bulan. Wajar, jika pada usia tua ketika memimpin KMJ, beliau tetap berjiwa muda, revolusioner. 

KMJ, Mitra DDII
KH Dalari Oemar pada tahun 1980 bersama beberapa mubaligh yang dinilai berhaluan “progresif” mendirikan KMJ. Maksudnya, KMJ dapat mengkanalisasi aspirasi mubaligh-mubaligh muda, seiring meningkatnya ghirah umat Islam di Jakarta. Ia juga dimaksudkan untuk membantu DDII dalam menambah jumlah da’i dan mubaligh di Jakarta. Apalagi, terkadang DDII dianggap oleh sebagian da’i dan mubaligh muda sebagai terlalu “lembek.” Wajar, jika KMJ sering berseberangan dengan pemerintah. Apalagi ketika Presiden Soeharto memaksakan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi semua pranata sosial.

Metode yang digunakan KMJ adalah tabligh, yakni mengajak orang ke amalan Islam yang sebenarnya. Mubaligh KMJ yang relative muda dan progresif revolusioner, terkadang “kebablasan” sehingga biasa berhadapan dengan Laksusda Jaya.

Kemahiran Berpirau
KH Dalari Oemar, sekalipun “galak” dalam ceramah atau tablighnya, beliau sangat arif dalam operasi kaunter intelijen. Operasi ini oleh abah Natsir disebut dengan istilah “berpirau.” Sejatinya, kuperoleh teori llmu intelijen dari Jenderal Aziz Bustam, Asisten Teritorial Hankam. Saya waktu itu Ketua Umum PB.HMI. Namun, bentuk operasional dari “berpiraunya” abah Natsir, kuperoleh dari KH Dalari Oemar.

Beberapa ilmu berpirau tersebut antara lain: Pertama, bersembunyi di tempat terang. Ilmu ini kuterapkan ketika dikejar-kejar anak buah jenderal Beny Murdhani pasca peristiwa Tanjung Priok, 1984. Kedua, ketika mau hijrah ke Malaysia, pak Dalari megajariku bagaimana berpenampilan sebagai pejuang yang istiqomah.
Ketiga, sewaktu presiden Soeharto memaksakan asas tunggal Pancasila, KH. Dalari Oemar berpirau secara canggih. KMJ diubah nama dan statusnya menjadi Majlis Ta’lim Al Hikmah sehingga tidak terkena kewajiban asas tunggal.

   Kaunter intelijen penomenal yang pernah kulakukan hasil bimbingan KH Dalari Oemar adalah ketika menghadiri perayaan hari besar Islam di Tangerang (1983). Panitia pada waktu itu diminta oleh Polsek agar tidak boleh mengundangku menjadi penceramah. Panitia mengalami dilemma. Sebab, namaku sudah terpampang di spanduk, baik di dalam masjid, mushalla maupun jalan raya di kawasan tersebut. “Jika Panitia siap, saya akan datang dengan segala risiko,” responsku.
   Tiba di rumah Panitia, sekitar 3 km dari tempat acara, kuminta diantar dengan motor. Kami melalui pematang sawah di kampung-kampung. Seratusan meter dari tempat acara, saya turun. Kuberbaur dengan orang kampung, menuju tempat acara.
   Panitia di tempat acara, menginformasikan bahwa, Aparat Keamanan membawa pejabat Kantor Urusan Agama Tangerang untuk menggantikanku. Namun, aparat tidak mengetahui kehadiranku. Tiba-tiba, protokol mengundangku ke podium untuk menyampaikan tausiah. Aparat intel yang merasa kecolongan, segera meletakkan perekam di depanku. Perekam ini tidak terlihat oleh jamaah dan aparat karena terhalang oleh dinding mimbar. Sambil menyampaikan salam dan mukadimah, tanganku mematikan tombol play di alat perekam. Hahaha, intel itu kecewa berat begitu sampai di rumah. Sebab, ceramahku sekitar sejam, tidak terekam. Itulah salah satu operasi kaunter intelijen yang kuperoleh dari KH Dalari Oemar.

Membeli Gereja
KH Dalari Oemar bukan anggota Kelompok Nasi Bungkus, DDII. Namun, banyak ilmu yang kuperoleh dari beliau. Salah satunya, bagaimana meluaskan media dakwah, khususnya sarana tabligh. Dalam kontek itu, KMJ pada tahun 1986 membeli sebuah gereja di bilangan Kalibaru, Jakarta Barat. Penyebabnya, gereja ini berada di daerah pemukiman muslim di mana golongan Nasrani hanya sekitar satu persen. Masyarakat Islam daerah tersebut sudah protes ke aparat terkait sehubungan dengan SK Tiga Menteri. Tidak ada respons. Masyarakat bergejolak. KH Dalari Oemar sewaktu mendengar hal tersebut, melakukan konsolidasi. Akhirnya, Pengelola gereja menjualnya dengan harga Rp. 25 juta. Para muhsinin, baik jamaah majelis ta’lim maupun individu, urunan. Gereja tersebut berhasil dibeli. Ia lalu dialih-fungsikan menjadi kilinik Kesehatan Ibu dan Anak. Pada era reformasi di mana KMJ kembali aktif seperti asal berdirinya, bagunan ini diubah menjadi rumah kontrakkan guna memeroleh biaya operasional KMJ, sampai sekarang.

   Dalari Oemar, kiyai tua yang revolusioner, menutup mata pada tahun 2003 dalam usia 89 tahun. Semoga seluruh amal ibadahnya diterima, dosa-dosanya diampuni, dilapangkan kuburnya, dan dimasukkan ke dalam surga. Aamiin Yaa Robbal Aalamiin !!!

DR.H.Abdullah Hehamahua

*) Ketua Majelis Syuro DPP Partai Masyumi.

#25 Nop 2021
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Advertisement

Berita Terbaru

Advertisement
Advertisement

You May Also Like

Advertisement