KUNINGAN (MASS) – Disamping Covid-19, terdapat penyakit lain yang membahayakan yaitu TBC (Tuberculosis). Pada 2021 ini di Kuningan kasusnya mencapai ribuan. Data ini diungkapkan Kepala Dinas Kesehatan Kuningan, dr Hj Susi Lusiyanti MM.
“Perkiraan kasus TBC sensitive obat (TBC.SO) di Kuningan tahun 2021 sebesar 2.504 kasus dan baru ditemukan sebesar 1.003 kasus (40%). Sedangkan untuk TBC resisten obat (TBC.RO atau TB.MDR) perkiraan kasusnya sebesar 73 kasus dan baru ditemukan 19 kasus (26%),” ungkapnya.
Disebutkan, penderita TBC ini 67% terjadi pada usia produktif. Sehingga kerugian ekonomi akibat penyakit tersebut sangat besar. Kerugian ekonomi ini disebabkan karena hilangnya produktivitas dan kematian dini akibat TBC.
“Kalau bicara skala nasional, penderita TBC di Indonesia menduduki urutan ke 2 di dunia. TBC semakin berat dengan adanya TBC-HIV, TBC-DM, TBC MDR ditambah saat ini dengan pandemi covid,” kata Susi.
Ia melanjutkan, permasalahan TBC terbagi dalam 3 bagian. Yaitu masalah di hulu, di tengah dan di hilir. Masalah di hulu adalah tingkat transmisi penyakit yang tinggi, dimana 1 penderita TBC dapat menularkan kepada 10-15 orang/tahun. Hal ini dipengaruhi oleh lingkungan, gizi, gaya hidup dan pengetahuan masyarakat terhadap kesehatan.
Sedangkan permasalahan di tengah, adalah pada pengobatan. Cakupan kasus TBC hanya sebesar 40% dari perkiraan kasus TBC, angka kesembuhan 85% dan angka drop out pengobatan sebesar 3%.
Hal tersebut, sambung Susi, menimbulkan permasalahan di hilir, yaitu berupa TBC yang kebal obat (TBC MDR) dengan konsekuensi biaya pengobatan 100 kali lipat pengobat regular (200-270 juta/orang).
“Melihat itu, TBC merupakan masalah semua orang (TBC is everybody bussines). TBC bukan masalah dinas kesehatan saja, karena TBC tidak bisa diselesaikan hanya oleh sector kesehatan saja. Perlu dukungan semua pihak untuk menuntaskan TBC di Indonesia terutama di Kuningan pada khususnya,” seru Susi.
Tak heran jika instansinya membentuk kader P2P dalam upaya menanggulangi permasalahan TBC di Kuningan. Dua hari ini, Senin (25/10/2021) dan Selasa (26/10/202), pembentukan sekaligus pembekalan kader dilaksanakan di Hotel Prima Resort Sangkanhurip.
“Pembentukan kader komunitas ini bagian dari strategi penanggulangan TBC dengan cara meningkatkan peran serta komunitas, mitra dan multi sektoral lainnya dalam eliminasi TBC,” terangnya.
Susi menjelaskan, kader dapat berperan dalam sosialisasi gejala TBC, menjadi PMO, melakukan investigasi kontak dan lainnya. Diharapkan ke depan akan ada minimal 1 orang kader P2P di setiap desa/kelurahan.
“Setiap pasien TBC terkonfirmasi harus diinvestigasi kontaknya sebanyak 20 orang. Kalau kita mengobati 1.003 kasus TBC maka kita harus melakukan investigasi kontak sebanyak 20.060 orang,” papar Susi.
Investigasi kontak ini tentu tidak akan bisa dilakukan hanya oleh petugas kesehatan saja. Peran kader dalam IK (Investigasi Kontak) yang akan tergabung dalam komunitas akan sangat membantu tercapainya target IK.
Pada pertemuan di Prima Resort tersebut, para kader dibekali teori tentang TBC, cara melakukan komunikasi efektif di masyarakat, cara melakukan penyuluhan dan cara melakukan investigasi kontak.
“Dengan menemukan 1 penderita TBC dan mengobatinya sampai sembuh, artinya kita sudah menyelamatkan 15 orang tertular TBC. Dengan mendampingi 1 orang penderita TBC sampai sembuh, artinya bapak dan ibu kader telah menyelamatkan 1 orang menjadi TBC MDR, dimana 1 orang TBC MDR memerlukan biaya pengobatan 200 juta. Semoga 200 jutanya itu menjadi tabungan akhirat kita kelak,” ajak Susi. (deden)