KUNINGAN (MASS) – Warga Desa Subang Kecamatan Subang dibuat resah dengan kerusakan hutan penyangga desa, yang sejak dulu dilindungi warganya, belakangan dirambah perkebunan kopi dan kapol.
Bukan tanpa sebab, warga Subang resah karena dampak rusaknya hutan, dirasakan secara langsung. Mulai dari debit air mengecil, kualitas air yang berkurang terutama musim hujan, serta potensi gesekan antar masyarakat.
Pasalnya, penggarap lahan sekitar hutan bukan warga setempat. Hingga mencuatlah stigma soal hutan Subang dirusaknya oleh orang luar, tapi warga Subangnya malah sengsara.
Belum lagi, tidak ada optimalnya serapan air, ditenggarai menyebabkan luapan sungai alias caah dalam bahasa setempat.
Hal itulah yang disampaikan satu tokoh muda Subang, Mamur. Ia menegaskan, sebenarnya upaya melestarikan hutan sudah disepakati sejak tahun 2012, zaman Bupati Kuningan H Aang Hamid Suganda.
Dulu, kata Mamur, sudah disepakati baik dari unsur masyarakat, desa, hingga forkopimcam dan forkopimda, satu suara mengisyaratkan hutan desa rusak, dan mendukung pelestarian.
“Yang kami tahu, masyarakat Subang tahu yang dulu diwariskan orang tua kami, leweng kaler (hutan utara) itu leweng tutupan, ditutup, tidak ada ayah kami nenek kami orang tua kami, asup kadinya (tidak ada masyarakat yang masuk hutan untuk mengambil manfaat),” kata Mamur, baru-baru ini.
Dulu, kata Mamur, Mantri hutannya warga setempat. Sehingga perlindungan terhadap hutannya sangat ketat. Sehingga hutan bisa tetap terjaga.
“Terlepas dalam konteks hutan sekarang, hutan pangkuan desa, hutan desa, kami tidak memahami, yang kami tahu dan kami inginkan hutan itu tetap jadi leweng tutupan,” tegas Mamur.
Fungsi hutan utara, jelasnya, selama ini adalah sebagai pelindung bagi masyarakat di bawahnya, sebagai sumber mata air untuk keperluan minum masak sehari-hari, pertanian, perikanan, hingga sawah di bawah.
Saat itulah, kemudian Mamur menjelaskan kerusakan alih fungsi dari hutan tutupan ke perkebunan kopi ini mulai dirasakan masyarakat. Mulai dari debit air menurun, kualitas air jelak, luapan sungai terutama sekitar Blok Pahing.
“Jika dibiarkan terus akan meluas kerusakannya. Lama-lama kelamaan akan habis,” jelas Mamur, sembari menuding penggarap perkebunan dari kabupaten tetangga.
Secara kasat mata sepintas, kata Mamur, hutan itu masih terlihat hijau. Namun sebenarnya, ia yakin sekitar 50% lahan hutan rusak.
Apalagi, Mamur berujar, perambahan area hutan bermodus sama. Sedikit demi sedikit digarap. Pohon kecil ditebang, kemudian diganti kopi. Bahkan, pohon besar juga disuntik kimia agar tumbang dan hancur.
“Dari lahan seluas 278,90 ha, menurut aturan yang ditetapkan oleh pemerintah kah oleh Perhutani kah, saya yakin hutan di sebelah utara, di atas 50% sudah rusak,” sebut Mamur sembari mengajak terjun langsung ke hutan, mengukur patok.
Terakhir, ia menegaskan bahwa saat ini, masyarakat Subang dan pemerintah setempat sudah sepakat untuk kembali melestarikan hutan. Ia mewakili kesepakat masyarakat, berharap gerakan pelestarian ini bisa memberikan hasil maksimal. (eki)
