KUNINGAN (MASS) – Tindakan somasi yang dilakukan perusahaan air, PT Sinde terhadap warga yang menolak pengeboran di desanya, Desa Kalapagunung, turut menjadi perhatian banyak, termasuk Serikat Petani Hutan Kuningan.
Melalui ketua dan sekertarisnya, Ujang dan Adam, serikat petani menyebut itu tindaan yang sangat berlebihan.
Serikat meminta, hentikan segla bentuk yang mengarah ke kriminalisasi, serta menegaskan, bahwa kebebasan berpendapat pejuang lingkungan harus dilindungi.
“Itu tindakan berlebihan, karena apa yang dilakukan para pejuang lingkungan adalah sesuai dengan Pasal 28 ayat (3) UUD 45 tentang kebebasan berpendapat yang merupakan hak asasi tertinggi dan tidak perlu ada ancaman pidana,” sebut Ujang diamini Adam, pada kuninganmass.com Jumat (20/8/2021) pagi.
Apa yang di lakukan para pejuang lingkungan masyarakat desa kalapa gungung ini, masih kata serikat, hanya ingin menegakan amanat pasal 33 ayat (3) UUD 45 bahwa air tidak boleh diperjualbelikan, itu intinya.
“Apalagi, berkaca pada putusan Mahkamah Konstitusi yang membatakan UU SDA yaitu Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Putusan Nomor 008/PUU-III/2005,” imbuh mereka.
Dalam kedua putusan tersebut, dijelaskan keduanya, MK telah memberikan tafsir dan pendapat bahwa pemerintah mempunyai kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak masyarakat atas air.
“Untuk itu pemerintah haruslah mengutamakan pemenuhan hak asasi atas air dibandingkan dengan kepentingan lain, karena hak asasi atas air adalah hak yang utama hal demikian juga terdapat dalam filosofi UU SDA terbaru No.7 Tahun 2019,” jelasnya.
Ditegaskan keduanya kembali, mereka yang disomasi itu, warga, tidak ingin nasib lingkungan dan airnya terganggu untuk generasi anak cucu yang berakibat adanya krisis air.
“kita aja kalau kemarau panjang kesusahan air, dan di Kuningan ada 500 kurang lebiih perusahaan air, bagaimana nasib air di Kuningan nantinya ?” ujar keduanya mempertanyakan.
Karena hal itu, serikat petani hutan Kuningan mendukung masyarakat Kalapagunung untuk menyampaikan aspirasinya, dengan mendorong ekserkutif dan legislatif di Kuningan agar meninjau kembali perijinan yang sudah di keluarkan oleh pemerintah provinsi.
Termasuk, jika bisa, masih kata keduanya, pemerintahan daerah merekomendasikan kepada gubernur untuk meninjau kembali berdasarkan aspirasi masyarkat.
Dalam pandangan awamnya, dikatakan keduanya,yang mengeluarkan ijin juga punya kewenangan mencabut ijin.
“Undang-Undang tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 (UU PPLH) telah memuat ketentuan untuk mengantisipasi tindakan kriminalisasi dengan yaitu Pasal 66 yang menyatakan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata,” jelasnya panjang lebar.
Terpisah Yanto dan Sofian dari komunitas masyarkat peduli lingkungan Kalapagunung, yang diberi somasi, menyampaiakn akan konsisten memperjuangkan hak hak lingkungan dan air di desa.
“Kami masyrakat kecil yang percaya bahwa eksekutif dan legislatif baik Kuningan maupun provinsi memiliki hati nurani untuk memerjuangkan hak hak kami dan meninjau kembali ijin perusahaan,” sebut mereka.
Keduanya mengaku, belum kepikiran untuk melakukan upaya hukum PTUN karena merasa orang tidak mampu untuk bayar pengacara dan operasional persidangan. Apalagi, ada potensi banding, kasasi dan PK.
“Kami berjuang untuk mengetuk hati wakil kami di ekseutif dan legislatinf agar meninjau kembali ijin perusahaan,” kata mereka. (Eki)