KUNINGAN (MASS) – Berdasarkan data yang dilansir WHO pada tahun 2005, Indonesia masuk dalam kategori negara dengan tingkat bunuh diri yang tinggi, bahkan peringkat Indonesia nyaris mendekati “negara-negara bunuh diri Asia” layaknya Jepang dan Cina. Tercatat, sedikitnya 50.000 orang Indonesia melakukan aksi bunuh diri setiap tahunnya. Angka tersebut menunjukkan bahwa setidaknya terjadi 150 kasus bunuh diri per hari di tanah air.
Perihal yang lebih memprihatinkan lagi adalah turut meningkatnya kecenderungan angka bunuh diri pada penduduk usia muda – pemuda yaitu usia 16 – 30 tahun (Amarullah, 2009; Wirasto, 2012 : 98). Sebagai misal, khusus untuk wilayah DKI Jakarta, sepanjang tahun 2003 Polda Metro Jaya mencatat terjadinya 62 kasus bunuh diri pada pemuda. Angka tersebut melonjak tiga kali lipat ketimbang tahun sebelumnya. Dan sebagaimana tahun-tahun setelahnya hingga kini, tren angka bunuh diri pada pemuda di tanah air agaknya cenderung mengalami peningkatan (Zahra, 2011).
Dugaan bunuh diri yang terjadi pada mahasiswa pun menarik perhatian publik. Sebab, angkanya terus bertambah dan cukup tinggi. Bahkan, berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2019, Indonesia memiliki rasio bunuh diri sebesar 2,4 per 100 ribu penduduk.
Angka tersebut menunjukkan bahwa ada dua orang di Indonesia yang melakukan bunuh diri dari 100 ribu jiwa di tahun itu. Dengan asumsi jumlah penduduk sebanyak 270 juta jiwa, maka kasus bunuh diri pada tahun tersebut diperkirakan sebanyak 6.480 kasus.
Berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI (Polri), ada 971 kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang periode Januari hingga 18 Oktober 2023. Angka itu sudah melampaui kasus bunuh diri sepanjang tahun 2022 yang jumlahnya 900 kasus.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya bunuh diri pada mahasiswa diantaranya: faktor demografi yang berkaitan dengan gender dan kondisi ekonomi; permasalahan psikologi seperti depresi, perfeksionis, kecanduan alkohol dan narkoba serta permasalahan adaptasi; tekanan akademik serta perundungan; permasalahan sosial seperti isolasi sosial, keengganan meminta pertolongan karena adanya stigma serta kurangnya fasilitas layanan konseling untuk mahasiswa; serta adanya pengalaman percobaan bunuh diri yang telah dilakukan sebelumnya dan bunuh diri yang menular (Urme,2022).
Mahasiswa yang melakukan upaya bunuh diri biasanya diawali dengan adanya ide bunuh diri. Menurut riset pada mahasiswa di Jakarta ditemukan bahwa 284 mahasiswa di Jakarta yang berusia 18-24 tahun 34,5% memiliki ide untuk bunuh diri dalam satu tahun terakhir. Selain itu, di Universitas yang ada di Surabaya ditemukan bahwa 58,1% mahasiswa memiliki ide dan rentan untuk melakukan bunuh diri (Karisma & Fridari, 2022).
Upaya preventif atau pencegahan adalah sebuah usaha yang dilakukan individu dalam mencegah terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan. Prevensi secara etimologi berasal dari bahasa latin, praevenire, yang artinya datang sebelum atau antisipasi, atau mencegah untuk tidak terjadi sesuatu. Dalam pengertian yang sangat luas, prevensi diartikan sbegai upaya secara sengaja dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan, kerusakan, atau kerugian bagi seseorang atau masyarakat. (Notosoedirdjo dan Latipun, 2005 : 145).
Program pencegahan bunuh diri yang bisa dilakukan adalah dengan psikoedukasi, pelatihan, dan kepemimpinan mahasiswa; alat skrining untuk mengetahui mahasiswa yang memiliki risiko tinggi terkait kesehatan mental yang berhubungan dengan bunuh diri; pelatihan gatekeeping bagi dosen, tenaga kependidikan, dan konselor; pengembangan kurikulum berbasis kesehatan mental; dan program dukungan antar teman sebaya (Brann, et al, 2021). Adapun beberapa program pencegahan yang bisa dilakukan antara lain:
- Program pendidikan terkait kematian terutama untuk mahasiswa yang beresiko melakukan bunuh diri. Sebelum diberikan penanganan berupa kursus terkait kesehatan mental yang berkaitan dengan kematian, mahasiswa diberi asesmen untuk melihat resiko bunuh diri yang berkaitan dengan ide, niat dan percobaan bunuh diri. Kursus ini mahasiswa akan diajak berdiskusi dengan pendampingan dari dosen yang memahami terkait psikologi untuk membicarakan terkait topik kematian, mengakhiri hidup. Dosen nantinya akan mengevaluasi terkait pikiran-pikiran yang muncul pada mahasiswa terkait ide bunuh diri yang dihadapinya (Testoni et al, 2021).
- Universitas memberikan psikoedukasi yang bertujuan meningkatkan kesadaran akan kesehatan mental: menciptakan kesempatan kepada mahasiswa untuk berbagi terkait pengalaman personal, meningkatkan kesadaran terkait perbedaan kepribadian, mengimplementasikan strategi penyelesaian masalah, mengurangi persepsi akan kesepian. Dalam hal ini klien akan diundang dalam kelompok aktivitas psikoterapi dan dibentuk dalam psikodrama dan kelompok self-hel groups. Di akhir sesi, dosen akan meminta mahasiswa untuk mengelaborasi pengalamannya (Testoni et al, 2021).
- Universitas memberikan pelatihan kepada mahasiswa untuk meningkatkan kesadaran terkait isu bunuh diri dan mengenali risikonya pada mahasiswa. Pada hal ini, program akan menyediakan informasi tentang tanda-tanda bunuh diri, menyediakan ruangan untuk menyampaikan emosi, permasalahan dan berbagai kesulitan, mengarahkan siswa yang beresiko ke dukungan sekolah terkait layanan psikologi, menyediakan layanan pasca bunuh diri.
- Universitas menyediakan website untuk usia 15-25 tahun untuk mengurangi dampak kesepian dan bunuh diri yang mana project ini menggunakan web berisi forum untuk pengguna, konseling daring yang mendukung dengan upload video yang dipusatkan pada kesadaran terkait kesepian, bullying dan kecerdasan emosi. Program ini meningkatkan kesadaran akan isu bunuh diri, memberikan dukungan psikologis-sosial, support untuk meningkatkan social bonding dan mempromosikan emosi positif melalui seni, kreatifitas dan refleksi.
- Membuat aplikasi online yang mana menyediakan portal untuk chat dengan profesional, menyediakan artikel untuk meningkatkan kesadaran akan bunuh diri dengan materi-materi yang telah teruji berdasarkan riset-riset terbaru, aplikasi ini juga mempromosikan aktivitas-aktivitas yang dapat mencegah individu untuk melakukan percobaan bunuh diri. (Butterham, et al, 2018)
- Literasi dengan teknologi terkait bunuh diri yang mana mengedukasi mahasiswa untuk berani dalam mencari bantuan ketika menghadapi permasalahan sehingga muncul ide bunuh diri dan percobaan bunuh diri. Selain itu, pemebrian pelatihan dan program psikoedukasi secara online dapat meningkatkan literasi bunuh diri yang mana mahasiswa lebih yakin untuk mencari bantuan (Butterham, et al, 2018).
Simpulan:
Berdasarkan data di atas menyebutkan bahwa kasus bunuh diri meningkat di beberapa negara termasuk Indonesia. Kasus ini tidak bisa di anggap sepele karena sangat berdampak besar bagi generasi bangsa. Perlu ada upaya preventif dalam penanganan kasus bunuh diri terutama di kalangan mahasiswa. Mahasiswa perlu di berikan edukasi lebih mengenai materi yang berkesinambungan dan berkaitan dengan bunuh diri, sehingga mereka paham dan menghindari bunuh diri tersebut dengan menumbuhkan mental yang sehat.
Penulis: Nida Syifa Fikriyah dari Universitas Pendidikan Indonesia Program Studi Bimbingan dan Konseling
*Artikel ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Kesehatan Mental yang diampu oleh Prof. Dr. Syamsu Yusuf LN, M.Pd dan Nadia Aulia Nadhirah M.Pd