KUNINGAN (MASS) – Selama era kepresidenan Soekarno (1945-1967) dan Soeharto (1967-1998), publik tidak mengenal istilah program “100 Hari Kerja”. Istilah tersebut baru dikenal saat sejak era kepresidenan KH. Abdurrahman Wahid (1999-2001). Sejak saat itu, penggunaan istilah program 100 hari kerja mulai populer. Setiap muncul kepala pemerintahan baru di tingkat pusat hingga daerah, pencanangan konsep 100 hari kerja seperti menjadi tradisi. Padahal secara regulasi tidak ada ketentuan yang mengaturnya. Peraturan perundang-undangan hanya mengatur masa jabatan kepala pemerintahan selama lima tahun terhitung sejak pelantikan.
Konon, munculnya istilah 100 Hari Kerja mengadopsi istilah 100 Hari Pertama yang dicetuskan oleh Presiden Amerika Serikat ke-32, Franklin D. Roosevelt, tahun 1933. Saat itu Roosevelt menjadikan 100 hari pertama masa jabatannya dengan meluncurkan berbagai kebijakan strategis di Amerika Serikat untuk mengatasi resesi ekonomi akibat depresi besar (great depression). Langkah ini kemudian menginspirasi para pemimpin pemerintahan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, untuk menyusun konsep 100 hari kerja sebagai kebijakan jangka pendek demi menarik perhatian masyarakat maupun lawan politiknya.
Program 100 hari kerja umumnya digunakan sebagai indikator awal kinerja kepala pemerintahan setelah dilantik. Banyak kepala pemerintahan yang menggunakan fase ini secara serius dengan menyusun program kerja dan menetapkan prioritas. Semua potensi dikerahkan sekuat tenaga, mulai dari perangkatnya sampai anggarannya. Fase ini dianggap krusial karena akan menentukan stabilitas pemerintahan lima tahun ke depan. Dari sinilah elit politik dan masyarakat menilai tingkat kesungguhan pemerintahan baru dalam mewujudkan perubahan sesuai janji-janji politiknya.
Visi-Misi Dian-Tuti
Pasangan Bupati dan Wakil Bupati Kuningan, H. Dian Rachmat Yanuar dan Tuti Andriani dilantik oleh Presiden RI, H. Prabowo Subianto, tanggal 20 Februari 2025, di Istana Negara Jakarta. Pasangan ini mengusung visi Kuningan “MELESAT” (Maju, Empowering, Lestari, Agamis, Tangguh) Tahun 2030. Untuk mewujudkannya, disusunlah sejumlah misi sebagai berikut:
- Percepatan reformasi birokrasi yang berintegritas, dan profesional melalui pemerintahan modern dan melayani;
- Peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah berbasis pariwisata, pertanian, perdagangan dan jasa maju dengan pemanfaatan sumberdaya lokal;
- Membangun daya kreasi, inovasi, dan produktivitas masyarakat berbasis pemberdayaan (Empowering);
- Menjaga komitmen kelestarian sumberdaya alam, daerah tangkapan air dan mengurangi emisi lingkungan;
- Penerapan nilai-nilai agamis dalam kehidupan berbudaya dan bermasyarakat;
- Pembangunan yang tangguh dengan orientasi pada layanan Pendidikan, Kesehatan, infrastruktur untuk penguatan ketahan dan modal sosial.
Dalam berbagai kesempatan sejak masih berstatus bakal calon hingga menjadi calon terpilih, baik Dian maupun Tuti acapkali mempresentasikan sejumlah persoalan yang tengah menggelayuti wajah Kabupaten Kuningan. Mulai dari masalah kemiskinan yang angkanya mencapai 11,88% atau di kisaran 131 ribu lebih dari jumlah penduduk Kabupaten Kuningan, jumlah pengangguran yang mencapai 7,78%, dan angka stunting yang mencapai 7,87% berdasarkan E-PPGBM (Elektronik Pencatatan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat) dan 23,4% berdasarkan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI).
Selanjutnya rata-rata lama sekolah yang hanya mencapai 7,9 tahun dari target wajib belajar 9 tahun, penurunan laju pertumbuhan sektor tertanian sebesar 1,6% pertahun, tingkat kemandirian fiskal yang hanya mencapai angka 10,91%. Tak hanya itu, Kabupaten Kuningan juga masih dihadapkan pada beragam persoalan seperti gagal bayar, menurunnya daya beli masyarakat, buruknya sistem pengelolaan sampah, maraknya aksi kriminalitas, kenakalan remaja, peredaran dan penyalahgunaan narkoba, serta rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM) yang hanya menduduki peringkat 19 dari 27 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
Untuk mengatasi sejumlah persoalan tersebut, saat tahapan Pilkada pasangan yang dikenal dengan akronim DIRAHMATI ini sangat gencar mengkampanyekan 10 (sepuluh) program unggulan. Kesepuluh program unggulan tersebut yaitu, Ngaji Diri (Nyaah ka Santri, Guru Ngaji, dan Pesantren Mandiri), Gema Sadulur (Gerakan Bersama Ngariksa Kaum Dhuafa, Lanjut Usia, dan Pengangguran), Jawara Tani (Jaringan Irigasi Walatra Cai Tani Mukti), Someah Ka Semah (Sistem Online Modern, Efisien dan Mudah untuk Buka Investasi Ramah Lingkungan).
Program unggulan berikutnya yaitu Pertama (Pelayanan Dasar Kesehatan, Pendidikan Mapan, dan Paripurna), Nata Daya (Menata Alun-alun Desa untuk Pusat Ekonomi dan Daya Tarik Wisata), Tatapakan Jati (Tanam Tanah Pekarangan Jaga dan Tekan Inflasi), Ajeg Timbangan (APBD Terjaga, Tepat Sasaran dan Berimbang, Pasar Raya (Pemberdayaan Sanggar Ekonomi Kreatif dan Usaha Rakyat, serta program Abdi Negara (ASN dan Birokrasi Daerah Modern, Gerak Cepat dan Ramah Melayani).
Urgensi 100 Hari Kerja Dian-Tuti
Sejatinya, pemerintahan Dian-Tuti tidak memiliki kewajiban menyusun program 100 hari kerja. Pedoman penyusunan dan pelaksanaan program kerja seharusnya didasarkan pada sistem perencanaan yang telah disusun sebagaimana tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun nyatanya pasangan Dian-Tuti konon sudah membentuk tim akselerasi sejak sebelum dilantik. Mereka ditugaskan secara khusus menyusun rencana aksi untuk program 100 hari. Meski tidak diatur dalam sistem pemerintahan, anggaplah 100 hari kerja pertama ini semacam lagu wajib, seperti yang yang dilantunkan pemerintahan sebelumnya.
Kini, tibalah pada penghujung 100 hari kerja kepemimpinan Dian-Tuti. Publik Kuningan pun riuh dan gegap gempita oleh komoditas politik berlabel 100 hari kerja. Beragam kalangan beradu ilmu dan kesaktian untuk menilai kinerja Dian-Tuti. Mereka saling unjuk data, angka dan fakta, menyusun buku rapor eksekutif yang baru seumur jagung nyicip kursi kekuasaan. Ada yang menilai rapor 100 hari sebagai ruang justifikasi melesat tidaknya pemerintahan Dian-Tuti. Namun ada pula yang menganggap penilaian kinerja seharusnya dilakukan setelah 1.825 hari sesuai siklus pemerintahan yang berlangsung lima tahun.
Baiklah, ada baiknya menengok sejenak varian program 100 hari kerja Dian-Tuti. Program ini pernah dipresentasikan pada Rapat Paripurna DPRD Kuningan tanggal 3 Maret 2025 dalam rangka serah terima jabatan dari Penjabat Bupati kepada Bupati dan Wakil Bupati Kuningan periode 2025-2030. Dalam slide ditampilkan sedikitnya 26 program 100 hari kerja Dian-Tuti. Program tersebut terangkum dalam sektor infrastruktur, penanganan kemiskinan, pertanian, pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, tata kelola birokrasi, pemberian insentif kepada guru ngaji, ketahanan pangan, pariwisata, lingkungan hidup, dan forum dialog bertajuk Ngopi Pagi (ngobrol bareng Bupati untuk gali informasi).
Tentu saja, seabreg program 100 hari kerja di atas tidak lepas dari kerja keras tim akselerasi. Tidak ada salahnya publik memberikan apresiasi, meski tidak paham siapa saja yang bercokol di jajaran tim akselerasi. Publik juga memiliki hak untuk menilai, apakah program tersebut sudah mempertimbangkan aspek kebutuhan publik, anggarannya sudah muncul di APBD, dan realistis dilaksanakan dalam 100 hari, seperti dinyatakan Asda 2 Deden Kurniawan Sopandi, A.Ks., M.Si. dalam forum diskusi yang digelar Waroeng Rakyat di GK Raksawacana, Minggu 1 Juni 2025.
Publik juga tidak salah jika menduga-duga, jangan-jangan ada kebutuhan publik lainnya yang lebih mendesak, jangan-jangan ada sumber anggaran lain selain dari APBD, jangan-jangan sangat tidak realistis untuk dilaksanakan dalam 100 hari. Di sisi lain, Asda 2 yang mendadak jadi juru bicara Plh. Sekda di forum diskusi Waroeng Rakyat tersebut malah mengulas urusan yang secara konseptual tidak paralel dengan 26 program di 100 hari kerja Dian-Tuti sebagai prestasi di 100 hari kerja, seperti kenaikan kompensasi air dari Pemkot Cirebon. Sementara keluhan pelanggan PAM Tirta Kamuning atas kenaikan tarif air yang ditetapkan melalui Peraturan Bupati Nomor 5 Tahun 2025 tidak disentil sama sekali.
Dalam hal ini publik patut menunggu janji Pemkab menggelar moment Bedah 100 Hari Kerja Bupati dan Wakil Bupati Kuningan. Dari sanalah penilaian objektif atas kinerja Dian-Tuti mungkin dapat disematkan. Masyarakat bisa mengkalkulasi program apa yang sudah dilaksanakan dan tidak dilaksakan, sekaligus mengkonfirmasi nasib program yang sudah dilaksanakan namun tidak memenuhi standar quality assurance. Sektor infrastuktur misalnya, Pemkab harus trasparan benarkah target 100 km jalan yang digarap dalam tempo 100 hari benar-benar mulus? Apakah program ini sekedar lip service untuk menyenangkan perantau yang mudik lebaran? Berapa total anggaran yang digunakan?
Perlu dikonfirmasi juga seberapa efektif pemberian insentif kepada guru ngaji senilai 540 juta. Sebab sejauh ini belum ada informasi detail terkait daftar nama 1.600 guru ngaji yang menerima insentif, lalu berapa nilai insentif yang diberikan untuk setiap orangnya dan bagaimana keberlanjutan program ini setelah 100 hari kerja Dian-Tuti berlalu. Namun dalam hal ini, niat baik BAZNAS Kuningan patut diapresiasi. Inilah bentuk dedikasi BAZNAS membangun keselarasan dengan salah satu program unggulan pasangan Dian-Tuti.
Di luar itu, dalam forum Bedah 100 Hari Kerja (kalau benar akan dilaksanakan), pemerintahan Dian-Tuti harus mendiseminasikan progress program yang sudah dicanangkan. Seperti penanganan pengangguran melalui program Gema Sadulur, hasil penggalian informasi melalui program Ngopi Pagi, bantuan kepada Gapoktan untuk penebusan pupuk melalui program Bang Pupuk, serta tindaklanjut penandatanganan pakta integritas dalam rangka mewujudkan program PNS Berintegritas.
Pada akhirnya semuanya sepakat bahwa 100 hari pertama kepemimpinan Dian-Tuti bukanlah akhir cerita. Masih ada 1.725 hari lainnya yang harus dilalui dengan sungguh-sungguh sampai masa jabatan berakhir tahun 2030. Namun karena sudah menjadi isu politik, 100 hari pertama akhirnya dipandang sebagai fase krusial untuk membangun legacy bagi Dian-Tuti melalui program prioritas yang telah dijanjikan saat kampanye. Karena itu, 100 hari kerja pertama tidak boleh sebatas ceremonial dan ajang “penebusan dosa” bagi mereka yang tidak ada di barisan Dirahmati saat masa kontestasi. Jika itu yang terjadi, lalu apa urgensi 100 hari kerja Dian-Tuti?
Asep Z. Fauzi
(Ketua KPU Kuningan Periode 2018-2023)
