KUNINGAN (MASS) – Pengesahan Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law mendapat tanggapan dari akademisi Kuningan Suwari Akhmaddhian.
“Pengesahan Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law cacat secara procedural dan subtansial,” kata Suwari, Sabtu (10/10/2020).
Cacat prosedural yang dimaksud yaitu ketika sebuah rancangan undang-undang mau disahkan harus sudah ada draft finalnya. Seperti diketahui di media nasional bahwa anggota Badan Legislasi DPR RI menyatakan bahwa draft RUU yang disahkan perlu penyempurnaan.
“Kesalahan prosedur ini fatal karena sudah melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” tandasnya.
Terkait cacat subtansial yaitu bahwa isi dari Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 27 terkait ketenagakerjaan.
Dalam Undang-undang Cipta Kerja yaitu pasal 156 yang berisi tentang jumlah pesangon yang didapatkan oleh pekerja berbunyi “paling banyak” sedangkan didalam UU ketenagakerjaan berbunyi “paling sedikit”. Perbedaan hanya satu kata tapi akibatnya sangat merugikan kesejahteraan pekerja.
Menurut Suwari, masih banyak pasal-pasal dalam Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law yang bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
“Bahwa RUU Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law sudah sudah ditolak untuk disahkan, penolakan sudah dilakukan oleh Ormas-Ormas yang ada di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama, yang menyatakan hanya menguntungkan konglomerat, kapitalis, investor sedangkan Muhammadiyah menyatakan bahwa Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law bertentangan dengan Pancasila,” paparnya.
Tidak mengherankan ketika banyak demontrasi dimana-mana terjadi seperti halnya di Kuningan karena dalam pembuatan Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law tidak sesuai kaidah-kaidah keilmuan yaitu berdasarkan pertimbangan filosofis, yuridis dan sosiologis.
Masyarakat juga apatis terhadap Mahkamah Konstitusi karena sudah terjadi perubahan UU MK yang mengubah masa jabatan menjadi 15 tahun atau 70 tahun.
“Sehingga apabila diajukan Judicial Review ke MK masyarakat pesimis, maka sudah baik yang dimintakan oleh masyarakat melalui berbagai eleman masyarakat baik mahasiswa, ormas dan yang lainnya yaitu minta dikeluarkan Perpu pembatalan Cipta Kerja atau Omnibus Law oleh Presiden,” tutur Suwari yang merupakan Direktur LBH Uniku.
Kepada masyarakat yang berunjuk rasa, ia mengingatkan, seyogyanya selalu menjaga diri dari wabah covid-19, damai dan tidak melakukan tindakan anarkis. Serta bagi aparat kepolisian senantiasa sabar dan humanis dalam menghadapi rekan-rekan yang sedang menyampaikan aspirasinya. (deden)