KUNINGAN (MASS) – Tragedi 11 September 2001, atau yang lebih dikenal sebagai 9/11, adalah serangan terhadap World Trade Center (WTC) di New York yang mengguncang dunia. Kejadian ini tidak hanya menimbulkan banyak korban jiwa dan dampak psikologis bagi bangsa Amerika, tetapi juga berdampak besar bagi umat Islam di seluruh dunia.
Sejak tragedi ini, banyak pertanyaan, teori konspirasi, dan sudut pandang untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi dan apa implikasinya bagi umat Islam global. Salah satu perspektif yang menarik datang dari Syekh Imran, yang mengkaji tragedi ini melalui pendekatan eskatologis dalam pandangan Islam.
Tentang tragedi 9/11 ini banyak yang mempertanyakan apakah versi resmi dari pemerintah Amerika Serikat menggambarkan seluruh kebenaran. Beberapa kejanggalan yang sering dibahas meliputi kecepatan runtuhnya gedung WTC, dugaan adanya bahan peledak di dalam gedung, hingga bukti-bukti yang mengindikasikan bahwa kejadian ini direncanakan oleh pihak tertentu untuk kepentingan geopolitik.
Teori konspirasi yang populer menyatakan bahwa serangan ini mungkin telah direkayasa untuk memberikan alasan kepada AS dan sekutu-sekutunya guna menyerang negara-negara Muslim yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki posisi strategis.
Teori konspirasi ini semakin diperkuat oleh kebijakan yang diambil AS setelah tragedi, seperti invasi ke Afghanistan dan Irak, serta pembentukan berbagai undang-undang keamanan nasional yang kontroversial.
Peneliti dan aktivis melihat bahwa peristiwa ini tidak hanya sebagai tragedi, melainkan alat politik untuk melegitimasi ekspansi militer AS dan menciptakan citra negatif bagi umat Islam.
Perspektif Syekh Imran
Selama sekitar 10 tahun (1991-2001) menetap di New York, Syekh Imran menduduki jabatan sebagai Direktur Studi Islam di Komite Gabungan Organisasi Muslim Greater New York. Dalam kapasitasnya ini, ia memberikan bimbingan keagamaan dan pendidikan kepada komunitas Muslim, termasuk memimpin shalat Jumat bulanan untuk Komunitas Islam di markas besar PBB.
Periode ini juga menjadi waktu penting baginya dalam mengembangkan dan membagikan pandangan eskatologinya terkait Islam dan geopolitik modern.
Syekh Imran dikenal sebagai salah satu ulama yang menyuarakan pandangan kritis terhadap tragedi 9/11, yang ia pandang bukan sekadar serangan, melainkan sebagai bagian dari strategi geopolitik barat untuk melegitimasi serangan terhadap negara-negara Muslim dan menumbuhkan Islamofobia secara global.
Menurutnya, tragedi ini menjadi pembenaran untuk agenda tersembunyi yang bertujuan memperluas pengaruh di dunia Islam, dengan konsekuensi menempatkan umat Islam sebagai sasaran utama.
Setelah kejadian 9/11 itu, ia menyampaikan pemikirannya mengenai bagaimana peristiwa ini telah dipolitisasi dan dimanipulasi untuk menciptakan sentimen anti-Islam di seluruh dunia. Pernyataan-pernyataan kritis dan ikoniknya terkait 9/11 itu membuatnya semakin diawasi oleh pihak berwenang, dan akhirnya memengaruhi izin berbicaranya di Amerika. Sejak itu ia meninggalkan Amerika dan tidak pernah kembali.
Menurutnya, tragedi ini adalah semacam perang salib modern yang dibalut alasan keamanan dan pemberantasan terorisme, namun sejatinya untuk melemahkan posisi politik dan ekonomi negara-negara Islam.
Syekh Imran juga meyakini bahwa penargetan negara-negara Muslim pasca 9/11 memiliki tujuan yang lebih dalam, yakni mengubah struktur sosial dan politik di dunia Islam agar sesuai dengan kepentingan barat. Pandangannya ini banyak ia sampaikan dalam ceramah dan tulisannya, yang menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka yang mencari perspektif alternatif terkait 9/11.
Menurut Syekh Imran Hosein, tragedi 9/11 merupakan bagian dari rencana besar Zionis untuk menggeser dominasi dunia dari “Pax Americana” menuju “Pax Judaica.”
Dalam pandangannya, 9/11 bukan sekadar serangan biasa, melainkan sebuah operasi rahasia yang didalangi oleh Mossad Israel. Syekh Imran menafsirkan ini sebagai langkah strategis yang membuka jalan bagi Yahudi-Zionis untuk semakin mengendalikan kebijakan global dan mempersiapkan dunia menuju “tahap ketiga” dalam agenda Dajjal, yaitu ketika Dajjal akhirnya akan mengklaim dirinya sebagai “al-Masih” di Yerusalem.
Syekh Imran menunjukkan sejumlah simbol dan peristiwa yang berkaitan dengan Zionisme di sekitar tragedi WTC ini, antara lain:
- Ketidakhadiran Staf Israel di WTC
Pada hari kejadian, terdapat laporan yang menyebutkan bahwa sebagian besar warga Israel dan Yahudi yang bekerja di WTC tidak hadir atau sudah diperingatkan sebelumnya. Ini adalah indikasi kuat keterlibatan Israel dalam tragedi tersebut.
- Simbolisme Angka 11 dan Piramida
Syekh Imran menyoroti penggunaan angka 11 dalam peristiwa ini, mengingatkan pada simbol numerik dalam okultisme dan Zionisme. Gedung WTC yang berbentuk seperti angka 11 juga dilihatnya sebagai simbol tersembunyi yang menyiratkan agenda Zionis.
- Target Timur Tengah dan Dunia Islam
Setelah 9/11, kebijakan luar negeri AS difokuskan pada invasi di negara-negara Muslim seperti Afghanistan dan Irak. Syekh Imran menafsirkan hal ini sebagai upaya strategis untuk mengacaukan wilayah-wilayah yang berpotensi menjadi ancaman bagi Israel, sehingga dalam jangka panjang Zionisme dapat semakin mendominasi politik global.
Dalam pandangan Syekh Imran, 9/11 menandai transisi dunia dari dominasi AS ke dominasi Israel atau “Pax Judaica.” Di tahap ini, AS bukan lagi penguasa utama, melainkan hanya alat yang dikendalikan oleh kepentingan Zionis untuk mencapai agenda lebih besar, yaitu penobatan Dajjal sebagai penguasa dunia dari Yerusalem.
Transisi ini tidak hanya terkait perubahan politik, tetapi juga mengandung elemen spiritual dalam peta eskatologi Syekh Imran, karena Dajjal pada akhirnya akan muncul secara fisik untuk mengklaim dirinya sebagai penyelamat yang dijanjikan (al-Masih) bagi orang-orang Yahudi Israel yang tertipu.
Syekh Imran mengingatkan bahwa pemahaman ini penting bagi umat Islam dalam mempersiapkan diri menghadapi zaman fitnah besar, serta menolak berbagai agenda politik yang merupakan bagian dari skenario global.
Dampaknya bagi Dunia Islam
Setelah tragedi WTC 9/11, dunia menyaksikan lonjakan besar dalam sikap Islamofobia, terutama di negara-negara Barat. Serangan tersebut, yang oleh pemerintah AS dan media global segera dikaitkan dengan kelompok-kelompok Islam radikal, memunculkan gelombang ketakutan, prasangka, dan kebencian terhadap Islam dan umat Muslim.
Penyebutan “perang melawan terorisme” oleh Amerika Serikat setelah 9/11 berdampak besar dalam membentuk citra Islam sebagai ancaman global, dan secara tak langsung menyudutkan seluruh umat Muslim, terlepas dari apakah mereka terlibat atau tidak.
- Stigmatisasi Islam sebagai “Agama Terorisme”
Setelah 9/11, media massa secara masif menyoroti keterlibatan kelompok-kelompok Islam radikal sebagai pelaku terorisme. Narasi yang dibangun seakan menempatkan “terorisme” dan “Islam” dalam satu bingkai yang sama.
Kata-kata seperti “jihad,” “mujahidin,” dan “syahid” digunakan tanpa pemahaman konteks yang benar, sehingga memperparah kesalahpahaman masyarakat barat terhadap konsep-konsep Islam yang sebenarnya bernuansa spiritual dan kompleks.
Narasi negatif ini diperparah oleh beredarnya berita yang seringkali bersifat sensasional dan kurang akurat tentang ajaran Islam. Fokus berita pada ekstremisme, tanpa memberikan pemahaman yang mendalam tentang mayoritas Muslim yang cinta damai, menciptakan persepsi bahwa Islam adalah Agama yang secara inheren mendukung kekerasan.
Narasi diperkuat oleh fakta terjadinya invasi Amerika ke Afghanistan (7 Oktober 2001), hanya sebulan setelah tragedi 9/11, Irak (20 Maret 2003), dan Libya (11 Maret 2011). Semuanya atas nama “perang melawan terorisme”.
- Pelembagaan Islamofobia dalam Kebijakan dan Hukum
Setelah 9/11, AS dan banyak negara Barat mengeluarkan kebijakan keamanan yang secara langsung maupun tidak langsung menargetkan umat Islam. Misalnya, Patriot Act di Amerika Serikat memperbolehkan pengawasan yang jauh lebih ketat terhadap warga Muslim, khususnya imigran dari negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Bandara dan perbatasan AS juga menerapkan prosedur yang lebih ketat terhadap penumpang Muslim atau mereka yang berasal dari Timur Tengah.
Banyak kebijakan ini, yang digambarkan sebagai langkah untuk melindungi keamanan nasional, sebenarnya justru mempertegas stereotip bahwa Muslim adalah ancaman. Hal ini memicu diskriminasi dan prasangka yang terlembagakan dalam kehidupan sosial, dimana umat Muslim mengalami pengawasan berlebihan dan seringkali dicurigai tanpa alasan yang jelas.
- Efek Domino di Negara-negara Lain
Pengaruh dari Islamofobia yang berkembang di AS pasca-9/11 menyebar luas ke berbagai negara Barat lainnya. Banyak negara di Eropa juga memberlakukan kebijakan serupa, dengan dalih melindungi keamanan dalam negeri mereka. Prasangka negatif terhadap Muslim semakin diperparah oleh larangan-larangan terhadap simbol-simbol keagamaan seperti hijab, niqab, dan azan. Peristiwa-peristiwa ini mengindikasikan adanya ketakutan yang meresap dan perasaan asing terhadap simbol-simbol Islam.
Banyak partai-partai politik di Eropa memanfaatkan ketakutan ini untuk mendapatkan dukungan politik, menciptakan platform anti-imigran dan anti-Islam. Seiring waktu, Islamofobia tidak hanya menjadi isu budaya atau sosial, tetapi juga menjadi alat politik untuk meraih suara, terutama di kalangan pemilih konservatif yang khawatir akan “Islamisasi” negara mereka.
- Dampak Sosial dan Psikologis terhadap Umat Muslim
Pasca 9/11, umat Muslim di barat mengalami stigma yang berat. Mereka harus hidup dalam situasi dimana identitas Agama mereka seringkali diasosiasikan dengan kekerasan dan terorisme. Banyak Muslim di AS dan Eropa menghadapi diskriminasi di tempat kerja, sekolah, dan kehidupan sehari-hari. Kejadian pelecehan verbal dan fisik di ruang publik, penyerangan terhadap masjid, serta diskriminasi dalam kesempatan kerja menjadi hal yang sering dihadapi.
Hal ini berdampak pada psikologis Muslim di barat, khususnya generasi muda yang merasa diasingkan dan kurang diterima oleh masyarakat mereka sendiri.
Situasi ini menimbulkan krisis identitas bagi banyak pemuda Muslim yang terjebak di antara mempertahankan identitas agama mereka dan menyesuaikan diri dengan masyarakat yang seringkali mencurigai mereka.
Makna dan Implikasi bagi Umat Islam
Tragedi 9/11 memang menjadi pemicu utama dalam menyebarkan Islamofobia global. Kejadian ini mengubah persepsi dunia terhadap Islam dan umat Muslim, menyebabkan banyak Muslim yang terasing di masyarakat mereka sendiri dan menjadi korban diskriminasi yang sistematis.
Bagi umat Islam, tragedi ini memiliki makna penting sebagai pengingat untuk menjaga persatuan, memperkuat pemahaman terhadap Agama, dan secara aktif berpartisipasi dalam memberikan citra Islam yang damai kepada dunia.
Peristiwa ini menuntut umat Islam untuk semakin kritis terhadap narasi global yang menyudutkan Islam, serta meningkatkan kesadaran bahwa tantangan ini merupakan bagian dari ujian spiritual yang besar. Dengan memahami bahwa Islamofobia adalah agenda yang disusun untuk melemahkan kekuatan umat Islam, umat Muslim diharapkan mampu menghadapi tekanan ini dengan keteguhan iman, pengetahuan yang mendalam, dan solidaritas yang kuat.
Pandangan Syekh Imran memberikan perspektif alternatif yang memperingatkan umat Islam untuk berhati-hati terhadap narasi yang beredar dan untuk lebih memahami peran mereka dalam dinamika global. Bagi umat Islam, tragedi ini bukan sekadar serangan fisik, melainkan serangan terhadap citra Islam itu sendiri.
Implikasi dari peristiwa ini mengingatkan kita untuk lebih waspada terhadap agenda-agenda besar yang mungkin tersembunyi di balik peristiwa-peristiwa global. Syekh Imran mendorong umat Islam untuk memahami tanda-tanda akhir zaman dan melihat tragedi ini sebagai bagian dari perjuangan antara kebenaran dan kebatilan di dunia modern.
Dengan melihat tragedi 9/11 dari perspektif Islam, Syekh Imran mengajak umat Islam dapat belajar untuk lebih kritis dan tidak mudah terbawa oleh arus propaganda. Tragedi ini menuntut kita untuk lebih memahami konteks global dan guna menguatkan persatuan umat Islam agar tidak terpecah-belah oleh isu-isu yang dihembuskan dari luar.
Apa yang kita saksikan saat ini di Palestina semakin menyingkap kebenaran dari narasi eskatologis dalam Teks-teks Profetik Islam, yang memperingatkan tentang perjuangan akhir menjelang kembalinya kekuasaan hakiki di Tanah Suci. Dengan demikian, peristiwa 9/11 bukanlah sekadar insiden biasa, tetapi bagian dari skenario eskatologis yang mengatur pola konflik global.
Pasca 9/11, hegemoni barat terhadap dunia Islam semakin menguat, baik melalui invasi fisik di negara-negara seperti Afghanistan (2001), Irak (2003), dan Libya (2011), maupun melalui dominasi pemikiran dan budaya, terutama di negara-negara mayoritas muslim, seperti Indonesia.
Dalam perspektif Eskatologi Islam, rangkaian peristiwa ini dipandang sebagai bagian dari agenda besar untuk mempersiapkan kembalinya kejayaan kerajaan Nabi Daud (David) dan Nabi Sulaiman (Solomon) di Yerusalem, yang kini tampaknya sudah mendekati tahap akhir.
Refleksi: Paradoks Narasi Pluralitas
Proyek moderasi Islam yang muncul pasca 9/11 bertujuan menciptakan citra Islam yang lebih moderat dan inklusif untuk mereduksi ekstremisme. Melalui revisi kurikulum, dialog antaragama, dan dukungan pada tokoh “Islam moderat,” inisiatif ini berupaya mempromosikan nilai-nilai toleransi, sikap inklusif dan pluralitas.
Namun, proyek ini justru memicu paradoks: alih-alih merangkul keberagaman, ia cenderung mendiskreditkan pandangan yang tidak sesuai dengan standar “moderat.” Inklusivitas yang diusung berubah menjadi eksklusivitas, yang mengalienasi sebagian komunitas Muslim dan memicu resistensi.
Hasilnya, proyek moderasi ini berisiko menciptakan jurang pemisah baru, memperkuat persepsi bahwa moderasi hanyalah alat politik, dan menghambat tujuan harmonisasi yang diusungnya.
Di sinilah paradoks sekali lagi muncul. Narasi inklusivitas dan pluralitas dalam mega-proyek ‘memoderatkan’ Islam terlihat ketika upaya untuk mempromosikan Islam “moderat” dan “inklusif” justru dapat mengeksklusikan atau mendiskreditkan interpretasi-interpretasi lain dalam Islam yang dianggap “tidak moderat”.
Sementara proyek ini bertujuan menciptakan harmoni dan toleransi, pendekatan yang cenderung menstandardisasi pandangan “moderat” dapat mengalienasi kelompok-kelompok yang merasa nilai-nilai dan interpretasi keagamaan mereka dianggap ekstrem atau radikal.
Hal ini menimbulkan ketegangan baru karena narasi inklusifitas yang diusung justru menekan pluralitas pemahaman dalam Islam, yang secara paradoks malah membatasi kebebasan berekspresi dan keberagaman dalam komunitas Muslim itu sendiri.
Karena itu, muncul perspektif lain dari beberapa cendekiawan yang mengingatkan, bahwa proyek ini sebaiknya tidak hanya terfokus pada moderasi sebagai label, tetapi lebih fokus bagaimana mengatasi akar masalah radikalisme, seperti ketidakadilan sosial, korupsi, dan ketimpangan ekonomi, yang sering menjadi pemicu utama ekstremisme.
والله اعلم
Maman Supriatman (Akademisi/Penulis Buku Eskatologi Islam)
MS 13/12/24