KUNINGAN (MASS) – Tradisi munggah merupakan tradisi turun-temurun yang dilakukan oleh masyarakat Muslim Indonesia, terutama di daerah Jawa dan Sunda, menjelang pelaksanaan ibadah puasa. Tradisi ini dipahami sebagai ajang silaturahmi, berkumpul, serta saling memaafkan antara keluarga, teman, tetangga, dan handai taulan. Dalam masyarakat yang masih memegang prinsip primordial, munggah juga sering disertai dengan kegiatan bersih desa, ziarah kubur (nyekar), dan menghormati para pendahulu atau guru yang telah meninggal.
Munggah memiliki makna yang mendalam, yang terkait dengan arah dan kehidupan masyarakat Indonesia kuno. Menurut Prof. Jakob Sumardjo dalam bukunya Sunda Pola Rasionalitas Budaya, munggah dan mudik berasal dari arti yang sama, yaitu “naik”. Hal ini mengacu pada kebiasaan masyarakat masa lalu yang menggunakan sungai sebagai jalur komunikasi utama. Sungai dikenal dengan istilah hulu (naik) dan hilir (turun), yang menjadi simbol kehidupan masyarakat Indonesia. Arah hulu, yang berarti “naik”, berkaitan dengan perempuan, rumah, atau kampung halaman, sedangkan arah hilir, yang berarti “turun”, merujuk pada lelaki, luar, atau merantau.
Dengan pemahaman ini, munggah dan mudik bisa dianggap sebagai bentuk kembali ke asal-usul, kembali ke kampung halaman, ke nenek moyang, dan pada akhirnya kembali kepada fitrah manusia. Tradisi ini mencerminkan nilai arketip bangsa Indonesia yang tidak pernah melupakan jati dirinya, baik itu kampung halaman maupun leluhur mereka.
Munggah dan mudik menjadi ritual yang memiliki makna lebih mendalam menjelang bulan suci Puasa dan Lebaran, karena masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa dan Sunda, sangat menghargai hubungan dengan asal-usul mereka. Ungkapan dalam bahasa Sunda, “Mulih ka Jati Mulang ka Asal”, yang berarti kembali ke rumah atau asal sejati, dan dalam bahasa Jawa, “Sangkan Paraning Dumadi”, yang berarti mengingat dari mana kita berasal dan akan kemana kita kembali, menunjukkan hubungan kuat manusia dengan asal-usulnya.
Pada akhirnya, tradisi munggah dan mudik menjelang bulan Puasa menggambarkan tingginya religiositas masyarakat Indonesia yang senantiasa memadukan aspek fisik dan metafisik, duniawi dan spiritual. Ini mencerminkan kesadaran kolektif bangsa Indonesia untuk selalu mendekatkan diri kepada Tuhan, mengikuti perintah-Nya, dan menjaga hubungan spiritual yang utuh dengan-Nya, sebagaimana dikatakan dalam ungkapan Jawa, manunggaling kawula dengan gustinya, yaitu menyatunya hamba dengan Tuhan.
Di Jawa Barat, tradisi Munggahan masih dilestarikan dengan baik oleh berbagai kalangan masyarakat, dengan diisi berbagai kegiatan seperti silaturahim, makan bersama, dan dilanjutkan dengan bersama-sama menziarahi makam leluhur. Secara perspektif Islam, tradisi seperti ini adalah hal yang baik untuk dipertahankan, karena sesuai dengan kaidah ushul fiqih:
المحُاَفَظَةُ عَلَى القَدِيْمِ الصَالِحِ وَالأَخْذُ باِلجَدِيْدِ الأَصْلَحِ
“Melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan menerapkan nilai-nilai baru yang lebih baik.”
Tradisi seperti Munggahan merupakan warisan kearifan ulama terdahulu dalam Islamisasi nilai-nilai budaya masyarakat Nusantara. Hal inilah yang patut kita jaga, salah satunya untuk menjaga identitas nasionalisme kita agar tidak terbawa arus globalisasi yang tidak terbendung.
Dalam tradisi Munggahan juga terdapat aneka macam amalan yang sangat bermanfaat bagi umat Muslim. Oleh karena itu, secara substansial hukum mengadakan kegiatan Munggahan adalah diperbolehkan.
Sejatinya ada pelajaran istimewa dalam tradisi Munggahan. Salah satunya adalah ziarah kubur, sebagaimana perintah Baginda Rasulullah SAW:
زُورُوا قُبُورَ مَوْتَاكُمْ فَإِنَّ لَكُمْ فِيهَا اعْتِبَارًا
“Ziarahilah kuburan orang-orang yang telah meninggal di antara kalian. Sesungguhnya kalian akan mendapat pelajaran dari sana.” (HR Thabrani)
Pelajaran terpenting dari ziarah kubur adalah mengingatkan kita akan pastinya kematian yang akan datang menghampiri. Mengingat kematian juga merupakan tolok ukur kecerdasan bagi seorang Muslim:
الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ المَوْتِ، وَالعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا، وَتَمَنَّى عَلَى اللّٰهِ
“Orang yang cerdas adalah orang yang bisa mengalahkan hawa nafsunya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah mereka yang membiarkan dirinya mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan mendapat pahala dari Allah.” (HR Hakim)
Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita menghargai dan menjaga budaya warisan leluhur, yakni Munggahan, karena dalam tradisi ini terdapat berbagai pelajaran yang luar biasa bagi seorang Muslim. Dengan menjalankan Munggahan, kita akan tahu betapa pentingnya menyambung tali silaturahim, hidup rukun berdampingan, dan yang terpenting, kita bisa mengingat kematian serta berterima kasih atas jasa-jasa leluhur yang kita ziarahi.
Mari kita lestarikan nilai-nilai tradisi kita dengan mengedepankan ilmu, agar tradisi yang ditinggalkan oleh para ulama Nusantara terdahulu selalu terjaga dengan baik. Seperti saat ini, di saat Ramadhan tinggal menghitung hari, mari kita jalankan tradisi Munggahan dengan niat yang baik dan kegiatan yang bermanfaat.
Oleh: Aji Muarif M.A
Ketua Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama Luragung