KUNINGAN (MASS) – Kita hidup di Tengah Masyarakat yang memiliki beragam agama, suku, budaya, maupun pandangan hidup. Bahkan dalam agama islam itu sendiri, ada banyak perbedaan dalam hal mazhab, pendapat fiqih dan dari cara beribadah. Sebagai seorang muslim kita seringkali dihadapkan pada situasi yang menuntut kita untuk bersikap toleran. Namun, toleransi bukan berarti mencampuradukkan keyakinan atau mengorbankan prinsip akidah. Lalu bagaimana islam mengajarkan kita untuk tetap menjadi pribadi yang benar dan terbuka, namun tetap dalam prinsip islam dan teguh pada iman?
Islam bukanlah agama yang kaku dan eksklusif. Sejak awal, islam mengajarkan kita untuk hidup berdampingan. Pada masa Rasulullah SAW. juga selalu diajarkan untuk hidup damai dengan siapa pun dan dimana pun. Dalam piagam Madinah, Rasulullah menegaskan prinsip hidup berdampingan antara Muslim dan non-Muslim dengan adil. Allah SWT. Berfirman: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6).
Ayat ini menjadi dasar bahwa seorang nuslim harus bertoleransi. Namun, bukan berarti toleransi itu bisa masuk ke ruang privasi, yaitu berkompromi dalam hal akidah dan kepercayaan akan Tuhan yang mana itu tidak masuk akal. Ayat ini menegaskan dengan mempersilahkan mereka untuk menganut terhadap apa yang mereka yakini. Dan masing-masing bisa beribadah sesuai dengan apa yang dianggap benar. Karena pada akhiranya semua akan ada balasannya.
Namun, penting untuk dicatat bahwa toleransi bukan berarti mencampuradukkan akidah. Seorang Muslim tidak diperbolehkan mengikuti ritual agama lain, apalagi sampai merelakan prinsip agamanya demi menyenangkan orang lain. Inilah yang dimaksud dengan “toleransi tanpa kompromi” kita tetap ramah dan terbuka, tapi tidak goyah dalam keimanan.
Ironisnya, terkadang yang sulit justru bersikap toleran terhadap sesama Muslim. Masih banyak orang yang cepat menghakimi atau mencela hanya karena ada perbedaan dari cara sholat, bacaan doa, atau mazhab yang dianut. Padahal, para ulama terdahulu telah menyampaikan bahwa perbedaan pendapat dalam masalah cabang (furu’) adalah hal yang wajar dan bahkan menjadi rahmat. Para ulama salaf juga mencontohkan bagaimana menyikapi perbedaan dengan adab dan saling menghormati.
Contohnya, ada yang membaca qunut subuh, ada yang tidak. Ada yang mengangkat tangan saat takbir beberapa kali, ada yang hanya sekali. Selama semua itu memiliki dasar dari dalil yang sahih, maka tidak ada alasan untuk mencela atau menghakimi pihak lain dan merasa kita yang paling benar.
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Persaudaraan dalam Islam jauh lebih penting daripada memenangkan perdebatan. Jangan sampai perbedaan kecil membuat kita terpecah, saling benci, dan hilang rasa kasih sayang antar sesama.
Bagaimana Menjadi Toleran Tanpa Kehilangan Prinsip? Pertama , kita perlu memperkuat pemahaman kita terhadap ajaran Islam. Karena ilmu adalah kunci untuk membedakan mana hal yang prinsip (akidah), dan mana hal yang bisa berbeda (khilafiyah). Orang yang berilmu akan lebih mudah memahami perbedaan, tidak cepat marah, dan tidak gampang menghakimi. Kedua , kita harus menjaga adab dalam berdiskusi dan bermuamalah. Jangan mudah mencela di media sosial hanya karena berbeda pendapat. Tahan lisan dan jari, dan biasakan berdiskusi dengan adab, bukan dengan emosi. Ketiga , tanamkan rasa cinta dan kasih sayang terhadap sesama. Baik terhadap non-Muslim dalam hubungan sosial, maupun terhadap sesama Muslim yang berbeda pandangan. Kita bisa bersikap santun tanpa mengorbankan prinsip agama. Inilah makna toleransi yang sejati.
Toleransi adalah bagian dari ajaran Islam. Ia bukan hanya sikap sosial, tapi sebagai bentuk cerminan dari kedewasaan iman dan kematangan akhlak. Namun, kita juga tidak boleh sembarangan dalam bersikap. Toleransi bukan berarti membenarkan semua hal, apalagi sampai ikut-ikutan dalam ibadah agama lain atau melemahkan prinsip Islam.
Di sisi lain, sesama Muslim pun perlu belajar untuk saling menghargai dalam perbedaan. Jangan jadikan mazhab atau pendapat ulama sebagai alasan untuk saling bermusuhan. Karena sesungguhnya, kita semua bersaudara di bawah naungan kalimat Laa ilaaha illallah .
“Toleransi adalah sikap baik kita kepada sesama manusia untuk saling menghargai dan memahami tanpa harus melebur dalam semua hal”.
Semoga kita bisa menjadi Muslim yang kokoh dalam akidah, lembut dalam akhlak, dan bijak dalam perbedaan.
Wallahu A’lam Bishawab…..
Oleh: Nugie Saputra
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Husnul Khotimah Kuningan
