KUNINGAN (MASS) – Sudah tiga tahun lamanya penyadapan getah pinus ilegal berlangsung di kawasan hutan lindung Kabupaten Kuningan. Praktik ini terus berjalan tanpa izin resmi, tanpa pengawasan ketat, dan tanpa manfaat nyata bagi masyarakat yang seharusnya menjadi subjek utama dari hutan sosial. Pertanyaannya sederhana namun mengguncang “Siapa yang sebenarnya diuntungkan dari penyadapan ilegal ini?”
Setiap bulan, sedikitnya 32 ton getah pinus disadap secara ilegal dari kawasan Gunung Ciremai. Dengan harga pasar Rp18.000/kg, itu berarti ada lebih dari Rp576 juta per bulan yang beredar di luar sistem resmi. Total dalam setahun? Hampir Rp7 miliar! Tapi masyarakat penyadap tetap hidup dalam kemiskinan.
Lalu uangnya ke mana?
Siapa yang menguasai distribusi?
Siapa pengepul besar di balik layar?
Yang pasti, tidak ada kontribusi untuk negara, tidak ada jaminan sosial bagi para penyadap, dan tidak ada keadilan bagi kelompok-kelompok masyarakat yang taat aturan.
Kami mengecam keras praktik pembiaran penyadapan ilegal ini. Di tengah kelompok masyarakat sah yang telah mengurus izin secara resmi dan tertib, justru kelompok ilegal yang diberi ruang bergerak. Ini bukan hanya ketidakadilan, tapi bentuk nyata penyimpangan tata kelola sumber daya alam.
Beberapa pertanyaan yang hadir
Mengapa BTNGC tidak mengambil langkah hukum tegas?
Mengapa aparat penegak hukum diam?
Siapa yang bermain di balik aktivitas ini?
Jika lembaga negara tidak berani menindak pelaku ilegal, maka kita patut bertanya: ada apa sebenarnya di balik praktik ini?
Kami tegaskan bahwa praktik ini tidak bisa dibiarkan. Jika dalam waktu dekat tidak ada tindakan tegas dari BTNGC dan aparat hukum, maka:
Kami akan melaporkan kasus ini langsung ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bahkan ke Komisi IV DPR RI yang membidangi kehutanan.
Kami tidak akan tinggal diam menyaksikan hutan dirampas oleh segelintir orang, sementara masyarakat yang taat hukum justru dikorbankan. Ini bukan hanya soal getah pinus. Ini soal keadilan. Soal integritas negara.
Penyadapan liar yang dibiarkan berarti membuka pintu bagi oligarki lokal merampas sumber daya rakyat. Hutan bukan warisan untuk dijarah seenaknya. Hutan adalah titipan yang harus dijaga, dikelola dengan adil, lestari, dan berpihak pada masyarakat hukum adat serta kelompok masyarakat yang sah secara hukum.
Tiga tahun kita diam, kini saatnya bersuara.
Tiga tahun kita menyaksikan pelanggaran, kini saatnya kita bertindak.
Hentikan penyadapan ilegal. Tegakkan hukum. Wujudkan keadilan!!
Oleh: Bisyar Abdul Aziz
Polhukam BEM UM Kuningan
