KUNINGAN (MASS) – Sebuah pepatah mengatakan bahwa anak adalah harta yang paling berharga bagi orang tua. Hadirnya seorang anak adalah hadiah terindah dalam kehidupan dan kesempurnaan berumah tangga. Akan lebih sempurna seorang anak jika diberikan pendidikan yang optimal baik sebelum lahir maupun setelah lahir.
Kecendrungan orang tua memberikan pendidikan pada anak adalah setelah lahir, padahal pendidikan sebelum lahir (pendidikan pranatal) hal yang sangat dibutuhkan. Sehingga John Locke dalam teori tabula rasa mengatakan anak kecil atau bayi yang baru lahir bagaikan kertas putih bersih, artinya karakter dan kecerdasan anak tergantung dalam bingkai pendidikan orangtuanya.
Maka membutuhkan sentuhan pendidikan yang tepat dalam proses perkembangannya akan menentukan kualitas dimasa yang akan datang. Lalu bagaimana pandangan Islam mejawab semua ini? Setidaknya ada tiga pendidikan utama pada anak menurut perspektif alqur’an sebagaimana dalam QS. Luqman ayat 13-17.
Pertama, pendidikan yang menjadi pengenalan awal pada seorang anak adalah pendidikan tauhid. Tauhid adalah pondasi utama dan pertama yang harus dikenalkan dan diajarkan pada seorang anak. Begitu pentingnya peranan tauhid dalam kehidupan manusia, pertama yang dilakukan dalam dakwahnya Rasulullah kepada penduduk Mekkah bukan tentang muamalah, bukan tentang amal baik buruk tetapi pengenalan dan penanaman akidah tauhid. Sehingga tidak sedikit sejarah mecatat ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah adalah ayat-ayat uluhiyah (ayat ketuhanan). Dirasa menjadi keharusan maka pendidikan tauhid bagian tak terpisahkan dalam sendi-sendi kehidupan.
Sebagaimana Luqman contohkan kepada anaknya dalam fimran Allah swt: “dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (QS. Luqman: 13).
Menurut Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, dosen tafsir Universitas Islam Madinah dalam tafsir Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir menjelaskan bahwa, “identitas tak mengakui adanya Allah adalah kezaliman yang paling besar, sebab kezaliman adalah menyelewengkan suatu hak dari pemiliknya, dan hak ibadah adalah milik Allah semata, tidak ada yang berhak selain-Nya, sebab semua makhluk adalah makhluk-Nya dan segala urusan adalah urusan-Nya, sehingga menjadikan ibadah untuk selainnya merupakan pemberian hak kepada yang tidak berhak, maka itu menjadi kezaliman yang paling besar, meski tidak ada orang yang mampu memberi-Nya mudharat sedikitpun dan Dia Maha Kaya dan Maha Terpuji”.
Penjelasan diatas menegaskan bahwasanya penting memiliki keyakinan dan pondasi yang kuat mempertahankan nilai-nilai tauhid dalam beribadah. Melepaskan dan membebaskan diri dari perbudakan mental kepada sesama makhluk salah satu tugas hal yang harus ditanamkan sejak dini. Maka diperlukan kesadaran untuk mengetahui secara komprehensif kaidah dan kandungan tauhid seutuhnya.
Tanpa disadari pendidikan tauhid ini sudah kita kenal atau melakukannya, sebagian masyarakat Indonesia jika seorang bayi lahir diberikan pendengaran dengan kalimat thoyyibah yaitu kumandang adzan. Makna dari adzan sendiri ialah tidak ada kalimat yang didengar pertama kali oleh seorang anak selain kalimat-kalimat thoyibah. Lantunan adzan yang ditujukan pada telinga bayi merupakan awal pendidikan tauhid, yakni memperkenalkan Allah swt sebagai Tuhannya yang Maha Agung dan memperkenalkan nama Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rosulnya.
Yan Orgianus dalam “Aqidah Islam” menyebutkan bahwa tauhid adalah mengesakan atau menomorsatukan Allah swt dalam setiap aktivitas kehidupan sehari-hari dan tidak berbuat syirik kepadanya. Pendidikan tauhid bukan sebatas bisikan adzan semata, tetapi sebuah upaya menanamkan sifat tauhid uluhiyah, tauhid ubudiyah dan tauhid asma wasifat hingga ia dewasa.
Menurut Yunahar Ilyas dalam Kuliah Aqidah Islam (2020:18) Secara sederhana Tauhid dapat dibagi dalam tiga tingkatan yaitu: 1. Tauhid Rubbubiyah (mengimani Allah sebagai satu-satunya Rabb sang pencipta alam semesta beserta isinya), 2. Tauhid Ilahiyah/Uluhiyah (Mengimani Allah swt sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah), 3. Tauhid Mulkiyah/Asma wasifat (Mengimani Allah swt satu-satunya raja/Tuhan yang Maha tahu segalanya). Makna penjelasan tauhid uluhiyah ialah memberikan pemahaman kepada anak bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, tidak ada tempat untuk dipinta kecuali pada Allah.
Sementara tauhid ubudiyah yakni memberikan pemahaman kepada anak bahwa yang menciptakan alam semesta ini adalah Allah, adanya ayah bunda juga karena ciptaan Allah dan yang memberikan rizqi, kesehatan, kebebasan menghirup udara karena ke-Esaan Allah. Tauhid asma wa sifat adalah pengenalan dan teladan dengan karakter sifat-sifat baik kepada anak, agar anak mampu berbuat baik kepada sesama manusia karena perbuatan baik adalah bagian dari sifat Allah sifat Rohman dan Rohim.
Dengan demikian pendidikan tauhid yang kuat dan secara continue diharapkan dapat membentuk pondasi keimanan anak-anak yang menghasilkan karakter ke-Islaman yang sesungguhnya dan menjadikan peradaban Islam yang berkemajuan. Sebagaimana dipertegas oleh Yana Sutiana dalam Ilmu Tauhid (2019:12), kemusyrikan mengindikasikan kebodohan dan keterbelakangan pelakunya, sedangka orang bertauhid mengindikasikan kecerdasan dan kemajuan pelakunya. Orang musyrik pasti terbelakang berpikirnya, sedangkan orang bertauhid cerdas maju cara berpikirnya. Dengan demikian orang-orang bertauhid adalah uulul albab (orang yang berpendidikan ketuhanan).
Kedua, pendidikan akhlak kepada orang tua dan sesama. Akhlak berasal dari bahasa Arab yang artinya budi pekerti, tata krama atau sopan santun. Dalam Ijudin dan Nenden Munawaroh (2018:99) Imam Al-Ghozali mendfinisakan akhlak sebagai bentuk naluri asli dalam jiwa seorang manusia yang dapat melahirkan suatu tindakan dan kelakuan dengan mudah dan spontan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Perintah berbuat adalah sebuah manifestasi dalam kehidupan, begitu pentingnya peran akhlak dalam kehidupan Allah telah mencontohkan dalam kisah QS.Luqman ayat 14-16 kepada anaknya. “dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”. (QS. Luqman:14).
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan, bahwa jerih payah ibu dan penderitaannya dalam mendidik dan mengasuh anaknya, yang karenanya ia selalu berjaga sepanjang siang dan malamnya. Hal itu tiada lain untuk mengingatkan anak akan kebaikan ibunya terhadap dia. Penjelasan tafsir diatas menggambarkan nilai pendidikan akhlak tak bisa dikesampingan, karena akan berdampak bukan hanya pada diri anak tapi pada lingkungan sekitar.
Akhlak pada anak ini seolah menjadi musuh besar bagi orang tua, bagaimana tidak, tidak sedikit orangtua menangis karena tingkah laku anaknya yang tidak baik, tidak sedikit juga orangtua pusing stres gara-gara perbuatan buruk anaknya. Baik buruknya perilaku seorang anak akan mempengaruhi juga pada identitas orangtuanya. Maka sudah menjadi keharusan pendidikan akhlak menjadi skala prioritas disamping pendidikan tauhid diatas.
Sebagaiman dipertegas oleh Rosihon Anwar dalam karya monumentalnya Akhlak Tasawuf (2010:43) menyatakan bahwa, Islam telah menghubungkan secara erat antara akidah (tauhid) dan akhlak. Dalam Islam, akhlak bertolak dari tujuna-tujuan aqidah tauhid. Akidah merupakan barometer bagi perbuatan, ucapan, dengan segala bentuk interaksi sesama manusia berdasarkan keterangan al-qur’an dan as-sunnah. Sebaliknya akhlak tercela membuktikan ketidak-adaan iman (tauhid) tersebut. Pendidikan akhlak merupakan benang perekat yang merajut semua jenis pendidika diatas. Dengan kata lain semua jenis pendidikan harus tunduk pada kaidah-kaidah akhlak.
Pendidikan akhlak adalah sebuah pendidikan proses, maka dibutuhkan teladan waktu, kesabaran dann keteladanan dari orang tua yang tak mengenal lelah dalam mendidik kepada anak-anak kita. Buah dari pada menanam maka suatu saat akan merasakan manisnya budi pekerti etika dari karakter yang diharapkan.
Salah seorang guru bangsa Buya Hamka melalui bait-bait mutiaranya (2018:57) pernah mengatakan, jalan menuju bahagia bisa sukar tetapi bisa juga mudah, meskipun sekian banyak para ahli kita tidak mau terlalu berenang dalam khayal. Mari kita pilih yang paling pendek. Akan tetapi meskipun pendek, jangan lupa durinya banyak juga. Kalau tak banyak duri tentu tak terasa enaknya berburu. Kalau tau mau payah, suruh tangkap seekor ikan masukan dalam belanga, lalu kail saja, habis perkara. Secara tersirat ada sebuah nasihat bahwasanya untuk mendambakan anak yang mempunyai perangai, akhlak dan attitude yang baik maka dibutuhkanlah sebuah proses pendidikan. Penulis menyimpulkan, setidaknya ada dua indikator pengaruh pendidikan akhlak.
Pertama, pendidikan akhlak yang berpengaruh pada carracter building (pembentukan karakter) adalah dengan sikap teladan dari orangtuanya. Kesalahan terbesar bangsa ini adalah adanya rasa acuh dan cuek yang diperlihatkan para orangtua kepada anak-anaknya. Mereka tidak sadar selama 24 jam ada dalam pengawasan dan rekaman motortik seorang anak.
Kedua, pengaruh teman sebaya akan turut berkontribusi terhadap perilaku anak. Ucapan-ucapan yang disampaikan turut mengikuti apa yg disampaikan temennya. Tugas orang tua adalah mengenalkan dan mendekatkan dengan teman-teman yang memiliki karakter yang baik pula. Tidak aneh kalau Syekh Al-Jarnuzi dalam kitab Ta’lim Muta’alim menyebutkan bahwa teman yang perangainya buruk lebih berbahaya dari pada ular berbisa.
Ketiga, pendidikan ibadah (sholat), pendidikan yang memiliki makna yang paling luas tiada lain adalah mengerjakan sholat. Ary Nu’manu Chairi (2019:96) mengungkapkan, tanggung jawab manusia terhadap Tuhannya tmbul karena ia sadar akan keyakinan terhadap nilai-nilai yang ada dalam ajaran agamanya. Manusia bertanggung jawab terhadap kewajibannya menurut keyakinan agamanya.
Di dalam mengerjakan sholat manusia bukan saja dilatih secara ibadah fardlu, tetapi didalam sholat manusia diajarkan kedisiplinan, kesabaran, ketelitian, ketangkasan, kebersamaan, kesetiaan, kepatuhan dan kekompakan. Bahkan lebih dari itu di dalam sholat mengajarkan kerendahan hati mengakui perwujudan Tuhan dengan bersujud bentuk penghambaan diri.
Namun nyatanya banyak yang mengingkari itu semua, bentuk pengingkaran seperti inilah yang dikhawatirkan terlebih jika tertanam pada karakter anak-anak, nau’udzubillah. Chairul Anwar (2014:40) dalam hakikat manusia dalam pendidikan menyebutkan setidaknya ada dua faktor penyebab manusia dikatakan makhluk bertuhan.
Pertama, dikarenakan ketidakmampuan manusia dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya seperti kebutuhan keselamatan, ketenangan dan sebagainya. Kedua, melalui akalnya manusia mencoba untuk memahami dan menaklukkan alam ini, namun akal manusia tak mampu menaklukannya dengan sempurna. Penghambaan manusia sebagai mahkluk lemah menunjukan ketidakberdayaan tanpa adanya Tuhan. Maka sebagai bentuk pendidikan ibadah adanya ketaatan kepad Allah umat manusia mengedepankan etos kerjanya dengan melakukan bentuk perintahnya.
Sebagaimana perintah sholat merupakan bagian dari pendidikan karakter dipertegas oleh Allah dalam QS. Luqman ayat 17. “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. Jika merujuk pada ayat diatas sungguh berat tugas dan beban bagi setiap orangtua, bukan hanya mengejarkan dan mengerahkan agar anak melkasankan perintah sholat, lebih dari itu ada tanggung jawab besar yakni menjauhi dari perbuatan keji dan munkar.
Tentu ini berkolerasi, artinya anak yang taat melaksankan sholat, kecil kemungkinan ia akan melaksankan perbuatan keji/buruk. Sebaliknya, anak yang tidak melaksankan sholat besar kemungkinan ia akan terlibat dalam perkara-perkara tidak baik. Sebagaiman sdalam penjelasan diatas bahwa sholat merupkan kumpulan disiplin ilmu yang saling berkesinambungan dengan aspek kehidupan lainnya. Disinlah dibutuhkan peran orangtua yang tepat dan sabar kepada anaknya dalam memberikan nilai-nilai pendidikan ibadah.
Imam Al-Ghzali dalam prophetic parenting cara nabi mendidik anak (2010:46) mengatakan, anak adalah amanat di tangan kedua orangtuanya. Hatinya yang suci adalah mutiara yang masih mentah, belum dipahat maupun dibentuk. Mutiara ini dapat dipahat dalam bentuk apapun mudah condong kepada segala sesuatu. Apabila dibiasakan dan diajari dengan kebaikan, maka dia akan tumbuh dalam kebaikan itu. Dampaknya kedua orangtuanya akan hidup berbahagia di dunia dan di akhirat.
Penulis : Sopian Asep Nugraha, M.Pd
(Dosen STKIP Muhammadiyah Kuningan)