KUNINGAN (MASS) – Terbitnya Surat Edaran (SE) MenPAN-RB tentang Penghapusan Honorer, membuat 90 ribu anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) non ASN se Indonesia resah. Mereka memempertanyakan nasibnya sekaligus menilai pemerintah pusat tidak menjalankan amanat UU 23/2014 pasal 256.
Dalam dua hari ini, Sabtu (11/6/2022) dan Minggu (12/6/2022), mereka melakukan kajian dan konsolidasi di Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Seluruh perwakilan Satpol PP se Indonesia menjadikan Kuningan sebagai pusat konsolidasi guna merumuskan langkah selanjutnya.
Diawali Sabtu malam, perwakilan dari DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Banten berkumpul di Aula Kantor Sapol PP Kuningan. Hadir langsung Ketua Umum Forum Komunikasi Bantuan Polisi Pamong Praja Nusantara, Fadlun Abdillah. Hadir pula pengurus dari DKI Jakarta, Andreas dan dari Jawa Barat, Firman Taufik.
“SE MenPAN-RB membuat kami galau. Status anggota Satpol PP non ASN yang akan dialihkan jadi outsourcing akan kami tolak. Justru sesuai dengan amanat UU 23/2014 kami seharusnya diangkat jadi PNS,” tegas Fadlun.
Baca juga : https://kuninganmass.com/anggota-satpol-pp-berniat-lancarkan-aksi-seperti-212-di-monas/
Pihaknya akan meminta pemerintah pusat melalui komisi II DPR RI agar membuat regulasi khusus tentang pengangkatan PNS bagi satpol PP non ASN. Karena sebagai anak bangsa yang telah mengabdi lama, mereka berhak atas kesejahteraan.
“Dulu saja sekdes (sekretaris desa) yang tidak ada aturannya, bisa diangkat jadi PNS. Kami yang jelas-jelas diamanatkan undang-undang, masa tidak bisa,” tandasnya diamini Andreas dan Firman Taufik.
Dalam waktu dekat, aspirasi mereka akan disampaikan ke komisi II DPR RI. Surat ajuan audiensinya telah dilayangkan dengan ketentuan waktu Selasa (14/6/2022). Menurut Fadlun, komisi II wajib mendengarnya lantaran itu merupakan keinginan rakyat yang selaras dengan Pancasila sila ke 5.
“Pemerintah wajib menyejahterakan kami yang sudah mengabdi lama. Ada yang 15 tahun, 12 tahun mengabdi. Dan fakta di lapangan, yang banyak bertugas itu 80%nya non PNS. Itu terjadi di tiap daerah,” kata Fadlun.
Fakta di lapangan pula, pada saat terjadi insiden di Tanjung Priuk, 3 anggota satpol PP meninggal. Termasuk kejadian di Bekasi saat pembongkaran bangunan liar di Kalimalang, 15 orang satpol PP terluka.
Ketika masih pandemi, anggota satpol PP pun diterjunkan mengamankan perbatasan hingga kerap bermalam di jalanan. Tidak sedikit dari mereka yang ikut terkena covid. Namun, Andreas dari Bekasi menyayangkan, satpol PP tidak dilirik. Yang dilirik pemerintah pusat hanya tenaga kesehatan dan guru saja.
Dengan risiko dan beban kerja seberat itu, menurut Fadlun, membutuhkan jaminan kesejahteraan yang jelas. Ia merasa miris, satpol PP yang notabene penegak perda tunggal namun status dan jaminannya tidak jelas.
“Di Bekasi, ada satpol PP yang sampai pensiunnya tidak diangkat jadi PNS. Namanya Kong Serda. Beliau sampai tua dan sekarang pikun, nasibnya seperti itu. Kasihan,” ungkapnya.
Penghasilan satpol PP non ASN di tiap daerah kebanyakan jauh dari standar upah minimum. Ini dibenarkan oleh Firman Taufik dari Kota Bandung. Untuk itu, mereka sepakat PNS harga mati. Bahkan kalaupun mereka diangkat P3K, akan mereka tolak.
“Ya karena tidak sesuai dengan amanat UU,” tegas Fadlun. (deden)