KUNINGAN (MASS) – Langit Ciremai Institut (LCI) kembali menggelar ruang refleksi kritis melalui kegiatan bertajuk “Tempat Logika dan Nurani Berdialog”. Kegiatan berlangsung di Vila Kampung Gunung, Sabtu (23/8/2025).
Acara ini merupakan kelanjutan dari inisiatif Sekolah Politik Nitasastra, dan menjadi ruang pertemuan lintas disiplin bagi para pemikir, seniman, dan pemimpin lokal untuk menyelami isu-isu strategis terkait lingkungan, kebudayaan, seni, dan kepemimpinan di Kabupaten Kuningan.
Ketua Panitia, Ikhlasul Amalda, secara langsung memimpin jalannya forum tersebut. Ia menyebutkan pentingnya menciptakan ruang diskusi yang jujur dan terbuka, mengajak peserta untuk menyelaraskan antara logika dan hati nurani dalam menanggapi realitas sosial.
“Kami ingin menghadirkan ruang alternatif, di mana logika dan nurani tidak saling meniadakan, tetapi berdialog untuk melahirkan kesadaran bersama,” ujar Amalda.
Beberapa narasumber dihadirkan untuk memperkaya diskusi, Seperti M Indra Wiguna, aktivis lingkungan, mengungkapkan keprihatinannya atas kondisi alam Kuningan yang kian terancam.
“Kita tidak sedang kekurangan teori pelestarian, yang kurang adalah keberanian untuk bersikap. Lingkungan hidup bukan soal romantisme hijau, tapi soal keberlangsungan hidup manusia,” tegasnya.
Dari perspektif kebudayaan, Dadan Aminudin Latif, budayawan dan pemikir kebangsaan, menekankan bahwa kebudayaan harus dipahami sebagai kekuatan hidup, bukan sekadar peninggalan.
“Kebudayaan itu bukan masa lalu yang disimpan, tapi cara hidup yang terus kita rawat. Dalam budaya, ada logika lokal dan etika sosial yang bisa menjadi dasar kepemimpinan,” jelasnya.
Sementara itu, Wihendar, aktivis sosial dan pendidik alternatif, menyoroti aspek kepemimpinan yang sejati, yang menurutnya lahir dari keberanian bersikap dan berpihak.
“Kepemimpinan bukan seni menata pencitraan, tapi keberanian untuk mengatakan ‘tidak’ pada kemapanan yang menindas. Kita butuh pemimpin yang tahu kapan harus melawan arus demi kebenaran,” ungkapnya.
Nuansa diskusi semakin mengalir ketika Kang Ence Bagus, sutradara teater ternama asal Kuningan, memberikan sentuhan seni dalam refleksi sosial.
“Di Kuningan ini, kepemimpinan seringkali tampil layaknya drama. Aktor-aktornya piawai bermain peran, tapi lupa naskahnya ditulis oleh rakyat. Seni bisa menjadi cermin, bukan pelarian,” ujarnya.
Tak hanya sebagai forum wacana, kegiatan ini juga menjadi panggung ekspresi, tempat seni, nalar, dan nurani berpadu dalam harmoni, membentuk narasi kolektif tentang masa depan Kuningan yang lebih manusiawi dan berkesadaran.
Kegiatan ini mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan mulai dari akademisi, pelajar, seniman muda, hingga pemimpin komunitas.
LCI berharap forum tersebut dapat terus tumbuh menjadi agenda rutin yang menghidupkan ruang-ruang dialog sehat di tengah masyarakat. (didin)