KUNINGAN (MASS) – Suasana shalat Idul Adha di Pesantren Husnul Khotimah khusyuk dan sahdu, diselenggarakan di lapangan basket kompleks pesantren, 6 Juni 2025. Shalat Id yang dihadiri ribuan jamaah yang terdiri dari para pengurus yayasan, guru, pegawai, santri putra dan putri serta wali santri tersebut serasa seperti di Tanah Suci Makkah.
Suasana sahdu semakin terasa ketika khotib Idul Adha yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Rudi Wahyudi, M.A, yang merupakan alumni Husnul Khotimah angkatan ke-2 membawakan tema Momentum Mentarbiyah Diri Menjadi Generasi Tangguh dan Islami.
“Kita panjatkan segala puji kepada Allah yang telah memberikan kita kesempatan untuk merasakan kembali Idul Adha yang agung dan penuh makna ini. Kita memohon pertolongan dan ampunan-Nya, serta perlindungan dari kejahatan diri dan amal kita”.
Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Jika kita renungkan isi Al-Qur’an yang sering kita baca setiap hari, kita akan menemukan dua ayat menarik yang berkisah tentang mimpi dua orang Nabi, yakni Nabi Ibrahim dan Nabi Yusuf ‘alaihimassalām.
Keduanya adalah kisah ayah dan anak, guru dan murid, murabbi dan mutarabbi. Yang satu adalah mimpi Nabi Yusuf AS yang berkata, “Yā abati, innī ra’aytu aḥada ‘ashara kawkaban…”–“Wahai Ayahku, aku melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan sujud kepadaku.”
Yang satunya adalah kisah Nabi Ibrahim AS yang bermimpi menyembelih anaknya, lalu berkata, “Yā bunayya, innī arā fī al-manāmi annī adhbaḥuk…”—“Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku bahwa aku menyembelihmu.”
Uniknya, Allah menggunakan bentuk kata kerja fi‘il muḍāri‘ dalam menggambarkan mimpi Nabi Ibrahim—bukan menunjukkan bahwa ia hanya tidur, tapi ia masih ‘melihat’ dalam keadaan sadar. Ini menunjukkan betapa berat ujian itu. Ketika Nabi Yusuf bercerita dengan ringan sebagai anak kecil, Nabi Ibrahim menyampaikannya dengan beban jiwa seorang ayah yang sadar akan makna pengorbanan.
Jika kita meninjau dari sudut pandang pendidikan, kita akan mendapati satu hal menakjubkan: Nabi Ismail tumbuh tanpa kehadiran ayah secara fisik. Dalam dunia modern, ini disebut sebagai potensi gangguan psikologis. Tapi mengapa Ismail tetap teguh dalam akidah, tetap kuat dalam iman?
Jawabannya ada dalam satu kata kunci: mahabbah—kasih sayang ruhani yang dalam.
Ketika Nabi Ibrahim AS memanggil anaknya, beliau tidak berkata “ya Ismail”, tapi “yā bunayya”—panggilan lembut penuh kasih. Dan Ismail tidak membalas dengan amarah atau protes karena ditinggal, justru ia menjawab dengan panggilan mesra: “yā abati”, yang maknanya lebih dalam daripada “Abi”. Inilah cinta yang tidak bertepuk sebelah tangan.
Cinta ayah kepada anak. Cinta guru kepada murid. Cinta yang bersambut. Inilah ruh tarbiyah dalam Islam. Tarbiyah bukan hanya tentang transfer ilmu, tapi juga keterikatan jiwa. Bukan hanya pengajaran, tapi juga pembinaan dengan hati. Maka, selama cinta ini masih hidup, proses pendidikan akan terus berjalan, bahkan tanpa kehadiran fisik.
Sebaliknya, jika ruh tarbiyah ini hilang, maka lembaga pendidikan hanya menjadi sekolah asrama biasa. Bukan lagi pesantren, tapi hanya boarding school. Guru bukan lagi murabbi, hanya tenaga pengajar. Santri bukan lagi mutarabbi, hanya sekadar peserta didik.
Guru kami, almarḥūm al-maghfūrlah KH. Achidin Noor—semoga Allah merahmatinya—pernah berkata, “Meski jasad saya jauh, tapi hati saya selalu dekat dengan antum semua.” Itulah yang harus kita jaga: ikatan hati, bukan hanya kehadiran fisik.
Mudah-mudahan Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā menautkan hati kita semua dalam mahabbah kepada-Nya. Semoga kita dipersatukan bukan hanya oleh ruangan, tapi oleh cinta yang bersemayam dalam jiwa. Amin ya Rabbal alamin.***
KH Imam Nur Suharno
