KUNINGAN (MASS) – Pemilu di Indonesia selama ini bukan cuma soal demokrasi. Ia telah menjelma menjadi festival kekuasaan, tempat para pemain politik musiman, tim sukses lintas lini, hingga penjilat oportunis menggelar pesta lima tahunan. Dengan sekali gerak, mereka bisa mengatur calon presiden, legislatif, hingga kepala daerah, lalu memanen proyek dan jabatan sebagai balas jasa.
Namun putusan terbaru Mahkamah Konstitusi memutar haluan permainan tersebut. Pemilu nasional dan daerah kini harus dipisahkan. Bagi sebagian rakyat, hal itu merupakan harapan akan demokrasi yang lebih sehat. Bagi para bagong politik? Ini bisa jadi awal dari musim paceklik yang panjang.
Mahkamah Konstitusi (MK) resmi memutuskan pemilu nasional dan pemilu daerah harus diselenggarakan secara terpisah. Putusan itu disambut beragam tanggapan, tak hanya dari kalangan akademisi dan pemerhati politik, tetapi juga dari para bagong politik, istilah populer untuk tim sukses, pemain musiman, hingga para penjilat kekuasaan yang kerap mengambil keuntungan dari pemilu serentak.
Muhammad Hilman Asysyegav, mahasiswa jurusan Hukum asal Kuningan, menyatakan putusan itu merupakan langkah konstitusional penting untuk memperbaiki struktur demokrasi yang selama ini terlalu terkonsentrasi pada euforia lima tahunan.
“Selama ini, pemilu serentak membuka ruang yang terlalu luas bagi para aktor politik non-struktural untuk memainkan peran di balik layar. Banyak dari mereka hanya aktif saat musim pemilu, mengatur strategi lintas calon dari pusat sampai daerah demi kepentingan pribadi,” ujar Hilman Rabu (23/7/2025).
Ia menambahkan, dengan pemilu dipisah, iklim politik akan mengalami pergeseran signifikan. Para tim sukses yang biasa bermain paket, mengusung calon legislatif sekaligus kepala daerah. Menurutnya, hal itu akan kehilangan panggung besar. Pola kerja instan dan relasi transaksional akan sulit dipertahankan.
Pada sistem pemilu serentak, banyak figur yang secara pragmatis menempel pada kekuatan besar, menumpang popularitas calon presiden, lalu ikut memanen suara untuk caleg atau kepala daerah. Begitu pemilu berakhir, mereka lenyap dari ruang publik. Hilman menyebut itu sebagai siklus muncul hilang para bagong politik yang merusak etika demokrasi.
“Dengan pemilu dipisah, tidak ada lagi efek ekor jas yang bisa ditunggangi seenaknya. Setiap level pemilu akan menuntut kerja politik yang lebih spesifik dan berkelanjutan. Artinya, hanya yang benar-benar serius dan punya basis kerja nyata yang bisa bertahan,” jelasnya.
Tak kalah menarik, menurut Hilman, dampaknya terhadap para penjilat politik yang biasanya bergerak lincah mengikuti arah angin. Dalam sistem lama, mereka bisa berpindah-pindah dukungan secara strategis dalam satu siklus besar. Kini, dengan pemilu terpisah, dinamika kekuasaan akan lebih terpecah dan cair.
“Para pemburu proyek dan jabatan yang biasa bermain di balik nama besar satu koalisi akan kesulitan membaca peta kekuasaan secara utuh. Pemisahan ini bisa mempersempit celah-celah kompromi gelap yang biasa terjadi antara pusat dan daerah,” ujarnya.
Putusan MK tersebut tidak langsung berlaku untuk Pemilu 2024, namun akan menjadi dasar hukum untuk pemilu selanjutnya. Pemerintah, KPU, dan Bawaslu diberi waktu untuk menyiapkan peraturan teknis serta sosialisasi luas.
“Langkah MK ini konstitusional, tapi implementasinya harus dikawal ketat agar tidak dibajak oleh elite yang justru ingin mempertahankan status quo dalam bentuk baru,” pungkasnya. (argi)
