KUNINGAN (MASS) – Coba bayangin, ada keputusan resmi, sah, sudah lewat proses panjang, terus tiba-tiba dibatalin cuma gara-gara “selera” pemimpin baru. Absurd kan? Nah, inilah yang lagi terjadi di Kuningan soal drama Open Bidding (OB) Sekda.
Tahun 2024, di era Pj Bupati Iip Hidajat, OB Sekda sudah selesai, tiga nama sudah keluar. Prosesnya sah, legal, bahkan pakai duit pajak r rakyat. Tapi begitu masuk era Bupati baru, Dr. H. Dian Rachmat Yanuar, hasilnya… dibatalkan. Dan dengan enteng, OB baru dibuka lagi tahun 2025.
Ironisnya, tiga nama lama tetap bisa ikut. Menurut aku si, jika pak bupati keukeuh OB baru, ke 3 nama itu tidak akan lolos seleksi, buktikan sajah nanti biarkan waktu yang akan menjawabnya.
Untuk gen-z yang nanti baca tulisan ini supaya gampang dipahami, bayangkan begini: Presiden Jokowi bangun IKN di Kalimantan, sudah keluar triliunan rupiah. Terus pas Prabowo naik, dia bilang:
“Nggak jadi ah, saya bikin IKN baru aja di Aceh.”
Apa reaksi publik?
Bukan cuma soal setuju atau nggak, tapi ini jelas buang-buang duit pajak rakyat, bikin nggak pasti, dan nunjukin kepemimpinan gampang goyah.
Hal yang sama terjadi di Kuningan. OB Sekda yang sah dibatalin, lalu dibuka ulang. Kalau ujung-ujungnya tiga nama lama yang muncul lagi, ya sama aja kayak ngakuin OB 2024. Jadi, kenapa harus muter-muter?
OB Sekda = Formalitas Politik? Dari sini publik gampang baca: OB Sekda ulang cuma formalitas. Panggung sandiwara birokrasi yang makan biaya, buang energi, tapi ending-nya udah diskenariokan.
Bupati harusnya pakai momen OB buat nunjukin kepemimpinan visioner, konsisten, tegas. Eh yang terlihat malah sebaliknya: plin-plan, tarik-ulur kepentingan.
Kenapa Publik Wajib Peduli?
“Masalah ini bukan semata soal siapa yang akan duduk sebagai Sekda. Bagi saya, ini soal hak berbicara sebagai warga sekaligus pembayar pajak. Setiap kali saya ngopi, nyemil, atau sekadar nongkrong di warung dan kafe, pemerintah daerah memungut pajak dari makanan dan minuman yang saya beli. Artinya, uang pajak saya ikut membiayai jalannya pemerintahan. Karena itu wajar bila saya bersuara, sebab kebijakan yang diambil bukan hanya berdampak pada birokrasi, tapi juga pada kami rakyat yang setiap hari menyumbang lewat pajak.”
Wibawa pemerintahan yang dipertaruhkan, kredibilitas birokrasi yang diacak-acak. Kalau publik diam, drama kayak gini bakal terus di-repeat dengan wajah berbeda tapi pola sama: batalin kemudian ulangi terus buang anggaran.
OB Sekda hari ini jadi cermin rapuhnya arah pikir pemimpin daerah. Kritik ini bukan buat menjatuhkan, tapi buat jaga marwah tata kelola pemerintahan. Karena jujur aja, Kuningan nggak butuh drama kayak sinetron sore. Kuningan butuh pemimpin yang konsisten, transparan dan bermartabat
Penulis : Agustia Pratiwi (GenZ yang resah dengan situasi Kuningan)
