KUNINGAN (MASS) – Stunting bukanlah sebuah permasalahan baru bagi dunia bahkan Indonesia. Negeri ini menargetkan 14% prevalensi stunting di tahun 2024. Hal ini sepertinya menjadi PR besar bagi pemerintah. Pasalnya prevalensi stunting di tahun 2022 masih berada di angka 21,6%. Artinya Pemerintah harus menurunkan kembali 7,6% agar target 14% tercapai atau 3,8% per tahun.
Secara nasional prevalensi stunting menurun sejak tahun 2019 sampai tahun 2022 sebesar 6,1%. Ironisnya dari penurunan prevalensi stunting tercium adanya manipulasi data dari Pemda. Anak usia 5 tahun tidak lagi dimasukkan ke dalam database, padahal stunting bisa terjadi sampai usia remaja (cnnnews.com, 6/4/2023). Kemudian ada peningkatan prevalensi stunting dibeberapa daerah bahkan dikatakan sebagai wilayah miskin ekstrim. Yang sebenarnya berkolerasi antara kemiskinan dan stunting pada anak.
Kabupaten Kuningan misalnya, yang merupakan Kabupaten miskin ekstrim ke-dua di Jawa Barat. Prevalensi stunting-nya meningkat pada tahun 2022 sebesar 1,25% dari semula 5,35% menjadi 6,6%. Dengan perhitungan ada 4.798 balita stunting dari jumlah total 72.169 balita yang diukur (kejakimpolnews.com, 10/1/2023).
Tentunya untuk menurunkan prevalensi stunting agar sesuai target yang ditetapkan dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Pemerintah melakukan berbagai upaya. Salah satunya meminta kepada seluruh daerah untuk memfokuskan penurunan stunting melalui intervensi gizi. Hal ini tertuang dalam Perpres nomor 72 tahun 2021.
Sebenarnya apa intervensi gizi dan apakah ini solusi tepat untuk menurunkan prevalensi stunting di negeri ini?
Stunting dan Intervensi Gizi
Dikutip dari Perpres nomor 72 tahun 2021, stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak di bawah standar kesehatan akibat kekurangan gizi dan infeksi yang berulang sehingga mengakibatkan dampak jangka pendek maupun panjang.
Penyebab utama terjadinya stunting pada anak adalah asupan gizi yang kurang kemudian ditunjang dengan keadaan keluarga dan lingkungan. Misalnya kemiskinan, kurangnya pengetahuan masyarakat akan kesehatan ibu hamil dan menyusui, terbatasnya akses kesehatan yang dibutuhkan, kurangnya air bersih dan sarana sanitasi.
Dilansir dari klikdokter.com stunting pada anak akan terlihat pada usia 2 tahun. Jika tidak segera diatasi akan berlanjut ke usia remaja dan dewasa. Maka program intervensi gizi harus segera dilakukan, guna tidak menambah parahnya stunting pada anak.
Intervensi gizi ini merupakan serangkaian kegiatan dan atau upaya untuk memperbaiki gizi pada individu ataupun populasi. Ada dua intervensi yang harus segera dilakukan agar tercapainya target 14% prevalensi stunting.
Pertama, intervensi gizi spesifik yang titik fokusnya adalah kegiatan secara langsung yang mencakup kesehatan seperti asupan makanan bergizi pada anak dan ibu hamil dan menyusui, penanganan infeksi, penanganan dan pencegahan penyakit menular dan kesehatan lingkungan.
Kegiatan yang dilakukan berupa pembagian pangan bergizi untuk ibu hamil dan keluarga miskin, pemberian tablet penambah darah, bimbingan dan konseling bagi ibu hamil, menyusui dan pasca melahirkan, MPASI, dan lain sebagainya. Dengan kelompok sasarannya adalah anak-anak usia 0-59 bulan, remaja putri, perempuan (ibu) baik yang hamil maupun menyusui, dan wanita usia subur.
Kedua, intervensi gizi sensitif yaitu kegiatan yang memerlukan kerjasama dengan berbagai pihak instansi. Karena berada di luar kesehatan. Sehingga tidak hanya Kemenkes tapi juga Kementan hingga sampai kepada instansi-instansi daerah.
Kegiatan ini bisa berupa penyediaan air bersih dan sarana sanitasi, peningkatan akses kesehatan, penyediaan panganan bergizi, bantuan langsung tunai dan peningkatan kesadaran pengasuhan, dan lain sebagainya.
Dalam anggaran tahun 2022 pemerintah mengalokasikan dana Rp44,8 triliun atau sekitar 58% dari anggaran sebelumnya sebesar Rp77 triliun untuk mendukung Program Percepatan Pencegahan Stunting. Sayangnya dana yang telah dialokasikan untuk penanganan sunting tahun 2021 hanya Rp34 triliun yang betul-betul terserap ke sasaran langsung. Ini menandakan bahwa ada ketidakefektifan dalam penanganan stunting dengan anggaran yang tidak sedikit.
Akar Permasalahan
Jika kita melihat bahwa penyebab stunting adalah asupan gizi pada anak maka hal ini akan berkolerasi dengan keadaan keluarga dan lingkungan. Kebanyakan keluarga yang memiliki permasalahan stunting pada anaknya dalam keadaan kekurangan, baik secara finansial maupun keilmuan.
Maka tidak cukup hanya memberikan asupan gizi bagi anak setiap satu bulan sekali di saat posyandu atau bantuan langsung tunai yang hanya diterima 3 bulan sekali. Faktanya masyarakat hidup setiap hari, memerlukan makanan dan minuman untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya pun setiap hari. Begitupun dengan sarana dan prasarana yang mendukung, seperti sanitasi dan air bersih. Nyatanya masih ada wilayah yang kekurangan air bersih, melakukan MCK di kali sungai. Jika pun ada air bersih, masyarakat harus membayar dengan sejumlah uang yang tidak sedikit.
Begitu miris dan ironis jika melihat anggaran yang fantastis tapi nyatanya masyarakat meringis.
Apa akar dari permasalahannya?
Intervensi gizi pada akhirnya memerlukan kerjasama dengan banyak pihak. Karena sebenarnya masalah stunting merupakan masalah sistem yang kompleks. Dalam sistem kepemimpinan kapitalisme tidak menutup kemungkinan akan bekerjasama dengan pihak swasta untuk pelaksanaan pengadaan sarana maupun prasarana dalam menunjang program penurunan prevalensi stunting.
Sebuah contoh, meskipun Kabupaten Kuningan memiliki banyak titik sumber air namun nyatanya untuk mendapatkan air bersih, masyarakat harus membayar mahal. Karena dalam pengelolaannya bekerjasama dengan pihak swasta yang hanya menginginkan keuntungan tanpa melihat dampak yang dirasakan bukan karena kemaslahatan masyarakat.
Oleh karena itu mengatasi stunting harus disentuh akar permasalahannya, yaitu sistem kepemimpinan.
Saat ini sistem kapitalisme-lah yang memimpin baik di negeri ini maupun negeri-negeri lainnya. Sistem ini berlandaskan pada asas manfaat. Tidak heran jika untung rugi yang akan dilihat dalam mengeluaran kebijakan. Peran negara hanya sebagai regulator untuk para pengusaha bukan sebagai pelayan rakyat.
Tidak hanya itu, pemisahan agama dari kehidupan pun menjadi pondasi bagi sistem kapitalisme dalam menentukan arah kebijakan. Maka wajar akan terjadi banyak kekacauan karena berasal dari akal manusia yang serba terbatas.
Islam Solusi Tepat atasi Stunting
Seperti yang sudah dijelaskan bahwa stunting adalah permasalahan sistem maka penyelesaiannya pun harus dengan sistem. Jika kapitalisme tidak mampu menyelesaikan permasalahan stunting dengan baik maka harus mencari solusi lain.
Satu-satunya solusi yang tepat dan baik adalah sistem Islam. Karena Islam merupakan sebuah ideologi yang mencakup dua akidah, yaitu akidah ruhiyah dan syiyasiyah. Sehingga tidak hanya aspek ibadah semata yang disentuh oleh Islam namun juga aspek politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan, hukum dan sosial. Semuanya memiliki aturan yang berasal dari Al Haliq wa Al Mudabbir. Yaitu Allah SWT.
Dalam Islam kebutuhan pokok masyarakat dijamin pemenuhannya dengan baik oleh negara. Tidak hanya masalah kebutuhan pokok ekonomi namun kebutuhan kesehatan bahkan sampai pendidikan pun akan dipenuhi. Sehingga masyarakat tidak terbebani dengan berbagai masalah misalnya biaya yang mahal, langkanya barang ekonomi, tidak adanya obat-obatan, alat kesehatan yang kurang memadai dan lain sebagainya.
Negara sebagai pelayan masyarakat akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengurus rakyatnya secara keseluruhan. Tidak memihak kepada kepentingan pribadi yang menyengsarakan dan menimbulkan kekacauan di tengah-tengah masyarakat. Karena negara bukan sebagai regulator bagi pengusaha atau individu tertentu.
Bagaimana cara Islam mengaturnya?
Negara akan mengatur masalah ekonomi sesuai dengan hukum syarak. Dimana hukum syarak telah mengatur masalah perolehan kekayaan, pengelolaan kekayaan yang dilakukan oleh masyarakat dan pendistribusian kekayaan di tengah-tengah masyarakat.
Islam mengatur kepemilikan harta kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Meskipun demikian Islam tidak membatasi kepemilikan harta kekayaan individu, bahkan Islam menganjurkan untuk dikembangkan sesuai dengan hukum syarak.
Dari segi keberadaannya, harta kekayaan yang ada sebenarnya terdapat dalam kehidupan ini secara alamiah. Allah SWT telah menciptakannya untuk diberikan kepada manusia dan dikelola oleh manusia. Sebagaimana dalam Firman-Nya:
هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا ثُمَّ اسْتَوٰٓى اِلَى السَّمَاۤءِ فَسَوّٰىهُنَّ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ ۗ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu, kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (TQS. Al-Baqarah 2:29)
Kemudian negara menjadikan harta kekayaan yang Allah SWT titipkan menjadi tiga bagian.
Pertama, harta kepemilikan negara diperoleh dari ghanimah, jizyah, dan kharaj yang pengelolaanya diserahkan kepada Khalifah.
Kedua, harta kepemilikan umum adalah semua aset yang dimiliki baik berupa sarana dan prasarana maupun sumber daya alam. Kepemilikannya tidak bisa dikuasai oleh individu maupun kelompok masyarakt dengan pengelolaan dilakukan khalifah sebagai wakil masyarakat. Hasil dari pengelolaan ini akan dinikmati oleh masyarakat seluruhnya.
Ketiga, harta kepemilikan individu yang memiliki sebab dalam kepemilikannya diantaranya, bekerja, warisan, hibah, kompensasi, kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup yaitu dengan bekerja namun jika tidak mampu bekerja maka kewajiban negara memberikan pekerjaan untuknya, dan pemberian negara.
Sehingga kebutuhan ekonomi masyarakat seluruhnya terjamin selama berada dalam kewarganegaraan daulah Islam tanpa memandang agama yang dianutnya. Karena untuk masalah akidah ruhiyah negara menyerahkan kepada masing-masing individu tanpa adanya paksaan untuk masuk ke dalam akidah ruhiyah Islam.
Jika hari ini menginginkan masalah stunting teratasi dengan baik dan benar dalam jangka pendek, menengah maupun panjang, maka terapkan sistem Islam di seluruh aspek kehidupan.
Wallahu’alam bishshawaab
Penulis : Nengani Sholihah
(Ibu Rumah Tangga)