KUNINGAN (MASS) – Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) baru-baru ini mengeluarkan Permendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025 yang kembali mewajibkan kegiatan ekstrakurikuler Pramuka di sekolah. Kebijakan ini menarik perhatian banyak kalangan, terutama di tengah tantangan pendidikan karakter yang semakin mendesak. Meskipun bagi sebagian orang terlihat seperti pengulangan kebijakan lama, keputusan ini dianggap langkah strategis yang relevan dengan kebutuhan zaman.
Selama bertahun-tahun, pendidikan karakter sering kali menjadi jargon kosong yang sulit diwujudkan. Di ruang kelas, karakter diajarkan melalui buku dan slogan, tanpa adanya praktik nyata. Hal tersebut pun mendapatkan atensi khusus dari aktivis pramuka Kuningan, Irwan Setiawan.
“Padahal, karakter tumbuh bukan dari teori, melainkan dari kebiasaan, pengalaman, dan interaksi sosial,” tutur Irwan Setiawan, anggota Pramuka Kuningan, baru-baru ini.
Permendikdasmen 13/2025 menegaskan bahwa pendidikan tidak hanya berkaitan dengan akademik. Sekolah memiliki tanggung jawab untuk membentuk siswa menjadi pribadi utuh yang tidak hanya pintar secara akademis, tetapi juga mampu bersikap baik. Salah satu cara terbaik untuk mencapai tujuan ini adalah melalui kegiatan ekstrakurikuler seperti Pramuka, yang menawarkan pengalaman langsung.
Bagi generasi sebelumnya, Pramuka mungkin diingat sebagai kegiatan upacara dan kemah. Namun, lebih dari sekadar nostalgia, Pramuka adalah ruang belajar untuk memimpin, bertanggung jawab, dan bekerja sama. Kegiatan kepramukaan memungkinkan siswa untuk tidak hanya belajar nilai-nilai, tetapi juga mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Yang menarik, lanjutnya, peraturan ini memberikan fleksibilitas kepada sekolah untuk menyelenggarakan bentuk kepanduan yang sesuai dengan konteks dan kebutuhan masing-masing. Inovasi diperbolehkan, asalkan nilai-nilai utama Pramuka tetap terjaga. Ini membuka peluang bagi sekolah untuk beradaptasi dengan budaya dan lingkungan lokal.
Namun, masih kata Irwan, tantangan dalam implementasi kebijakan ini tidak dapat diabaikan. Banyak sekolah yang belum memiliki pembina Pramuka yang aktif, fasilitas yang memadai, dan waktu belajar yang cukup. Keterpaksaan untuk menjalankan kebijakan ini tanpa dukungan yang memadai akan menciptakan ketidakadilan bagi sekolah.
Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa sinergi antara pemerintah daerah, pusat, dan masyarakat sangat diperlukan. Pemerintah harus hadir dalam bentuk pelatihan untuk pembina, pendanaan, dan monitoring berkala. Selain itu, guru dan tenaga pendidik perlu diberikan ruang untuk mengembangkan kegiatan kepanduan yang inovatif, tidak terjebak pada metode yang sudah usang.
Pramuka bukan sekadar kegiatan ekstrakurikuler, tetapi merupakan investasi untuk masa depan generasi muda. Mereka harus belajar memimpin, menghadapi kegagalan, dan peduli pada sesama. Dengan mengembalikan Pramuka ke dalam kurikulum, pemerintah berupaya menyiapkan manusia seutuhnya, bukan sekadar lulusan yang mampu mengerjakan soal.
“Tujuan pendidikan bukan hanya untuk membuat manusia pintar, tetapi juga untuk membuatnya mampu hidup baik dalam masyarakat,” pungkas Irwan Setiawan. (raqib)
