KUNINGAN (MASS) – Kabupaten Kuningan tengah dilanda krisis kepercayaan publik terhadap sistem keuangan lokal. Setelah secara berturut-turut Bank BRI Kuningan diguncang dua kasus fraud—pembobolan dana melalui kredit fiktif oleh Kepala BRI Unit Cigugur dan kemudian oleh Kepala BRI Unit Ciawigebang—kini publik kembali dibuat terkejut. Kali ini, giliran Bank BJB Kuningan yang menjadi sorotan, setelah terungkap dana nasabah prioritas raib hingga Rp12,5 miliar dalam hitungan awal. Investigasi awal menunjukkan bahwa pelakunya adalah oknum pegawai internal bank, yang memanfaatkan akses dan kepercayaan untuk mengalihkan dana nasabah tanpa izin.
Parahnya, kasus ini mencuat ditengah situasi yang sudah genting. Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan sejak akhir 2022 mengalami gagal bayar (Pemda memilih frasa ‘tunda bayar’) terhadap berbagai kewajiban anggaran. Hingga pertengahan 2025, kondisi tersebut belum sepenuhnya teratasi. Di saat yang sama, Pemda justru mengajukan pinjaman baru senilai Rp95 miliar ke Bank BJB Kuningan.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran baru: Bank BJB Kuningan kini berada dalam tekanan berlapis—antara tuntutan menyelamatkan kepercayaan publik, memulihkan sistem pengawasan internal, dan di sisi lain harus tetap menopang likuiditas pinjaman besar kepada Pemda.
“Kombinasi fraud internal, tunda bayar pemda, dan beban pinjaman besar merupakan tekanan yang sangat berbahaya bagi stabilitas keuangan bank daerah. Jika tidak ditangani dengan cepat dan transparan, bukan hanya reputasi bank yang hancur, tapi juga bisa berdampak sistemik terhadap iklim investasi dan keuangan di daerah,” ujar Ikhsan Marzuki, mantan Account Officer Kredit Sindikasi dan Korporasi Bank Nasional.
Menurut Ikhsan, industri perbankan seharusnya menjadi yang paling ketat dalam sistem pengawasan. Ada dual control, audit internal, satuan kerja kepatuhan, teknologi enkripsi, hingga pengawasan langsung dari regulator seperti OJK dan BI. Namun fakta bahwa pembobolan dilakukan oleh pegawai sendiri justru mengungkap celah paling dalam: kegagalan moral dan lemahnya deteksi dini dalam sistem pengawasan internal.
“Fraud oleh pegawai bukan semata kesalahan individu, ini indikasi bahwa pengawasan, pembinaan etika, dan kultur integritas di internal bank sudah lemah. Sistem bisa canggih, tapi kalau satu orang bisa punya akses terlalu luas tanpa kontrol, itu bom waktu,” jelas Ikhsan yang juga eks-Tenaga Ahli Financial Management Report dalam program nasional yang dibiayai Bank Dunia.
Kerugian yang Tak Sekadar Nominal
Dalam konteks lokal, Ikhsan menjelaskan potensi kerugian bukan hanya dalam bentuk hilangnya dana nasabah. Ada potensi risiko berantai yang mungkin timbul:
1. Nasabah panik dan menarik dana besar-besaran (rush).
2. Kepercayaan publik terhadap sistem keuangan daerah anjlok.
3. Investor dan mitra keuangan kehilangan kepercayaan terhadap stabilitas fiskal daerah.
4. Bank dipaksa menutup kerugian dengan dana cadangan yang semestinya digunakan untuk ekspansi dan mendukung pinjaman produktif.
Apalagi, Bank BJB bukan lembaga biasa. Ia adalah mitra utama keuangan Pemda Kuningan, termasuk dalam pengelolaan APBD dan distribusi anggaran publik.
“Bayangkan jika dana publik atau gaji ASN terancam karena bank sedang berjuang menutup kerugian akibat fraud. Itu bukan cuma krisis keuangan, tapi bisa jadi krisis sosial,” tegas Ikhsan.
Resiko Semakin Dalam: Pinjaman Daerah dalam Tekanan
Kondisi semakin pelik karena pada tahun 2025 ini, Pemda Kuningan mengajukan pinjaman sebesar Rp95 miliar ke Bank BJB Kuningan. Di satu sisi, Pemda belum menyelesaikan masalah gagal bayarnya sejak 2023. Di sisi lain, Bank BJB justru harus menghadapi beban tambahan untuk memulihkan kerugian dana nasabah akibat fraud.
Konflik kepentingan dan tekanan likuiditas berlapis ini menimbulkan pertanyaan: sejauh mana bank bisa bertahan? Dan siapa yang akan menanggung jika keduanya gagal?
Menurut Ikhsan, solusi jangka pendek dan panjang harus segera dijalankan:
1. Audit investigatif menyeluruh oleh pihak independen.
2. Reformasi sistem kontrol dan evaluasi gaya hidup pegawai.
3. Penguatan sistem whistleblower dengan jaminan perlindungan.
4. Pembatasan otorisasi transaksi satu pintu untuk mencegah penyalahgunaan akses.
5. Peninjauan ulang tata kelola pinjaman daerah agar tidak memperburuk risiko sistemik.
“Sebagai salah satu pemegang saham, ini saatnya Pemda dan perbankan daerah duduk bersama dan membangun kembali kepercayaan publik. Jangan tunggu sampai kepercayaan benar-benar hilang, karena biaya membangunnya kembali jauh lebih mahal dari sekadar kerugian miliaran rupiah,” pungkas Ikhsan.
Kasus ini menjadi alarm bagi seluruh pemangku kepentingan. Ketika bank dan pemerintah daerah sama-sama terjebak dalam krisis manajemen, maka yang dirugikan bukan hanya satu lembaga—tetapi seluruh rakyat yang menggantungkan masa depannya pada sistem keuangan yang seharusnya terpercaya.
Di tengah gempuran masalah, hanya dua hal yang bisa menyelamatkan: transparansi dan keberanian melakukan perubahan. Jika tidak, bukan mustahil, kepercayaan publik di Kuningan runtuh bukan oleh serangan dari luar, tapi oleh kelalaian dari dalam. (deden)