KUNINGAN (MASS) – Pernyataan Uus Yusuf, SE –Bebeb Jius panggilannya- anggota Komisi 3 DPRD Kabupaten Kuningan, mengenai penyebab longsornya lereng Gunung Ciremai, mendapat tanggapan keras dari Ketua Harian Gerakan KITA, Miftah Faridl yang biasa disapa Abah Iip. Menurutnya, pernyataan anggota dewan tersebut menunjukkan ketidaksungguhan dalam memahami fakta di lapangan dan terkesan menjadi tameng bagi kepentingan investor.
“Lucu dan menyedihkan. Beliau bilang longsor akibat kohe (kotoran hewan), padahal faktanya di jalur longsor tidak ada peternakan sapi. Jalur kohe dan jalur longsor itu beda tempat, jangan buat opini ngawur,” tegas Abah, Rabu (28/5/2025).
Menurutnya, justru pernyataan bahwa longsor sudah ada sebelum proyek Arunika menjadi blunder besar.
“Kalau tahu daerah itu rawan longsor, kenapa dibiarkan pembangunan dilakukan secara masif di sana? Ini malah seolah mau lepas tangan dari tanggung jawab,” ujarnya.
Lebih lanjut, Abah Iip yang juga aktivis pecinta alam di Mapala Gunati Cirebon, menyoroti alasan Uus terkait kebocoran pipa PDAM sebagai penyebab longsor.
“Pipa itu kecil, hanya berdiameter sekitar 10 cm. Dari pantauan kami, justru pipa itu tertimpa batu longsoran, bukan penyebab longsor. Jangan akal-akalan publik pakai dalih teknis yang dibuat-buat,” tambahnya seraya meminta PDAM untuk merespon tudingan anggota dewan tersebut.
“Ayo PDAM bicara, jawab dan beri klarifikasi atas tudingan itu agar publik bisa menilai, mana yang ngawur mana yang benar,” imbuhnya.
Abah Iip juga mengecam sikap politis anggota dewan yang tampaknya lebih sibuk melindungi investor ketimbang menyuarakan keluhan masyarakat.
“Kalau hanya ingin menutupi kenyataan demi kepentingan politik dan relasi modal, Anda layak dipertanyakan integritasnya sebagai wakil rakyat. Anda lebih cocok disebut juru bicara perusahaan, bukan juru bicara rakyat,” singgungnya.
Tak hanya Uus, Abah Iip juga menyoroti penggiringan opini oleh pihak lain yang disebut sebagai pakar, ahli, bahkan aktivis lingkungan yang seharusnya berdiri di sisi kebenaran dan keberlanjutan.
Ia mengutip sindiran tajam dari Juhartono alias Avo, aktivis senior lingkungan yang menyampaikan ironi terhadap penyebab longsor menurut “pakar dan ahli” yang menyalahkan segala hal — dari cuaca ekstrim, pipa bocor, lereng curam, hingga kotoran hewan — namun satu hal yang tidak pernah disebut: proyek pembangunan Arunika.
“Ini sindiran yang cerdas dan menyentil. Ketika semua hal bisa disalahkan, tapi Arunika yang jelas-jelas menggali, membelah, mengepras dan membangun di bibir lereng tidak pernah disebut. Seolah mereka kebal dari tanggung jawab,” tutur Abah.
Abah Iip menegaskan bahwa mereka tidak anti investasi. Namun, investasi yang mengorbankan keselamatan lingkungan dan masyarakat hanya akan membawa bencana jangka panjang.
“Kami tidak menolak pembangunan. Tapi ingat, eksplorasi bukan berarti eksploitasi. Silakan eksplorasi alam, tapi jaga keseimbangan ekologinya. Jangan serakah. Jangan jadikan pegunungan sebagai korporasi tanpa nyawa,” tegasnya.
Dia menyerukan semua pihak untuk kembali ke prinsip dasar pembangunan yang berkelanjutan.
“Ekologi dan ekonomi harusnya bisa berjalan beriringan. Tapi kalau wakil rakyat sudah lupa siapa yang mereka wakili, maka sudah waktunya rakyat bersuara lebih keras,” pungkas Abah.
Bantah Dalih Kohe: Longsor Bukan Salah Sapi
Untuk memperjelas letak masalah, Abah Iip bersama tim pemantau dari Gerakan KITA dan aktivis lingkungan lainnya menyajikan bukti spasial. Dalam citra peta yang sudah tersebar ditunjukkan dua titik longsor (Titik 1 dan Titik 2) yang berada tepat di bawah kawasan pembangunan proyek Arunika. Kedua titik ini ditandai dengan koordinat akurat berdasarkan pengamatan lapangan.
Sementara itu, jalur aliran kotoran hewan (kohe) justru berada jauh di sisi kanan lokasi longsor. Secara visual, garis merah muda mewakili aliran Kohe, dan jelas tidak bersinggungan dengan lereng yang longsor.
Longsor Bukan Karena Kohe!
“Titik longsor berada jauh dari jalur aliran kotoran hewan. Jadi siapa yang sebenarnya harus bertanggung jawab? Alam tidak berbohong. Peta ini menelanjangi upaya pengalihan isu oleh pihak-pihak yang membela pembangunan Arunika secara membabi buta,” kata Abah.
Dengan ini, lanjutnya, publik bisa menilai sendiri: apakah masuk akal menyalahkan peternak sapi, sementara aktivitas pemotongan lereng, pembukaan lahan besar-besaran, dan pembangunan masif dilakukan tepat di atas titik longsor?
“Dari citra peta tersebut juga tampak jelas adanya aktivitas pembangunan di lereng gunung. Informasi yang sampai kepada tim, bangunan tersebut direncanakan untuk hotel 2 atau 3 tingkat. Dengan beban statis seperti itu sampai sejauh mana lereng Gunung Ciremai mampu menahannya?” ujarnya mempertanyakan.
Ia menegaskan, jika wakil rakyat dan para “pakar” masih mencoba menutupi kebenaran dengan narasi-narasi yang mencederai logika publik, maka bukan hanya integritas mereka yang patut dipertanyakan—tapi juga komitmen mereka terhadap keselamatan dan kelestarian lingkungan. (eki)
