KUNINGAN (MASS) – Seleksi kepala sekolah tingkat TK SD sampai SMP di Kabupaten Kuningan, dipertanyakan oleh para peserta karena prosesnya dianggap tidak terbuka.
Muhammad Rofii misalnya, salah satu peserta yang lolos seleksi administrasi, mengaku heran kenapa proses seleksi yang sudah punya sistem, tapi terksan tidak transparan.
“Dalam perjalanannya, kami para kandidat yang mengikuti proses ini, mendapatkan ketidakadilan, jadi tidak ada transparansi dalam hal rekruitmen disini,” keluh Rofii, Rabu (9/7/2025).
Diceritakannya, ia yang sudah lolos seleksi administrasi, harusnya masuk ke tahapan selanjutnya yakni seleksi substansi. Namun ia mengaku tidak memperoleh informasi adanya pengumuman terbuka apakah lolos atau tidak. Dan di sistem pun keterangannya bervariasi.
Ia justru kaget ketika mendengar kabar dari beberapa rekan peserta, tiba-tiba berangkat ke Bandung, dan konon tengah melakukan tahapan seleksi berikutnya, seleksi substansi. Keluhan ini tidak hanya dirasakan Rofii seorang diri, beberapa peserta lain juga ternyata banyak mengalami hal yang sama.
“Kami atas nama BCKS menginginkan kejelasan kepada pihak terkait, kira-kira sebetulnya bagaimana (prosesnya)? apa ini by sistem, atau ada aturan lain yang mengikuti menyusul sehingga pada akhirnya membiaskan aturan sebelumnya (seleksi yang sudah berjalan),” ujarnya.
“Kalo kita tidak lulus harusnya disampaikan alasannya. Bahkan di sistem tidak ada keterangan. Kami mempertanyakan hal tersebut. Kalo lah itu ada aturan yang mengikat dan aturan baru, tolong disampaikan kepada kami supaya tidak ada penafsiran-penafsiran negatif dari para peserta khususnya dan masyarakat umum yang memantau kegiatan ini,” imbuhnya.
Selain soal tahapan, yang disayangkan Rofii juga soal adanya kesalahan data pada profil identitas di sistem, yang diduga mempengaruhi apakah peserta lolos tidaknya tahapan administrasi ke substansi. Ia mencontohkan soal masa kerja, yang seharusnya 22 tahun, justru tertulis 17 tahun. Padahal, masa kerja juga dikabarakan dapat mempengaruhi hasil seleksi administrasi
Menurut Rofi, kejadian ini tidak hanya dialaminya seorang diri, tetapi ada banyak peserta lainnya juga mendapatkan hal serupa baik dari guru penggerak maupun dari guru-guru bukan guru penggerak. Bahkan, “pemotongan” masa kerja yang tercantum di sistem, begitu jauh angkanya.
“Ini juga perlu klarifikasi (dari Disdikbud),” kata Rofii, yang mengaku sudah pernah komplein ke Disdikbud, namun belum mendapatkan kejelasan.
Sementara, Kepala Bidang GTK Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan, Pipin M Arifin, kala dikonfirmasi via seluler, belum memberikan keterangan secara lengkap. (eki)
