KUNINGAN (MASS) – Desa yang terletak di salah satu kecamatan paling selatan di Kabupaten Kuningan ini memang tak setenar desa lainnya. Tapi bagi penikmat kopi local, nama Desa Gunungaci cukup dikenal, terutama Kopi Guci. Desa Gunungaci sendiri memang wilayah perbukitan yang terletak di Kecamatan Subang.
Sekilas tentang jalan panjang dari Desa Gunungaci diceritakan oleh Sekertaris Desa Gunungaci, Eko Darkim. Dirinya menuturkan hal tersebut sesuai dengan apa yang sudah tertutang di RPJMDes setempat.
“Desa Gunungaci sendiri, merupakan wilayah dengan banyak kebun kopi di dalamnya, dan berdiri pada tahun 1081,” ujarnya pada kuninganmass.com beberapa waktu yang lalu.
Dari ceritanya, Desa Gunungaci ditemukan oleh seorang pengembala yang datang dari Ciamis, yang berpetualang dan menemukan sebuah lembah yang banyak dikelilingi pohon kawung, (Aren, red). Penggembala dan pengembara yang diakui sebagai penemu tersebut, hingga kini cukup dikenal oleh masyarakat setempat, bukan hanya sebagai penemu lahan, namun juga pembuka lahan bersama 30-an kepala keluarga lainnya.
“Namanya Buyut Ciptaguna, dia mulai membuka lahan dan bercocok tanam, saat itu ada sekitar 30 kepala Keluarga yang ikut membangun, dan terus semakin banyak,” terangnya melanjutkan.
Soal penamaan Gunungaci sendiri sangat sederhana, saat itu perbukitan tersebut memang dipenuhi pohon aren yang mengandung sagu, dalam Bahasa Sunda, sagu biasa disebut aci. Jadilah nama yang diambil karena banyaknya aci di perbukitan tersebut, Gunungaci. Dan setelah menjadi pemukiman, Buyut Ciptaguna juga memikirkan struktur yang harus dibangun di masyarakat, untuk Diceritakan Eko, bahwa Buyut Ciptagunan membawa seorang calon pemimpin desa dari Rajadesa, Ciamis. Kelak, orang yang dibawa dan menjadi pemimpin pertama di Desa Gunungaci dikenal dengan gelar Abah Kuwu Gede.
Dari penuturan Eko, terdapat kejadian besar pada tahun 1950 di desanya, hal itu sangat berkaitan dengan stabilitas nasional yang sempat tidak stabil dengan adanya pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Desa Gunungaci bukan hanya terdampak secara stabilitas, namun masyarakat pada zamannya tersebut merasa resah karena banyak oknum DI/TII berkeliaran di sekitar desa serta merampas harta, bahkan tak segan membunuh masyarakat yang tidak memberikan kemauannya.
“Desa Gunungaci ini, dulunya menjadi tempat istirahat orang yang melakukan perjalanan dari Selatan menuju Kota Kuningan melalui Ciniru. DI/TII menganggap desa kami sebagai tempat strategis, apalagi untuk memantau musuhnya, terutama TNI. Konon, dulu disini ada markasnya,” jelasnya.
Dituturkannya, saat itu masyarakat banyak yang merasa tertekan, dan tidak kuat menghadapi ancaman yang kapan saja bisa datang. Hingga puncaknya, terjadilah pembakaran rumah rumah dan pemukiman warga.
“Kejadian itu terjadi pada masa pemerintahan Kuwu Suhanan. Dan karena pemukiman sudah luluh lantab, masyarakat banyak ditransmigrasikan ke berbagai daerah, terutama Sumatra, seperti Lampung Tengah, Ogan, Kumulu, dan sekitarnya,” terangnya.
Dari penggambaran Eko, Desa Gunungaci sempat menjadi desa mati, lahannya kosong dan tidak berpenghuni, serta kembali menjadi hutan belantara. Kala itu, pusat administrasi Desa terpaksa dipindahkan ke Dusun Kancana dengan kepemimpinan Kuwu Abah Miharta.
“Sekitar tahun 1963, baru desa ini (Gunungaci, red) kembali dibuka, hal itu dipelopori TNI. Makanya masyarakat juga mulai dateng lagi, masuk pendataan lagi, bahkan dikasih tanah sekitar 600 bata-an,” ungkapnya.
Kejadian itu mengantarkan Gunungaci kembali hidup dengan dipimpin oleh seorang pimpinan dari kalangan TNI, Namanya serka Koma, atau dikenal sebagai Kuwu Koma. Hingga kini, Gunungaci terus berbenah mengejar ketertinggalan dengan meningkatkan hasil pertanian, terutama kopi. (eki)