KUNINGAN (MASS)- Remaja adalah fase dimana orang tua seringkali mengkhawatirkan anaknya salah dalam pergaulan,.Salah memilih teman bermain maka akan berbahaya.
Kekhawatiran tersebut muncul manakala seorang anak sudah mulai susah diatur, dinasihati, diarahkan dan susah untuk diatur hidup disiplin. Hal ini sering terjadi ketika anak mulai memasuki masa remaja.
Menurut Hurlock dalam buku developmental psychology usia remaja/adolescence mulai umur 12-18 tahun. Ini menandakan bahwa anak SMP sampai SMA butuh pengawasan dan perhatian yang serius agar tidak terjerumus dalam pergaulan bebas.
Menurut Sofyan Willis dalam bukunya “Remaja dan Masalahnya” kenakalan remaja disebabkan empat faktor, yakni: faktor dari anak, faktor dari orangtua (keluarga), faktor masyarakat (lingkungan) dan faktor sekolah. Dari empat faktor tersebut, bermuara pada faktor yang utama yakni keluarga/orangtua.
Ketidakpedulian dan tidak adanya perhatian dari orangtua inilah yang akan menyebabkan anak mudah terjerumus pada pergaulan yang salah, baik ketika di masyarakat maupun di lingkungan sekolah.
Ini bisa terjadi bagi orang tua karir, dimana keduanya sibuk dengan pekerjaan. Lalu, sibuk dengan proyek dan bisnis sehingga lupa akan tanggung jawab mendidik anaknya.
Jika orangtua hanya mempercayakan kepada sekolah untuk mendidik anaknya, maka itu kesalahan yang besar. Pendidikan yang diajarkan di sekolah paling lama 8 jam selebihnya ada di keluarga dan di orangtua.
Orangtualah yang mesti memberikan contoh, akhlak yang baik kepada anak-anaknya, mengajarkan anaknya hidup berdisiplin, bertuturkata yang sopan.
Belakangan ini kepedulian orangtua kepada anaknya tentang nilai-nilai pendidikan agama, akhlak, moral dan sosial mulai luntur ditanamkan, sehingga kita dapat melihat kemerosotan moral baik di telvisi, koran maupun media sosial.
Seorang anak sekolah melawan gurunya saat sedang mengajar, bahkan kita sering melihat anak SMP sudah mulai berani merokok ditempat umum.
Tawuran sesama pelajar, anak mudah marah dan membentak kepada orang tuanya. Anak susah untuk diperintah bahkan sebaliknya anak bak seorang raja yang bisanya merintah orang tuanya, dan masalah-masalah yang lainnya.
Kejadian tersebut membuat para orangtua khawatir dan cemas menimpa anaknya kelak. Masalah tersebut terjadi karena kurangnya protein dan nutrisi nilai-nilai spritual (pendidikan agama) dari orang tua.
Pengertian dan perhatian yang kurang, service yang belum menyentuh respon rangsangan hati anak, karena pendidikan yang baik itu dari hati dan diterima oleh hati, hati adalah rangsangan pertama yang kemudian disalurkan ke pikiran (intelektual) anak.
Dalam hal ini seorang pakar pendidikan Munif Chatib dalam bukunya “Sekolahnya Manusia” mengatakan The best teacher not teach with book, but the best teacher teach with heart (guru yang baik bukanlah guru yang mengajar dengan buku, tapi guru yang baik yang mengajar dengan hati).
Ini mendakakan rangkulan emosi, rangkulan perhatian dan pendidikan sangat diperlukan oleh anak-anak dalam membimbing masa remajanya. Atas dasar itu para pakar pendidikan memberikan suatu terobosan sekaligus solusi atas segala penyimpangan akhlak (degradasi moral) anak didik yang di khawatirkan oleh para orangtua selama ini. Yakni Sekolah Berbasis Pesantren (SBP) atau Islamic Boarding Schoool .
Kita akui sekolah formal adalah lembaga pendidikan yang berfokus pada faktor kecerdasan akademik meskipun tidak lantas mengabaikan hal-hal yang bersifat spiritual atau keagamaan.
Hanya saja, sistem pendidikan di sekolah formal memang menekankan pencapaian prestasi anak didik dalam hal kecerdasan intelektual yang pada akhirnya bermuara pada berbagai ukuran akademik.
Jika di pendidikan formal sekolah lebih berorientasi pada pencapaian akademik dan materi semata. Maka di pesantren lebih ditekankan pada pembinaan karakter individual dan keteladanan dari seorang ‘guru’ kepada peserta didik yang berlangsung 24 jam penuh.
Banyak kelebihan jika anak dititipkan di sekolah berbasis pesantren ini, yakni: sholat 5 waktu dan terjamin berjamaah, bapak-ibu tenang mencari nafkah, anak selalu mendokan bapak ibunya setalah sholat, anak jauh dari narkoba, anak bisa mandiri dan disiplin,
Anak bisa bahasa Arab dan Inggris, anak gemar puasa sunah, anak akan terbiasa solat tahajud dan solat dhuha, anak diajarkan hidup disiplin dan berhemat, selama 24 jam anak ada dalam pengawasan pondok, anak rutin membaca al-qur’an, anak jauh dari tawuran.
Pondok pesantren menekankan pendidikan dengan basis mengharusutamakan kecerdasan spiritual (SQ) disamping kecerdasan intelektual (IQ) dan emosional (EQ) bagi para santri. Sehingga para santri akan memiliki kecerdasan dan karakter yang kuat dan mudah bersosialisasi di masyarakat.
Hal ini yang menyebabkan para santri lebih mudah diterima dan bermanfaat di tengah-tengah masyarakat.
Jika sebelumnya pelajaran agama di sekolah umum porsi waktunya sangat sedikit (hanya 2 jam pelajaran per minggu), maka dengan konsep terpadu ini pembelajaran agama dapat berlangsung lebih lama dan praktiknya lebih nyata.
Upaya memadukan pendidikan sekolah formal dengan pondok pesantren ternyata mampu menghasilkan sistem pendidikan yang lebih kuat dan lengkap. Pengembangan model pendidikan Sekolah Berbasis Pesantren (SBP) merupakan upaya memadukan keunggulan pelaksanaan sistim pendidikan di sekolah umum dan kelebihan sistim pendidikan di pondok pesantren.
Apabila keunggulan dari kedua lembaga pendidikan itu dipadukan, maka akan tercipta sebuah kekuatan pendidikan yang kuat dan berpotensi mampu menghasilkan generasi muda Indonesia yang unggul, handal, dan berkarakter.
Selain itu tentu kita sangat berharap dikemudian hari terbentuk kepribadian santri yang berahklakul karimah melalui 10 ciri pribadi muslim. Ke 10 itu adalaj Salimul aqidah (aqidah yang lurus), Shohihul ibadah (ibadah yang benar), Matinul khuluq (berakhlak kokoh),
Lalu, Qadirun a’la kasbi (memiliki penghasilan), Mustaqaful fikri (memiliki pikiran berwawasan), Qawiyyul jismi (memiliki tubuh yang kuat), Mujahidin linafsi (mampu memerangi hawa nafsu). Kemudian, Munadhamun fi syu’unihi (mampu mengatur rapi dalam segala urusan), Harisun alaa waqtihi (mampu mengatur waktu), Nafi’un lighoirihi (bermanfaat untuk orang lain).
Inilah penanaman nilai karakter yang sesungguhnya, peserta didik dibina dan dibimbing dengan karakter berbasis masjid dengan pendekatan spritual yang sesuai dengan nilai Al-Qur’an.
Nilai karakter memang harus ditanamkan sejak dini terlebih di usia remaja adalah masa yang sulit, penuh tantangan, dan gejolak. Ibarat pondasi bagi sebuah bangunan, usia remaja adalah masa pemasangan pondasi.
Ia harus dipasang kuat agar bangunannya bisa berdiri dengan kokoh dan kuat. Maka penanaman karakter harus dipastikan dapat berlangsung sukses di masa ini.***
Penulis : Sopian Asep Nugraha, M.Pd
(Tenaga Pengajar Ponpes Binaul Ummah Kuningan)