KUNINGAN (MASS) – ADALAH John Fitzgerald Kennedy, Presiden Amerika Serikat (AS), dalam pidatonya dihadapan Kongres AS pada tanggal 15 Maret 1962 melalui “A special Message for the Protection of Consumer Interest” yang dikenal dengan “Declaration of Consumer Right”. John F. Kennedy mengemukakan 4 (empat) hak konsumen, yaitu: 1. _The right to safety_, (hak memperoleh keamanan). 2. _The right to choose_, (hak untuk memilih). 3. _The right to be informed_, (hak mendapatkan informasi). dan 4. _The right to be heard_, (hak untuk didengar).
Sejak saat itulah hak-hak dasar umum (hak asasi) konsumen diakui secara internasional dimana _United Nations_ atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (“PBB”) mengesahkan _Guidelines for Consumer Protection_, Hak konsumen menurut _International Organization of Consumers Union_ (“IOCU”), dan Masyarakat Ekonomi Eropa. Dimana saat Kennedy pidato dihadapan Kongres AS tanggal 15 Maret itu ditetapkan jadi Hari Hak Konsumen Sedunia (World Consumer Rights Day).
Lahirnya Hari Hak Konsumen Sedunia itu menginspirasi berbagai negara di dunia untuk membuat regulasi yang mengatur perlindungan konsumen, termasuk di Indonesia, yaitu disahkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tanggal 20 April yang ditetapkan sebagai Hari Konsumen Nasional.
Sementara itu, Presiden Prabowo dalam pidato kenegaraan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jumat (15/8/2025) menyinggung soal perlindungan konsumen. Presiden menyebutkan : “Untuk melindungi konsumen Indonesia, Pemerintah yang saya pimpin akan selalu mewaspadai kecurangan-kecurangan, manipulasi, penipuan, upaya penimbunan dan menahan distribusi bahan pangan. Pemerintah yang saya pimpin tidak akan ragu-ragu: Kami akan selalu tegas pada mereka yang melanggar aturan, mempersulit kehidupan rakyat.”
Dari pidatonya, tampak presiden Prabowo memahami bahwa perlindungan konsumen merupakan suatu masalah yang berkaitan dengan kepentingan manusia/kemanusiaan (perspektif global), dan menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat melalui upaya perlindungan hukum dan jaminan kepastian hukum bagi konsumen. Di Indonesia hal ini dapat dilihat dari Pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 yang menyatakan kesejahteraan diwujudkan untuk seluruh rakyat Indonesia.
20 Oktober 2024, Pemerintahan/Kabinet Merah Putih (KMP) pimpinan Prabowo-Gibran dilantik. Tempo.co, 21 Oktober 2024 | 12.50 WIB, mengangkat berita berjudul “Daftar 17 Nama Menteri Jokowi yang Dipakai Lagi di Kabinet Merah Putih Prabowo”. Presiden Prabowo Subianto mengambil sumpah jabatan dan pelantikan para menteri KMP di Istana Negara, Jakarta, Senin 21 Oktober 2024.
20 Oktober ini Pemerintahan Prabowo-Gibran genap satu tahun, tentu kita rakyat Indonesia sebagai konsumen ingin melihat dan mengevaluasi kemanakah arah kebijakan perlindungan konsumen akan di bawa, sudahkah sesuai dengan amanat konstitusi untuk mensejahterakan rakyat dan sejalan dengan paradigma global ?
Terdapat beberapa kebijakan pemerintahan Prabowo‑Gibran selama sekitar satu tahun yang “dianggap” membebani konsumen/masyarakat, diantaranya adalah kebijakan efisiensi anggaran/pemotongan belanja negara. Melalui Inpres (Instruksi Presiden) No. 1 Tahun 2025, pemerintah memangkas belanja kementerian/lembaga dan transfer ke daerah sebesar sekitar Rp 306,7 triliun.
Pemangkasan belanja negara dan efisiensi anggaran efeknya perputaran uang pemerintah di daerah berkurang, potensi belanja masyarakat juga menurun karena banyak proyek dan pengeluaran publik yang harus dibatasi. Selain itu efisiensi anggaran yang dilakukan terlalu cepat memperlambat pertumbuhan ekonomi lokal (daerah) karena proyek publik dipangkas.
Kemudian, Pemerintah menaikkan UMP sekitar 6,5% untuk 2025. Walau ini positif untuk pekerja, ada risiko bagi usaha kecil yang harus menanggung biaya tenaga kerja lebih tinggi, yang berimbas pada harga barang dan jasa.
Selanjutnya, Pemerintah menetapkan kenaikan PPN ke 12% hanya untuk barang mewah, sementara barang/jasa lain tetap di level lama atau mendapat insentif. Kebijakan pajak ini meningkatkan harga barang-barang tertentu, khususnya barang impor atau barang tidak mahal tapi dianggap “mewah” bagi sebagian konsumen.
Berikutnya, pembatasan distribusi tabung gas 3 kg. Pemerintah mencoba merumuskan pengecer sebagai pangkalan resmi dengan syarat-syarat tertentu menyebabkan kelangkaan gas 3 kg di beberapa daerah. Gas 3 kg adalah energi penting untuk rumah tangga miskin, jadi kelangkaan ini sangat dirasakan langsung oleh konsumen.
Efek diskon listrik. Pemerintah memberikan diskon tarif listrik untuk rumah tangga <2.200 VA, yang pada awal‑awal menyebabkan deflasi dan menurunkan inflasi IHK. Namun, dampak ini sifatnya sementara sehingga jika diskon berakhir, maka tarif listrik kembali naik dan itu bisa menjadi beban tambahan langsung ke konsumen. Proyeksi menunjukkan inflasi bisa naik saat kebijakan diskon tidak lagi berlaku. Itu berarti rumah tangga yang memakai listrik akan merasakan kenaikan beban.
Adanya kenaikan harga bahan pokok di beberapa daerah seperti minyak goreng, daging ayam, cabai yang secara langsung mempengaruhi rumah tangga terutama kelas menengah‑bawah. Karena bahan makanan merupakan bagian besar dari pengeluaran harian, kenaikan persentase (meskipun nominal kecil) terasa besar di anggaran.
Kebijakan populis lain seperti kenaikan UMP, program makan gratis yang banyak masalah, bantuan tunai langsung membutuhkan pendanaan besar, sementara ruang fiskal terbatas. Ini menyebabkan beban tersendiri bagi konsumen kelas bawah dan menengah. Dan terakhir, kebijakan Menteri ESDM untuk memonopoli penjualan bbm oleh pertamina membuat konsumen SPBU swasta kesulitan karena stoknya tidak ada.
Diantara kasus/kebijakan yang terkait kepentingan konsumen tersebut, dimana Presiden Prabowo terpaksa harus turun tangan (membatalkan/merubah) kebijakan Menteri²nya antara lain : temuan pagar laut di Tangerang yang membatasi ruang lingkup nelayan berakibat persediaan ikan bagi konsumen berkurang, sehingga Presiden Prabowo menginstruksikan untuk dibongkar. Menteri Keuangan Sri Mulyani memunculkan wacana kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen per 1 Januari 2025 yang dirubah oleh Presiden Prabowo bahwa kenaikan PPN 12 persen hanya untuk barang dan jasa mewah.
Kebijakan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia soal distribusi gas melon yang membuat rakyat mengantre sampai ada yang meninggal, dan kembali Presiden Prabowo turun tangan membatalkan kebijakan Bahlil. Terakhir, kebijakan pemblokiran rekening ‘nganggur’ selama tiga bulan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang memblokir 122 rekening, juga dibatalkan oleh Presiden.
Dari data dan kebijakan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah berkontribusi menekan dan membebani konsumen. Peristiwa “Agustus Kelabu” di akhir Agustus 2025, muncul dengan adanya demonstrasi besar yang menurut beberapa pengamat ini akibat dari akumulasi frustrasi publik yang telah terpendam selama sepuluh tahun terakhir di bawah rezim pemerintahan sebelumnya. Menurut Lili Yan Ing pengamat ekonomi dari Aliansi Ekonom Indonesia, situasi ini datang bukanlah tiba-tiba, yang terjadi merupakan akumulasi hasil dari kebijakan ekonomi, proses pembuatan keputusan, dan praktik bernegara yang jauh dari amanah,” (detikfinance, Rabu, 10 Sep 2025 07:30 WIB)
Sebelumnya, cukup banyak bentuk Politik Hukum Perlindungan Konsumen yang berhubungan dengan kebutuhan hajat hidup rakyat yang merugikan/menyengsarakan konsumen. Kasus pertamax oplosan, beras oplosan, minyak goreng dan gas elpiji tidak sesuai takaran, pupuk & oli palsu, tarif listrik, tarif jalan tol, kenaikan uang kuliah tunggal, pungutan Tapera, biaya haji/umroh, masker/obat/vaksin/alkes masa Covid, dan kasus² korupsi di BUMN terutama yang menyangkut komoditas publik (lihat ‘Liga Korupsi Indonesia’ dan ‘penghargaan’ OCCRP kepada mantan presiden RI ke-7), sementara gelombang PHK massal terus terjadi diantaranya akibat kebijakan efisiensi anggaran yang menambah beban sosial cukup pelik.
Di sisi lain, tujuan negara untuk mensejahterakan rakyat itu dihambat oleh kelompok yang sejak sepuluh tahun lalu memperoleh kenikmatan dan mempertahankan status quo nya melalui paham “serakahnomics”. Untuk itu, Pemerintahan Presiden Prabowo mau tidak mau harus segera melakukan perombakan/pemangkasan susunan kabinet Merah Putih dengan cara memangkas menteri “warisan” pemerintahan sebelumnya dan rakyat telah cukup lama bersabar dan mengeluarkan air matanya untuk memperoleh kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini diperkuat dengan keterangan Bank Dunia bahwa 68,3% Penduduk RI termasuk kategori miskin, yakni setara 194,7 juta jiwa. (CNBC Indonesia, 10/06/2025). (***)
Penulis : Dr. Firman Turmantara Endipradja, SH., S.Sos., M.Hum dosen Politik Hukum Perlindungan Konsumen Pascasarjana Univ. Pasundan/Dewan Pakar Ekonomi Majelis Musyawarah Sunda (MMS)/Mantan Anggota BPKN RI (periode 2013-2016 & periode 2020-2023)
