KUNINGAN (MASS) — Pertanian di Kabupaten Kuningan saat ini berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Meskipun dikenal sebagai daerah agraris yang seharusnya menjadi lumbung pangan, semangat generasi muda untuk bertani semakin menurun. Hal ini disampaikan oleh Leo Iswanto, Wakil Ketua Bidang Pertanian dan Pariwisata Forum Pemuda Pemerhati Desa (FPPD), dalam sebuah diskusi mengenai regenerasi petani di daerah tersebut.
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, Dr. Wahyu Hidayat, M.Si., menyatakan dalam podcast yang disiarkan di Youtube Kuningan MAS bahwa pihaknya telah mendorong regenerasi petani dengan melibatkan anak muda dalam kegiatan panen raya dan pengenalan alat mesin pertanian (alsintan) seperti combine harvester. Namun, Leo Iswanto mengingatkan bahwa langkah tersebut perlu ditinjau dengan lebih kritis.
Menurutnya, tanpa data yang jelas mengenai rasio petani berusia di bawah 35 tahun, serta indikator keberlanjutan minat dan partisipasi pemuda, langkah tersebut hanya akan menjadi simbol tanpa substansi. “Tidak bisa dipungkiri, kehadiran satu atau dua pemuda dalam kegiatan pertanian bukanlah indikator regenerasi yang massif,” ungkap Leo.
Satu masalah besar yang dihadapi adalah penggunaan teknologi tanpa ekosistem pendukung yang memadai. Leo menegaskan bahwa keberadaan combine harvester tanpa pelatihan operasional dan dukungan finansial hanya akan menjadikannya alat showpiece. “Kita perlu operator yang terlatih dan biaya operasional yang terjangkau. Tanpa itu, alat-alat tersebut tidak akan dimanfaatkan secara maksimal,” ujarnya.
Selain itu, Leo mengkritik kurangnya transparansi dalam data kinerja pertanian. “Yang terlihat hanyalah event-event, bukan hasil nyata. Kita perlu data yang jelas tentang perubahan produktivitas setelah penggunaan alsintan dan dampaknya terhadap pendapatan petani,” tegasnya.
Regenerasi petani tidak hanya soal teknologi, tetapi juga tentang keahlian individu. Leo menyebutkan bahwa mayoritas petani di Kuningan saat ini adalah petani lansia. Berdasarkan survei internal FPPD, lebih dari 60 persen petani berusia di atas 50 tahun, dan 78 persen pemuda menyatakan tidak tertarik menjadi petani. “Ini menunjukkan bahwa ada masalah mendasar yang perlu diperbaiki,” ujarnya.
Salah satu alasan utama adalah kurangnya daya tarik profesi petani. “Bertani dianggap tidak menguntungkan, akses terhadap modal dan lahan sulit, dan tidak ada jaminan masa depan dari profesi ini,” jelas Leo. Untuk itu, ia mendorong pemerintah untuk tidak hanya mengandalkan petani tua, tetapi juga menyiapkan generasi penerus yang siap menghadapi tantangan masa depan.
Selain itu, menggabungkan pertanian dengan pariwisata juga bisa menjadi solusi menarik untuk menarik minat generasi muda. Leo juga mengusulkan beberapa langkah konkret yang perlu diambil oleh Dinas Pertanian. “Kita butuh data terbuka tentang jumlah petani muda aktif, program pelatihan rutin, bantuan modal, serta pembentukan koperasi petani muda berbasis teknologi,” jelasnya.
Ia mengingatkan pentingnya gerakan nyata dan bukan sekadar acara seremonial dalam memajukan pertanian di Kuningan. Keberanian untuk bertindak sekarang adalah kunci untuk masa depan yang lebih baik bagi sektor pertanian. “Jika kita tidak segera melakukan regenerasi yang nyata, dalam lima atau sepuluh tahun ke depan, kita akan menghadapi krisis pangan yang serius,” pungkas Leo. (raqib/mgg)
