KUNINGAN (MASS) – Open bidding Sekda Kuningan hari ini lebih mirip drama daripada seleksi pejabat tinggi. Ada yang bilang jual-beli jabatan, ada yang menuding politik balas budi, ada pula yang percaya teori: siapa donatur terbesar, dialah yang menang. Kalau begini caranya, jangan salahkan publik bila menganggap proses seleksi Sekda bukan soal kompetensi, tapi soal dompet siapa yang paling tebal.
Yang paling disayangkan adalah sikap diamnya dinas terkait, khususnya BKPSDM. Diam di tengah polemik justru memperlebar kecurigaan. Seharusnya, lembaga teknis berdiri di depan memberi klarifikasi: bagaimana aturan dijalankan, berapa anggaran yang sudah dipakai, dan apa alasan pembatalan hasil sebelumnya. Publik berhak mendapat jawaban resmi, bukan hanya wacana politik di ruang publik.
Seleksi Sekda yang ideal adalah yang transparan, akuntabel, dan berbasis meritokrasi. Artinya, proses harus terbuka untuk publik, dinilai berdasarkan kompetensi, bukan kedekatan politik. Panitia seleksi pun mesti independen, tidak mudah diintervensi kepentingan tertentu. Tanpa prinsip ini, open bidding hanya menjadi formalitas dan melukai kepercayaan masyarakat.
Apabila pembatalan memang tidak terelakkan, maka harus dijelaskan secara terbuka: apa dasar hukumnya, bagaimana status hasil seleksi sebelumnya, serta bagaimana pertanggungjawaban anggaran yang sudah digunakan. Tanpa kejelasan itu, pembatalan akan dianggap sebagai manuver politik, bukan keputusan birokrasi yang objektif.
Faktor pembatalan bisa bermacam-macam: mulai dari alasan regulasi, dugaan pelanggaran teknis, hingga adanya kepentingan politik. Namun apapun alasannya, publik berhak tahu. Keputusan sepenting pengisian jabatan Sekda tidak boleh hanya dipahami oleh segelintir elite.
Sebaliknya, bila hasil open bidding sebelumnya dianggap sah dan dilanjutkan, pemerintah pun harus berani memastikan bahwa keputusan itu bersih dari intervensi. Tiga besar kandidat yang sudah muncul harus diberi legitimasi penuh tanpa dicurigai adanya permainan di belakang layar.
Polemik open bidding Sekda ini sejatinya bukan cuma soal jabatan, tapi soal martabat. Kalau dinas teknis terus bungkam, kalau politik terus mendikte, dan kalau publik terus dijejali drama, maka open bidding ini akan dicatat bukan sebagai reformasi birokrasi, melainkan lelang terbuka ala politik lokal.
Ruh meritokrasi harus dikembalikan ke tempatnya—hidup, dijaga, dan dihormati. Jangan sampai prinsip itu sengaja dibuat membusuk, hanya demi melanggengkan kepentingan jangka pendek. Tanpa prinsip ini, open bidding tak lebih dari formalitas yang melukai kepercayaan masyarakat.
Oleh: Rennis Amrullah, Ketua IMM Kuningan
