Connect with us

Hi, what are you looking for?

Netizen Mass

Perlunya Pembahasan Omnibus Law Sampai Ke Akar Rumput (Daerah)

KUNINGAN (MASS) – Mencuatnya pemberitaan dimedia mengenai mengenai omnibuslaw cipta lapangan kerja di media merangsang daya kritis generasi muda memikirkan dampak yang akan terjadi ketika omnibuslaw cipta lapangan kerja “CILAKA” ketika undang undang itu benar benar di sahkan, walaupun Kuningan bukan sebagai salah satu kawasan industri setidaknya di Kuningan terdapat puluhan perusahaan yang di dalamnya terdapat ribuan buruh yang menggantungkan mata pencahariannya terhadap perusahaaan tempat dimana mereka bekerja.

Ada 6 hal yang menjadi poin penolakan dari serikat buruh terkait dengan RUU Omnibus Law, yang di samapaikan oleh presiden KSPI (konvederasi serikat pekerja indonesia) Said Iqbal:

1. Menghilangkan upah minimum
Dampak terburuk yang secara langsung dirasakan buruh adalah hilangnya upah minimum. Hal ini, terlihat, dari keinginan pemerintah yang hendak menerapkan sistem upah per jam. Dengan kata lain, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, maka upahnya otomatis akan di bawah upah minimum. “Memang, ada pernyataan yang mengatakan jika pekerja yang bekerja 40 jam seminggu akan mendapat upah seperti biasa. Sedangkan yang di bawah itu menggunakan upah per jam,” kata Iqbal, Selasa (7/1/2020). Iqbal menilai hal ini akan semakin menyengsarakan bagi pekerja yang sakit, menjalankan ibadah sesuai kewajiban agamanya, atau cuti melahirkan. Dimana upahnya tidak lagi dibayar karena pada saat itu dianggap tidak bekerja.

2. Menghilangkan pesangon
Iqbal menyebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pernah menggunakan istilah baru dalam omnibus law, yakni tunjangan PHK yang besarnya mencapai 6 bulan upah. Terkait hal ini, Iqbal mengatakan, dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 masalah pesangon sudah diatur bagi buruh yang terkena PHK. Besarnya pesangon adalah maksimal 9 bulan, dan bisa dikalikan 2 untuk jenis PHK tertentu, sehingga bisa mendapatkan 18 bulan upah. Selain itu, mendapatkan penghargaan masa kerja maksimal 10 bulan upah, dan penggantian hak minimal 15 persen dari toal pesangon atau penghargaan masa kerja. “Dengan kata lain, pesangon yang sudah diatur dengan baik di dalam UU 13/2003 justru akan dihilangkan dan digantikan dengan istilah baru, tunjangan PHK yang hanya 6 bulan upah. Padahal sebelumnya, buruh berhak mendapatkan hingga 38 bulan upah lebih,” ujarnya.

Advertisement. Scroll to continue reading.

3. Fleksibilitas pasar kerja atau penggunaan outsourcing dan buruh kontrak diperluas

Dalam omnibus law, dikenalkan istilah fleksibilitas pasar kerja. Iqbal menilai, istilah ini dapat diartikan tidak adanya kepastian kerja dan pengangkatan karyawan tetap (PKWTT). “Jika di UU 13/2003 outsourcing hanya dibatasi pada 5 jenis pekerjaan, nampaknya ke depan semua jenis pekerjaan bisa di-outsoursing-kan. Jika ini terjadi, masa depan buruh tidak jelas. Sudahlah hubungan kerjanya fleksibel yang artinya sangat mudah di PHK, tidak ada lagi upah minimum, dan pesangon dihapuskan,” sebut Iqbal.

4. Lapangan pekerjaan yang tersedia berpotensi diisi Tenaga Kerja Asing (TKA) Unskill

Terkait TKA, dalam UU 13/2003, penggunaan TKA harus memenuhi beberapa persyaratan. Antara lain, TKA hanya boleh untuk pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tertentu. TKA yang tidak memiliki keterampilan khusus (unskilled workers) tidak diperbolehkan bekerja di Indonesia. Jenis pekerjaannya pun adalah pekerjaan tertentu yang membutuhkan keahlian khusus yang belum banyak dimiliki pekerja lokal, seperti akuntansi internasional, maintenance untuk mesin teknologi tinggi, dan ahli hukum internasional.

Advertisement. Scroll to continue reading.

5. Jaminan sosial terancam hilang
Menurutnya, jaminan sosial yang hilang diakibatkan karena sistem kerja yang fleksibel. Sebagaimana diketahui, agar bisa mendapat jaminan pensiun dan jaminan hari tua, maka harus ada kepastian pekerjaan. “Dengan skema sebagaimana tersebut di atas, jaminan sosial pun terancam hilang. Khususnya jaminan hari tua dan jaminan pensiun,” ungkap Iqbal.

6. Menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha

Dalam omnibus law, juga ada wacana untuk menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha. Dalam  UU 13/2003, disebutkan sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak membayar hak-hak buruh. Sebagai contoh, pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum, bisa dipenjara selama 1 hingga 4 tahun. Jika sanksi pidana ini dihilangkan, kata Iqbal, bisa jadi pengusaha akan seenaknya membayar upah buruh lebih rendah dari upah minimum. “Dampaknya, akan banyak hak buruh yang tidak berikan pengusaha. Karena tidak ada efek jera,” ujarnya.

Melihat dari poin poin berikut tentu saja dalam menyikapi hal ini kita sebagai masyarakat yang di daerahpun harus ikut mengambil sikap, karena ketiaka undang undang tersebut di sahkan maka berlaku untuk seluruh buruh di seluruh indonesia, dalam menaggapi hal tersebut herdiana sekretaris deep kab kuningan menanggapi mengenai poin poin bermasalah tersebut ketika pengambilan keputusan pemerinta harusnya melibatkan pihak pihak yang akan terkena dampak dengan keputusan tersebut dalam hal ini buruh , ketiaka memang undang undang omnibuslaw disaahkan saya kira terlalu banyak buruh buruh di negara ini yang menjadi korban atas perampasan hak-haknya , dengan demikian alangkah lebih baik nya sebelum undang undang tersebut disahkan dikaji terlebih dahulu mengenai dampak positipnya untuk masyarakat indonesia, supaya ketiaka pemerintah dalam setiap menentukan kebiajakan ataupun peraturan tida terjjadi ketimpangan dengan rakyatnya.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Penulis adalah Herdiana Sekertaris Deep Kuningan

Advertisement

Berita Terbaru

Advertisement
Advertisement

You May Also Like

Social Culture

KUNINGAN (MASS) – Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kabupaten Kuningan rencananya akan menggelar Musyawarah Cabang (Musycab) yang ke 13 pada Januari mendatang. Meski demikian salah...

Advertisement
Exit mobile version