KUNINGAN (MASS) – Setiap perjalanan spiritual memiliki kisahnya sendiri. Ada yang lahir dalam Islam dan tumbuh dengan keyakinan yang kuat, ada pula yang menemukannya setelah melalui pencarian panjang. Muhammad Ibnu Fadhil adalah salah satu dari mereka yang mengalami perjalanan luar biasa dalam menemukan Islam.
Dulu, ia dikenal sebagai Stefanus Wijaya Saputra, seorang penginjil Kristen Protestan yang aktif dalam penyebaran ajaran agamanya. Namun, setelah lebih dari dua tahun melakukan pencarian, ia menemukan kebenaran Islam dan memutuskan untuk mengikrarkan dua kalimat syahadat di Masjid Kesultanan Maulana Hasanuddin, Banten. Keputusan tersebut tidak ia ambil dengan mudah. Banyak tantangan, pergolakan batin, dan pertimbangan yang harus ia lewati sebelum akhirnya mantap memilih Islam sebagai jalan hidupnya.
Muhammad Ibnu Fadhil tidak serta-merta berpindah keyakinan. Ia menghabiskan waktu 2 tahun 6 bulan untuk mempelajari Islam sebelum akhirnya memutuskan menjadi Muslim pada usia 40 tahun.
“Saya mulai tertarik dengan Islam bukan karena Al-Qur’an, tetapi justru karena saya diberi doktrin bahwa Islam adalah agama yang keras. Itu membuat saya penasaran dan ingin membuktikan sendiri apakah benar demikian,” ujarnya dalam podcast bersama Kuningan Mass, Selasa (18/3/2025).
Awalnya, ia mengkaji Islam sebagai bagian dari studinya dalam Islamologi, sebuah bidang yang dipelajari dalam lingkup Kristologi untuk memahami agama lain. Namun, semakin dalam ia mempelajari Islam, semakin banyak keindahan yang ia temukan.
Salah satu hadis yang mengubah cara pandangnya adalah:
“Tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
“Dari situ saya sadar bahwa Islam bukanlah agama kekerasan, melainkan agama yang penuh kasih sayang,” lanjutnya.
Keputusan untuk memeluk Islam bukanlah sesuatu yang mudah bagi Muhammad Ibnu Fadhil. Ia menghadapi berbagai tekanan, baik dari lingkungan terdekat maupun dari komunitas lamanya.
“Dalam Islam, kita diajarkan untuk tidak mencintai sesuatu melebihi cinta kita kepada Allah. Itu yang menjadi pegangan saya dalam menghadapi segala risiko dari keputusan ini,” ungkapnya.
Ia juga menekankan, seorang mualaf seharusnya tidak menjelekkan keluarga atau keyakinan lamanya. Menurutnya, hijrah adalah tentang meninggalkan keburukan, bukan membuka aib orang lain.
“Saya sering melihat beberapa mualaf yang menceritakan betapa kerasnya mereka diperlakukan setelah masuk Islam. Tapi bagi saya, itu tidak perlu. Islam mengajarkan kita untuk tetap menghormati orang tua, sekalipun mereka tidak sejalan dengan keyakinan kita,” tegasnya.
Setelah bertahun-tahun bergelut dengan keraguan dan kajian mendalam, Muhammad Ibnu Fadhil akhirnya mengucapkan dua kalimat syahadat pada 17 April 2008 di Masjid Kesultanan Maulana Hasanuddin, Banten.
Ia memilih Banten sebagai tempat hijrahnya atas saran seorang sahabat yang menilai bahwa lingkungan di sana lebih kondusif untuk memulai kehidupan barunya sebagai Muslim. Setelah itu, ia menjalani berbagai perjalanan spiritual hingga akhirnya menetap di Kuningan, Jawa Barat.
Muhammad Ibnu Fadhil tidak ingin terus disebut sebagai mualaf. Baginya, istilah itu hanya berlaku bagi seseorang yang baru berpindah agama. Kini, ia lebih memilih menyebut dirinya sebagai mukalaf, yaitu seorang Muslim yang bertanggung jawab atas keimanannya.
“Saya ingin dikenal sebagai seorang mukmin sejati, bukan hanya sebagai mualaf. Karena pada akhirnya, kita semua adalah hamba Allah yang harus mempertanggungjawabkan keyakinan kita,” tegasnya.
Kini, ia aktif dalam dunia dakwah, memberikan motivasi kepada para mualaf untuk tetap teguh dalam Islam dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Ia juga menekankan pentingnya kemandirian, baik dalam aspek spiritual maupun ekonomi.
Sebagai seseorang yang telah melalui perjalanan panjang dalam menemukan Islam, Muhammad Ibnu Fadhil memiliki pesan bagi mereka yang masih dalam proses pencarian kebenaran.
“Jangan takut mencari kebenaran. Jika hati kita tulus, Allah akan membimbing kita pada jalan yang benar,” pesannya. (argi)
Tonton selengkapnya disini :