KUNINGAN (MASS) – Seiring dengan tenggelamnya isu pinjaman Rp1 miliar dan retaknya bangunan SD relokasi Desa Kawungsari Cibeureum, kini justru menghangat isu penurunan status Gunung Ciremai dari TN (Taman Nasional) ke Taman Hutan Raya (Tahura).
Usulan para wakil rakyat mendapat penolakan beberapa kalangan, terutama pegiat lingkungan. Bahkan mencurigai orang yang setuju atas penurunan status tersebut sebagai pihak yang tidak peduli pelestarian lingkungan, hingga menyangka adanya skenario menuju kemulusan rencana geothermal.
Dede Sembada, selaku anggota Komisi 1 DPRD Kuningan menangkis sangkaan-sangkaan tersebut. “Kita menginginkan penurunan status ini justru untuk lebih memaksimalkan peran dari pemda dalam menerapkan konservasi. Karena yang disebut Tahura itu adalah bagian dari konsep konservasi,” ujarnya, Selasa (4/2/2020).
Politisi PDIP ini menjelaskan definisi Tahura merujuk kepada UU 5/1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem. Berdasarkan pasal 1 angka 15, Tahura merupakan bagian dari pelestarian alam. Artinya, dalam rangka melestarikan alam, daerah diberi 3 pilihan yakni Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
“Tiga pilihan itu tetap dalam konteks kerangka konservasi. Dan batasan pengertian Tahura itu kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli atau bukan asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya pariwisata dan rekreasi,” paparnya.
Jadi, tandas dia, penurunan status TN ini tidak dimaksudkan untuk merubah fungsi semisal mengganggu DAS (Daerah Aliran Sungai). Justru dengan adanya perubahan status, para wakil rakyat menginginkan agar konsep konservasi bisa dijalankan secara maksimal.
Baca juga: https://kuninganmass.com/anything/tolak-penurunan-status-tn-gunung-ciremai/
Selain itu, Desem juga menegaskan, penurunan status TN tidak berkaitan dengan Chevron ataupun rencana geothermal (pemanfaatan panas bumi). Sebab menyangkut geothermal, menurutnya terdapat payung hukum khusus berupa UU 21/2014 tentang panas bumi.
“Geothermal itu, kalau mau dilakukan, meski dengan status TN pun bisa dimungkinkan, kalau pemerintah pusat menginginkan. Karena geothermal itu kewenangan atau domain pusat. Pemda tak punya kewenangan apa-apa kaitan dengan geothermal ini,” tegasnya.
Banyak Hewan Liar Turun Gunung Rusak Tanaman Penduduk
Desem melanjutkan, justru penurunan status lebih ditekankan pada upaya lebih maksimal dalam menerapkan kebijakan konservasi. “TN itu mulai berlaku sejak 19 Oktober 2004 melalui SK Menhut No 4-24/2004 yang menetapkan 15.500 hektar kawasan hutan di Gunung Ciremai menjadi TN. Berdasarkan pemetaan dari badan geospasial ternyata luasnya sekarang bukan lagi segitu, melainkan 14.814 hektar lebih. Rujukannya SK Menhut No 36-84/2014 tanggal 8 Mei 2014,” terangnya.
Bercermin dari pengalaman empiris, imbuh Desem, sejak 2004 kawasan Ciremai sudah dikelola dengan TN. Namun kenyataannya banyak hewan liar yang turun ke bawah, semisal monyet dan babi hutan. Menurut dia, itu menandakan di zona inti terjadi kerusakan ekosistem. Sebab jika terjaga, tidak mungkin hewan liar turun ke pemukiman menjarah makanan dan tanaman seperti halnya babi hutan.
“Selain itu pun debit mata air dari tahun ke tahun semakin turun. Sehingga dengan konsep Tahura, kami di DPRD, atau saya lah, menginginkan agar Kuningan yang sudah mendeklarasikan diri sebagai kabupaten konservasi, betul-betul mampu melaksanakan konsep konservasi secara maksimal. Karena kebijakan Tahura ini kewenangan daerah,” jelasnya.
Desem menegaskan kembali penurunan status TN tak ada hubungannya dengan geothermal. Kalaupun kepentingan PAD (pendapatan asli daerah), diakui didalamnya ada tapi tidak menjadi tujuan utama. Sebab tujuan utamanya merubah mindset masyarakat sekitar hutan untuk lebih merasa memilikinya hutan.
“Kalau dengan konsep Tahura, kita bisa lebih mengoptimalkan peran masyarakat khususnya sekitar hutan agar jangan sampai kalau terjadi kebakaran, sikapnya apatis karena tidak merasa memiliki. Gimana mau merasa memiliki, mau masuk kawasan hutan saja tak boleh,” kata ketua F-PDIP tersebut.
Penurunan status, tambah Desem, murni hasil menampung dan menghimpun aspirasi dari masyarakat di sekitar hutan yang menginginkannya. Terlebih pada 2015 lalu, terdapat 22 desa di perbatasan yang inginkan hal itu. Pada saat hendak memberantas babi hutan yang mengganggu tanaman, mereka kesulitan lantaran masuk TN.
“Beda jika polanya Tahura yang juga konsep konservasi. Ini nanti tak akan merubah fungsi, semisal yang tadinya hutan lindung atau kawasan konservasi, DAS atau zona inti/penyangga, jadi hutan produksi. Tidak seperti itu. Tetep konsepnya konservasi, cuma Tahura dimana kebijakan yang dibuatnya oleh daerah,” pungkasnya. (deden)