KUNINGAN (MASS)- Para pengungsi bencana pergerakan tanah Desa Pinara Kecamatan Ciniru genap setahun tinggal di hunian sementara (Huntara) yang terletak di Desa/Kecamatan Ciniru. Meski awalnya mereka tidak betah namun sekarang sudah terbiasa karena tidak ada pilihan lagi.
Pada Jumat (14/6/2019) sore kuninganmass.com menyambangi Huntara yang berada di samping SMAN I Ciniru. Di Kecamatan Ciniru Huntara ada di dua titik, selain di samping SMA juga di jalan yang menuju Desa Rambatan.
Ketika tiba di Huntara suasasana sepi terasa. Para pengungsi ternyata tengah pergi ke Desa Pinara, kebetulan ada yang hajatan salah satu tokoh masyarakat, sehingga mereka datang untuk menghadiri.
Sekedar informasi yang tinggal di Huntara kebanyakan warga Dusun Cihanjungan. Sedangkan dusun lainnya masih ada yang menempati meski pemerintah melarang semua warga menempati Desa Pinara karena berbahaya.
“Pada pergi ke tempat hajatan, jadi sepi di Huntara. Biasanya ramai jam segini. Saya juga tadinya mau kesana,” ujar Kosim salah satu penghuni Huntara yang belum berangkat kepada kuninganmass.com.
Ternyata tidak berapa lama muncul Pulung dan Uri. Pulung sendiri mengaku akan ke tempat hajatan. Sedangkan Kosim dan Uri memilih berdiam diri karena di lokasi Huntara tidak ada siapa-siapa.
Kepada kuninganmass.com mereka ‘curhat’ bahwa tidak terasa sudah tinggal selama 1 tahuh lebih di Huntara. Pada awal terkena bencana banyak bantuan mengalir. Namun, sekarang sudah tidak ada.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, warga ada yang kembali ke kota untuk berjualan. Sedangkan yang bertani kembali ke sawah.
“Kami harus terus menjalankan hidup meski harus tinggal di pengungsian. Saya sendiri kembali ke ladang. Kendati jalan harus ditempuh jauh, tapi tidak ada pilihan lain. Bahkan saya beruntung menggunakan motor. Sedangkan yang lain banyak yang jalan kaki,” tandasnya pria paruh baya itu.
Ia mewakili para penghuni Huntara berharap cepat pindah ke hunian permanen karena tinggal di huntara tidak nyaman. Sangat jauh dengan tinggal di rumah sendiri.
“Disini mah panas, karena bagian atas asbes dan dinding menggunakan GRC. Belum lagi lantai menggunakan bambu,” ujarnya.
Kosim mengaku, ketika menengok rumah yang ada di Dusun Cihanjungan rasa pedih yang selalu dirasakan. Rumah permanen yang dibuat dengan keringat dan air mata ternyata harus ditinggalkan karena sudah tidak mungkin ditempati dengan lokasi tanah yang bergeser.
“Pertanyatan warga semua sama, kapan kami pindah dari sini, karena kami juga butuh kepastian untuk melanjutkan hidup?” ujarnya. (agus)