KUNINGAN (MASS) – Di era globalisasi saat ini siapa sih yang tidak menggunakan media sosial? Saya yakin hampir semua individu pasti menggunakan media sosial. Umumnya media sosial digunakan untuk menjalin komunikasi dan berbagi informasi, seperti yang dikatakan B.K.Lewis (2010) bahwa media sosial memungkinkan orang untuk saling berhubungan, berinteraksi, dan berbagi pesan. Tetapi berbeda dengan yang terjadi pada media sosial saat ini, dimana media sosial dijadikan alat untuk menjatuhkan nama baik orang lain dan menyebar luaskan berita hoax oleh beberapa oknum pengguna media sosial. Mirisnya, akibat penyalahgunaan media sosial tersebut beberapa penggunanya sampai harus terseret keranah hukum.
Seperti yang kita ketahui saat ini pemerintah sudah mengeluarkan UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang biasa disebut dengan ITE Pasal 28 Ayat 1 mengenai berita bohong dan menyesatkan (hoax), bahwa setiap orang yang sengaja menyebarkan berita bohong termasuk kedalam melanggar hukum yang berlaku dan orang tersebut dapat dikenakan pidana. Selain itu ada UU mengenai pencemaran nama baik yang diatur dalam KUHP Pasal 310 s.d 321, bahwa menghina sama dengan menyerang kehormatan serta nama baik orang lain. Sangat jelas peraturan yang pemerintah buat bagi para pengguna media sosial, tapi jika kita perhatikan masih banyak sekali oknum pengguna yang tidak menghiraukan peraturan tersebut. Sebagian orang masih kurang paham akan cara menggunakan media sosial yang baik, sebagian lagi ada yang memang dengan sengaja menyalahgunakannya.
Menurut Jalandamai.org (05/01/19) dalam catatan Mahfindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) pada bulan Oktober 2018 konten negatif yang beredar di media sosial Facebook sekitar 47,83%, Twitter 12,17%, Whatsapp 11,74% dan Youtube 7,83%. Sedagkan Hoax yang terverifikasi di bulan Juli – September 2018 sekitar 230 hoax. Sebanyak 58,7% bermuatan Politik, 7,39% Agama, 7,39% Penipuan, 6,69% Lalu lintas dan 5,2% Kesehatan. Melihat terkait data tersebut, sebagai sesama pengguna media sosial alangkah baiknya jika kita menggunakan media sosial kita dengan bijaksana. Tentunya hal ini tidak bisa jika dilakukan oleh beberapa orang saja, kita harus melakukannya bersama-sama dengan cara gotong royong memberantas kasus tersebut.
Gotong royong sendiri merupakan kata yang mungkin sudah tidak asing lagi ditelinga kita, dimana gotong royong sudah menjadi budaya bagi orang Indonesia. Gotong royong tidak sebatas bersih-bersih saja, tapi gotong royong juga berkerja sama untuk mencapai tujuan yang sama. Nah, kita juga bisa menggunakan gotong royong dalam menjaga dunia digital khususnya media sosial. Selain itu kita juga bisa menanamkan nilai karakter gotong royong kepada setiap penggunanya, dimana nilai-nilai gotong royong di era ini sedikit memprihatinkan.
Kita bisa memulai dengan gotong royong menyebarkan konten-konten positif, seperti konten berlatarkan kasih sayang terhadap sesama, cinta akan kedamaian, dan konten berlatarkan religius. Dengan begitu konten negatif sedikit demi sedikit akan tertimbun, tapi dengan catatan kita melakukan hal tersebut bersama-sama dan secara terus menerus. Selain menyebarkan konten-konten positif, kita juga bisa ikut berpartisipasi dalam gerakan Siberkreasi, salah satu gerakan yang dibuat oleh pemerintah. Dimana gerakan tersebut bertujuan meningkatkan literasi digital untuk melawan konten negatif seperti hoax, cyber bullying, dan hate speech.
Dengan begitu kita mampu menjaga dunia digital sekaligus mampu untuk mempertahankan budaya gotong royong khususnya bagi kita para pengguna media sosial. Akan lebih baik lagi apabila gotong royong menjadi sebuah karakter yang tetap ada sampai generasi berikutnya dan gotong royong mampu menjadi karakter yang dapat diaplikasikan diberbagai ranah, sebab gotong royong merupakan salah satu kekuatan besar yang berbudaya dimasyarakat dan perlu dikembangkan secara terus menerus. Dengan gotong royong berarti kita telah mencerminkan tindakan menghargai semangat kerjasama, selain itu kita juga telah gotong royong dalam membatu menyelesaikan setiap permasalahan yang ada. Sejatinya manusia yang berkualitas mampu membangun dirinya menjadi manusia yang sadar akan kebutuhan orang lain dan memiliki kesadaran akan kebutuhannya sendiri, seperti dalam buku Widjaja (2004).***
Penulis: Tria Apriani Budiarti
Mahasiswi PGSD Uniku