KUNINGAN (MASS) – Bicara nasib pendidikan di masa pandemik, bisa disebut sebagai perubahan besar yang memaksa. Pendidikan seperti sekolah, kampus bahkan sampai pendidikan pesantren, semua terkena imbas yang tidak sedikit.
Hal itulah yang menjadi pembahasan dua mahasiswa asal Kuningan, yang kini sedang menempuh jenjang pendidikan strata sarjana di Cirebon, Elysa Heldawati dan Denis Julvana Zidan.
Saat diwawancarai kuninganmass.com beberapa waktu yang lalu, keduanya memiliki pandangan yang menarik soal masa depan pendidikan yang saat ini berlangsung, maupun akan berlangsung setelah masa pandemik ini.
Denis, dalam wawancara tersebut menyebut adanya kelemahan yang cukup banyak dengan pendidikan saat ini, virtual.
Menurutnya, keberadaan guru di kelas merupakan hal penting, teruatama pada pemahaman siswa.
“Pengalaman belajar menggunakan google classroom, whatsapp grup, tidak sefaham ketika guru berada di kelas,” akunya pada kuninganmass.com beberapa waktu yang lalu.
Selain soal pemahaman, Denis juga mengaku ada banyak kelemahan teknis dalam pembelajaran virtual, terutama soal sarana yang belum merata, juga soal kouta yang belakangan ini menjadi sangat vital keberadaanya.
“Sampai sekarang, saya belum dapet sih bantuan kouta gitu darimanapun, masih beli sendiri,” ujarnya menambahkan.
Meski disebutkan kelemahannya, Denis mengaku ada ‘hikmah’ dari pembelajaran virtual karena pandemic ini. Karena mendekatkan anak pada orang tua. Apalagi, banyak juga orang tua yang terpaksa belajar dari rumah.
“Saat ini kesempatan orang tua melihat langsung kemampuan anak, lemahnya dimana, punya skill lain kah atau kemampuannya sudah sampe mana ?” imbuhnya.
Senada, hal optimis juga dilontarkan Elysa Heldawati, dimana mahasiswi IAIN ini menyebut adanya kesempatan untuk membentuk role model pembelajaran baru yang lebih fresh, lebih bisa mengexplore siswa, dan fleksibel waktu.
“Tapi memang harus ada identifikasi transisinya dulu, setidaknya menyangkut 4 hal, dari siswanya, gurunya, orang tua, dan pemerintah,” tuturnya.
Dalam pandemic ini, identifikasi pertama pada siswa adalah hal yang sangat penting. Dalam model pembelajaran yang ‘terpaksa’ baru ini, harus bisa mendorong siswa mandiri belajar dan lebih mengexplore apa yang dia dapat dari pembelajaran.
Dengan begitu, mungkin akan ditemukan banyak hal-hal baru yang sebelumnya tidak pernah diketahui karena system belajar yang tidak banyak memberi ruang explore.
“Identifikasi orang tua juga harus, bagaimana orang tua harus bisa membentuk karakter anak dengan komunikasi yang baik,” tuturnya.
Faktor selanjutnya adalah identifikasi guru. Dimana, disebutkan Elisa, saat ini guru dituntut inovatif dan mengikuti perkembangan zaman.
Para guru dipaksa untuk lebih ‘aware’ pada teknologi, mau tidak mau, guru juga dipaksa lebih variatif dalam mengajar.
“Identifikasi selanjutnya adalah pemerintah. Bagaimana memastikan sarana pembelajaran ini bisa terpenuhi, karena belajar adalah hak semua orang.,” ujarnya.
Pemerintah juga harus koordinasi dan konsolidasi antar bidang untuk memastikan model pembelajaran selanjutnya. Selain itu, pemerintah juga harus bisa memberi kepastian hukum yang jelas.
Saat ini, Elisa menyebut masih banyak diantara hambatan terutama soal teknis, untuk menunjang pembelajaran modern. Sarana seperti tidak meratanya sinyal di beberapa tempat juga tak luput dari bahasannya. (eki)