KUNINGAN (MASS) – Polemik pencabutan moratorium pembangunan perumahan di Kecamatan Kuningan dan Cigugur beberapa waktu terakhir menandakan satu hal: masyarakat peduli terhadap ruang hidupnya. Kekhawatiran muncul dari berbagai sisi, soal resapan air, ancaman longsor, hingga potensi kerusakan tata ruang. Tetapi di tengah riuh itu, penting bagi kita untuk selalu melihat kebijakan secara utuh dari hulu ke hilir.
Ketika moratorium diberlakukan oleh Bupati Acep Purnama pada 2022, keputusan itu berdiri di atas dasar teknis yang kuat: melindungi kawasan rawan bencana, menjaga zona resapan primer, dan menahan laju alih fungsi lahan yang saat itu bergerak terlalu cepat. Moratorium adalah “rem darurat”, bukan untuk menolak pembangunan, tetapi untuk memastikan pembangunan tidak menyalahi daya dukung lingkungan.
Dengan memahami alasan awalnya, publik dapat melihat bahwa kebijakan moratorium justru merupakan langkah objektif dan bertanggung jawab.
Namun setelah evaluasi teknis dilakukan, persyaratan dipenuhi, dan tekanan backlog perumahan makin meningkat, pemerintah daerah mengambil langkah berikutnya: _mencabut moratorium secara terukur dan terkendali_ . Ini bukan pembalikan arah kebijakan, tetapi kelanjutan dari proses penataan.
Lingkungan Dijaga, Hunian Dipenuhi
Selama moratorium berlaku, pembangunan perumahan memang tertahan. Tetapi efek sampingnya jelas: backlog perumahan di Kuningan menembus ±126.336 unit. Ribuan keluarga menanti rumah layak, sementara pasangan muda sulit memulai kehidupan mandiri.
Pemerintah tidak bisa menafikan kenyataan itu. Kebutuhan papan adalah kebutuhan dasar. Karena itu, pencabutan moratorium harus dibaca sebagai titik keseimbangan antara menjaga lingkungan dan menunaikan mandat pemenuhan hunian rakyat.
Keputusan pemerintah ini berdiri pada prinsip jalan tengah yang matang, bukan keberpihakan pada satu kepentingan.
Jalan Tengah: Pembangunan dengan Kedewasaan
Perdebatan publik kerap terjebak dalam dua ekstrem: pembangunan dianggap ancaman, atau lingkungan dianggap penghambat. Padahal keduanya bisa berjalan beriringan bila diatur dengan disiplin tata ruang.
Maka langkah pemerintah bukanlah melepaskan rem, melainkan mengganti rem darurat menjadi sistem kemudi. Zona resapan dipagari secara tegas di RDTR. Pembangunan diarahkan untuk memenuhi standar infrastruktur hijau. Pengawasan diperkuat. Setiap izin harus melewati verifikasi teknis.
Filsuf Tiongkok klasik Zhuangzi pernah menulis, “ Yang stagnan membusuk, yang melaju tanpa arah tersesat; kebijaksanaan adalah menemukan ritme yang selaras dengan alam.”
Kebijakan ini sejalan dengan gagasan itu: pembangunan tidak boleh berhenti, tetapi juga tidak boleh melaju tanpa kendali. Ia harus selaras dengan ritme ekologis Kuningan.
Akal Sehat dan Data: Cara Baru Mengelola Ruang
Kebijakan yang ekstrem menghentikan semua pembangunan atau membiarkan semua pembangunan tidak akan membawa manfaat jangka panjang. Pemerintah memilih posisi tengah, yang paling rasional:
– Mengakui nilai ekologis kawasan Cigugur–Kuningan;
– Menerapkan syarat teknis ketat sebelum izin dibuka;
– Melindungi area rawan bencana;
– Sambil tetap memenuhi kebutuhan rumah masyarakat.
Ini bentuk kedewasaan tata kelola yaitu keberanian mengambil keputusan sekaligus ketelitian membaca data.
Mengawal Bersama, Bukan Menghujat
Pencabutan moratorium bukan akhir dari pengawasan , ini awal dari babak baru. Masyarakat, DPRD, dan pemerintah dapat mengawal bersama agar pembangunan:
– Patuh pada tata ruang,
– Aman dari risiko bencana,
– Tidak menggerus fungsi resapan,
– Dan tetap menyediakan rumah layak bagi warga.
Keterbukaan pemerintah terhadap dialog dan verifikasi publik menunjukkan bahwa kebijakan ini bukan keputusan sepihak, melainkan bagian dari manajemen ruang hidup yang lebih dewasa.
Pembangunan yang Tidak Melupakan Akar
Kuningan sedang beranjak memasuki tahap baru yaitu tahap di mana pembangunan dihargai tanpa lupa pada alam yang menjadi pangkal kehidupan. Tahap di mana pemerintah tidak hanya bertugas menyediakan rumah, tetapi juga menjaga tanah tempat rumah itu berdiri.
Keputusan mencabut moratorium adalah pilihan berani yang berdiri di tengah, bukan pada ekstrem. Ini pilihan yang diambil bukan karena tekanan, tetapi karena tanggung jawab.
Dan seperti kata filsuf Marcus Aurelius, “Yang selaras dengan alam tidak pernah salah arah”.
Selama kebijakan ini terus berpijak pada ilmu, tata ruang, dan prinsip kehati-hatian, Kuningan berada pada arah yang benar menuju masa depannya.
Pembangunan tidak dihentikan melainkan pembangunan diarahkan.
Dan itulah bentuk tertinggi dari kebijakan yang dewasa.
Oleh: Dadan Satyavadin, Pemerhati kebijakan publik, mantan timses, relawan Dirahmati.
