KUNINGAN (MASS) – Gunung Ciremai, dengan ketinggian mencapai 3.078 meter di atas permukaan laut, merupakan gunung berapi tertinggi di Jawa Barat sekaligus menjadi salah satu ikon wisata alam paling potensial di wilayah Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan). Keindahan alamnya tidak hanya memikat para pendaki domestik, tetapi juga wisatawan mancanegara. Menurut data Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), rata-rata kunjungan pendaki bisa mencapai puluhan ribu orang setiap tahun pada musim pendakian puncak.
Dalam catatan Kompas (2021), jalur pendakian Gunung Ciremai dikenal cukup menantang dengan medan yang terjal, angin dingin, dan kondisi jalur yang membutuhkan stamina tinggi. Tidak sedikit pendaki yang terpaksa membatalkan perjalanan karena keterbatasan fisik atau cuaca yang berubah ekstrem. Hal ini membuat Gunung Ciremai hanya dapat diakses oleh kalangan pendaki terlatih dan pecinta alam yang memiliki kondisi fisik prima.
Padahal, di era modern ini, tren wisata alam mulai bergeser ke arah ekowisata inklusif, yaitu pariwisata berbasis alam yang ramah terhadap semua kalangan usia. Konsep ini sejalan dengan pernyataan Fandeli (2000) bahwa “ekowisata harus memberikan akses dan manfaat kepada semua orang tanpa mengurangi daya dukung alam”. Dengan demikian, sudah saatnya kita berpikir kreatif untuk membuka akses Gunung Ciremai agar keindahannya dapat dinikmati oleh lebih banyak orang melalui inovasi teknologi wisata.
Usulan Pembangunan Kereta Gantung
Sebagai warga yang peduli terhadap potensi wisata daerah, saya ingin menyampaikan usulan pribadi mengenai pembangunan kereta gantung atau gondola yang dapat menghubungkan kawasan kaki Gunung Ciremai dengan titik pandang strategis di ketinggian tertentu, bahkan mendekati puncak. Ide dasar usulan ini berangkat dari keinginan agar Gunung Ciremai menjadi destinasi wisata yang inklusif, modern, namun tetap lestari.
Kereta gantung di kawasan pegunungan sebenarnya bukan hal baru. Di Indonesia sendiri, wacana pembangunan gondola di kawasan pegunungan sudah beberapa kali muncul, seperti di Gunung Bromo dan Kawah Ijen, meski sering tertunda karena berbagai pertimbangan teknis dan konservasi. Namun di negara lain, gondola justru terbukti menjadi salah satu daya tarik wisata alam. Sebut saja Ngong Ping 360 di Hong Kong, Genting Skyway di Malaysia, atau Banff Gondola di Kanada. Dengan desain jalur yang bijak dan manajemen yang profesional, gondola terbukti tidak hanya aman, tetapi juga meningkatkan nilai tambah wisata secara signifikan.
Sebagaimana dikatakan Cohen (1979) dalam A Phenomenology of Tourist Experiences, “Modern tourists demand easy access, comfort, and safety without sacrificing the authenticity of the nature experience.” Kutipan ini memperkuat argumen bahwa wisata modern perlu memadukan kenyamanan, aksesibilitas, dan keaslian alam.
Manfaat Kereta Gantung
a. Membuka Akses Wisata Inklusif
Selama ini, keindahan Gunung Ciremai hanya dapat dinikmati penuh oleh para pendaki yang memiliki kemampuan fisik memadai. Dengan kereta gantung, panorama Gunung Ciremai bisa diakses oleh lansia, anak-anak, keluarga, dan wisatawan difabel yang ingin menikmati pemandangan tanpa risiko fisik mendaki jalur terjal.
Selain itu, gondola bisa dilengkapi dengan titik pemberhentian di beberapa pos pandang sehingga pengunjung memiliki opsi menikmati pemandangan di ketinggian berbeda. Menurut Weaver (2001) dalam Ecotourism, “Pengelolaan akses menjadi kunci agar wisata alam tidak menjadi eksklusif hanya untuk segmen tertentu.”
b. Mengurangi Tekanan Jalur Pendakian Konvensional
Sebagaimana kita ketahui, jalur pendakian Gunung Ciremai sering mengalami erosi akibat tingginya lalu lintas pendaki, terutama pada musim libur. Jalur Linggarjati, Palutungan, maupun Apuy menunjukkan tanda-tanda degradasi yang perlu segera ditangani. Dengan adanya gondola, distribusi wisatawan dapat lebih tersebar, sehingga beban jalur pendakian dapat berkurang.
Sejalan dengan pendapat Gunawan (2018) dalam Konservasi Gunung Ciremai, “Manajemen kunjungan yang tepat adalah kunci menjaga jalur pendakian dari kerusakan.” Dengan demikian, gondola justru berpotensi mendukung konservasi jalur pendakian tradisional.
c. Meningkatkan Ekonomi Lokal
Kereta gantung akan menjadi magnet baru bagi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Potensi peningkatan kunjungan akan berdampak pada pendapatan masyarakat sekitar. Desa-desa penyangga seperti Palutungan, Linggarjati, dan Apuy akan mendapatkan limpahan manfaat ekonomi melalui pembukaan warung makan, penginapan, jasa transportasi lokal, pemandu wisata, hingga penjualan cinderamata khas daerah.
Sebagaimana dikatakan Gunn (1994) dalam Tourism Planning, “Tourism generates a multiplier effect, boosting the local economy far beyond the immediate site.” Artinya, kehadiran gondola tidak hanya mendatangkan pendapatan langsung, tetapi juga membuka efek ekonomi berantai yang menopang perekonomian daerah.
Risiko dan Mitigasi
Tentu saya menyadari, pembangunan gondola tidak lepas dari tantangan, terutama terkait risiko kerusakan lingkungan. Sebagian pemerhati lingkungan mungkin khawatir akan dampak pembangunan tiang penyangga dan jalur kabel yang melintasi kawasan konservasi. Namun demikian, risiko ini dapat diminimalkan dengan perencanaan matang, teknologi ramah lingkungan, serta penerapan standar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang ketat.
Menurut Sadono (2016), “Teknologi rekayasa wisata dapat diintegrasikan dengan konsep konservasi melalui desain struktur minimalis, pemilihan jalur non-intervensif, dan monitoring ketat.” Artinya, gondola dapat dibangun tanpa harus memangkas hutan secara besar-besaran.
Strategi Pelaksanaan
Sebagai usulan, saya memandang proyek ini perlu dilaksanakan dengan langkah-langkah berikut:
- Studi Kelayakan Komprehensif. Melibatkan ahli transportasi, ahli geoteknik, serta pegiat konservasi agar jalur dan struktur tiang tidak menimbulkan kerusakan ekosistem.
- Penyusunan AMDAL yang Transparan. Membuka ruang publik untuk memberi masukan, terutama dari warga lokal, pemerhati lingkungan, dan komunitas pendaki.
- Kemitraan Publik-Swasta. Mengundang investor melalui skema KPBU (Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha) sehingga pendanaan tidak sepenuhnya membebani APBD.
- Pelibatan Masyarakat Lokal. Prioritas rekrutmen pekerja lokal untuk konstruksi, pengoperasian, dan pengelolaan wisata agar manfaat ekonomi langsung dirasakan masyarakat sekitar.
- Monitoring dan Evaluasi Berkala. Membentuk tim pengawas independen untuk memantau dampak lingkungan, pengelolaan limbah, dan keselamatan operasional.
Penutup
Melalui usulan pribadi ini, saya ingin menegaskan bahwa pembangunan kereta gantung menuju Puncak Gunung Ciremai bukan semata proyek fisik, tetapi juga strategi memperluas manfaat ekonomi, memperkenalkan wisata inklusif, sekaligus menjaga kelestarian alam melalui manajemen kunjungan yang baik.
Seperti disampaikan TIES (The International Ecotourism Society), “Ecotourism should provide direct benefits for conservation and local people.” Saya percaya, jika dikelola dengan benar, gondola Gunung Ciremai dapat menjadi contoh praktik baik ekowisata modern di Indonesia.
Demikian usulan ini saya sampaikan dengan penuh harapan agar dapat menjadi bahan pertimbangan, diskusi, dan kajian bersama semua pihak. Semoga Gunung Ciremai tetap lestari, menjadi sumber kehidupan dan kebanggaan, serta memberi manfaat nyata bagi masyarakat sekitar dan generasi mendatang.
Daftar Pustaka
- Cohen, E. (1979). A phenomenology of tourist experiences. Sociology, 13(2), 179–201. https://doi.org/10.1177/003803857901300203
- Fandeli, C. (2000). Pengembangan ekowisata: Potensi dan peluang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Gunn, C. A. (1994). Tourism planning: Basics, concepts, cases (3rd ed.). New York: Taylor & Francis.
- Gunawan, A. (2018). Konservasi Gunung Ciremai: Pendekatan Ekowisata Berbasis Komunitas. Bandung: Penerbit Widya Padjajaran.
- (2021, September 20). Gunung Ciremai, Gunung Tertinggi di Jawa Barat yang Menantang Pendaki. Diakses dari https://www.kompas.com
- Sadono, J. (2016). Manajemen ekowisata gunung di Indonesia. Jakarta: Pustaka Rekayasa.
- The International Ecotourism Society (TIES). (1991). Ecotourism guidelines for nature tour operators. Washington, DC: TIES.
- Weaver, D. B. (2001). Ecotourism. Milton, Qld: Wiley.
Oleh : Eman Sulaeman, akademisi Kuningan
